• Cerita
  • BANDUNG HARI INI: 14 Tahun Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC, Luka Besar Jagat Musik Bandung

BANDUNG HARI INI: 14 Tahun Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC, Luka Besar Jagat Musik Bandung

Pada 9 Februari 2008 malam, konser musik di Gedung AACC di Jalan Braga, Kota Bandung, berubah petaka. Sebelas orang remaja kehilangan nyawa akibat kehabisan oksigen.

Seorang pengamen beraksi di seberang Gedung De Majestic, dulunya Asia Africa Cultural Center (AACC) yang kerap digunakan untuk aktivitas seni dan budaya, di Jalan Braga, Kota Bandung, Rabu (9/2/2022). Pada 9 Februari 2008 lalu di gedung ini terjadi insiden yang dikenal sebagai Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Tri Joko Her Riadi9 Februari 2022


BandungBergerak.id - BandungBergerak.id – Pada hari ini tepat 14 tahun lalu, 9 Februari 2008 malam, gempita konser musik peluncuran album baru sebuah band metal di Gedung Asia Africa Cultural Center (AAC), sekarang De Majestic, di Jalan Braga, Kota Bandugn, berubah jadi tragedi. Sepuluh orang remaja, belakangan bertambah menjadi sebelas orang, meregang nyawa, dengan beberapa yang lain luka-luka, karena terinjak-injak dan kehabisan napas dalam sebuah kepanikan massal. Insiden yang dikenal dengan istilah Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC ini merupakan luka besar yang berdampak panjang pada jagat musik Bandung.

Koran Pikiran Rakyat edisi 10 Februari 2008 menurunkan tiga reportase di halaman pertamanya. Berita utama berjudul “Peluncuran Album Grup Metal “Beside”: 10 Penonton Konser Tewas” mengabarkan kronologi dan dugaan penyebab kejadian nahas yang dimulai sekitar pukul 20.00 WIB tersebut, dilengkapi sebuah foto horor yang menampilkan jejeran beberapa jenazah yang diletakkan di atas lantai, dikerubutui orang, termasuk para pewarta yang mengambil gambar.

“Diduga kejadian tersebut berawal dari jebolnya pagar besi yang menyangga pintu masuk dikarenakan penonton yang berdesak-desakan. Kapasitas gedung tersebut 1.000 orang namun pada saat itu jumlah penonton sekitar 1.500 orang. Banyak penonton yang menerobos masuk setelah tiket masuk gedung digratiskan,” tulis para reporter koran terbesar di Jawa Barat itu.

Laporan utama “PR” itu juga menyebut sebanyak 30 orang panitia dan saksi diperiksa oleh polisi malam itu juga. Dalam koran edisi sehari berikutnya, disebutkan tiga orang panitia ditetapkan sebagai tersangka.  

Reportase kedua “PR”, dituliskan dalam gaya feature jurnalistik berjudul “Mereka Terjatuh dan Terinjak-injak”, mengisahkan kesaksian para penonton konser yang terpaksa dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Kota Bandung. Salah satunya, Taufan Putra Pertama (14), warga Katapang Kulon, Kabupaten Bandung.

“Saya kejepit lalu jatuh di tengah desak-desakan. Waktu terinjak-injak, saya masih sadar. Setelah itu saya sesak napas lalu pingsan. Tahu-tahu saya sudah berada di sini,” katanya.

Angga, remaja penonton konser yang juga ditemui di RSHS, memberikan kesaksian tentang betapa mencekamnya situasi malam itu.

“Dari luar ada ratusan orang yang mendesak masuk. Mereka mendorong pintu. Sementara dari dalam, banyak juga penonton yang ingin keluar. Soalnya di dalam sangat sesak sehingga sulit bernapas,” katanya.

Gambaran Kepanikan

Kisah lebih lengkap dan rinci tentang insiden Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC dituturkan Kimung dalam bukunya Memoar Melawan Lupa: Catatan-catatan tentang Insiden Sabtu Kelabu Tragedi AACC 9 Februari 2008 dan Ujungberung Rebels (2011). Sejatinya kisah-kisah ini mula-mula disiapkan sebagai bagian dari buku Panceg Dina Galur, Ujungberung Rebels yang sedang disiapkan si penulis.

Tentang pemilihan Gedung Asia Africa Cultural Center sebagai lokasi pentas Beside, Kimung menyebutkan beberapa informasi penting. Awalnya, panitia menaksir amfiteater Dago Tea House, namun urung karena tempat tersebut ditutup untuk umum oleh pemerintah yang mendengar protes warga sekitar. Beside sendiri, meski merupakan salah satu band pionir Ujungberung Rebels, memprediksi penonton tidak akan lebih dari 500 orang.

“Dalam pikiran Beside, mereka bukanlah band besar seperti Burgerkill yang massanya ribuan. Ditambah lagi, ini adalah peluncuran album perdana mereka,” tulis Kimung.

Tentang detik-detik kepanikan massal yang membuat banyak orang kehilangan nyawa akibat kehabisan oksigen, Kimung menceritakannya dengan mengambil sudut pandang Addy Gembel. Sempat terjebak di kerumunan penontong yang paik, ia dikisahkan berusaha mengevakuasi beberapa korban yang terjepit dan terinjak-injak massa. Gembel juga meminta panitia untuk membantu proses evakuasi.

“Gembel dan anak-anak tadi menggeletakkan anak yang pingsan tadi di tempat yang agak terbuka. Gembel buka sweaternya, lalu longgarkan ikat pinggangnya. Gembel juga lalu cek denyut nadi tangannya. Taka da. Gembel tak menyerah. Ia segera lakukan bantuan napas buatan. Sedeti, dua detik ia menunggu reaksinya. Masih tak ada perubahan,” tulis Kimung.

Kepanikan menjalar di ruang Gedung AACC, bahkan ke jalan raya. Gembel kesulitan mendapatkan bantuan kendaraan untuk mengangkuti para korban ke rumah sakit. Termasuk tiada sokongan dari para aparat yang berada di sekitar lokasi.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Akhir Perjalanan Sang Filsuf Jawa di Bandung, R.M.P. Sosrokartono
BANDUNG HARI INI: Perjalanan Panjang Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung dari Hanya Satu Ruang Kuliah
Pegiat Musik Bandung Tuntut Keterbukaan Informasi tentang Konser

Sikap Arogan Aparat

Kisah lain yang banyak jadi bahasan di seputar Tragedi AACC itu terkait dengan sikap aparat kepolisian. Banyak kekecewaan dan kritik yang dilontarkan. Salah satunya oleh Eben Burgerkill Homeless Crew. Tulisannya, yang banyak dijadikan rujukan, termuat juga di buku Memoar Menolak Lupa (2011) karangan Kimung.

Dikisahkan oleh Eben, konser peluncuran album “Against Ourselves” Beside di Gedung AACC Jalan Braga sebenarnya berjalan lancar di awal. Suasana memanas akibat kerumunan calon penonton tanpa tiket yang mulai membuat onar di luar gedung. Mereka memaksa masuk dengan merobohkan gerbang dan aparat kepolisian sayangnya “tidak melakukan tindakan antisipasi dan hanya berdiri merokok, menyaksikan kejadian tersebut”.

Tak cukup sampai di situ. Eben juga menceritakan bagaimana ketika kericuhan semakin membesar, aparat bertindak arogan dengan memuku wajah seorang kawannya yang sedang ikut menolong korban. Eben dengan sigap melerainya.

“Dengan sikap yang kampungan, hampir 20 orang aparat langsung menyerang saya dan mengeroyok membabi buta seperti segerombolan preman yang haus berkelahi,” tulisnya.

Protes terhadap aparat juga disampaikan oleh Regi Kayong Munggaran, mewakili panitia penyelenggara konser. Mengadakan pertemuan dengan komunitas musik, ia mempertanyakan peran aparat pada saat kejadian.

“Bila ingin meninjau kesalahan yang terjadi kemarin, saya rasa salah satunya adalah tidak adanya petugas perseragam yang berada di lokasi untuk mengamankan pengunjung. Padahal kami mengantongi surat izin dari Polwiltabes Bandung. Seharusnya dengan adanya izin tersebut, ada anggota kepolisian yang diturunkan di lokasi pertunjukan,” kata Regi, dikutip dari artikel “Kalangan Underground Sesalkan Insiden” yang dimuat di halaman pertama koran Pikiran Rakyat edisi 11 Februari 2008.

Sementara itu, Kapolda Jawa Barat Susno Duadji, dalam wawancara dengan wartawan di malam kejadian, mengklaim bahwa para petugas kepolisian yang ada di lapangan sudah melakukan langkah-langkah pencegahan yang diperlukan.

Penonton Membludak, Panitia Tersangka

Sebuah fakta yang tidak terbantahkan dari insiden Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC pada 9 Februari 2008 itu adalah jumlah penonton yang jauh melampaui kapasitas gedung. Disebut, yang hadir malam itu sedikitnya ada 1.500 orang. Padahal, kapasitas Gedung AACC hanya sekitar separuhnya. Fakta ini juga yang jadi salah satu temuan polisi dalam pengusutan kasus, dan lalu menetapkan tiga orang panitia konser sebagai tersangka.

“Soal tiket, kami menemukan 15 bonggol tiket yang setiap bonggolnya terdiri dari 100 tiket. Artinya ada 1.500 tiket yang dijual. Padahal dari izinnya konser itu akan ditonton 700 orang sesuai dengan kapasitas gedung yaitu 750 penonton. Itu kesalahan panitia dari sisi tiket,” kata Kapolwiltabes Bandung Kombes Pol Bambang Suparsono, di berita utama “PR” edisi 11 Februari 2008.

Beberapa musisi Bandung yang dimintai pendapat juga melontarkan pendapat serupa. Turut prihatin atas tragedi ini, mereka menyayangkan ketidaksiapan panitia penyelenggara konser.

“Kejadian ini akibat ketidaksiapan panitia. Seharusnya mereka bisa memprediksi berapa banyak penonton yang akan hadir, memikirkan segi keamanan, dan bisa mengukur kapasitas gedung, apalagi menyangkut band-band yang memiliki komunitas tertentu,” Pemain bas grup Colekat Edwin, yang dihubungi wartawan “PR”.

Demikianlah Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC menorehkan luka dalam bagi dunia musik di Kota Bandung. Ia sekaligus pukulan telak yang membuat ruang gerak aktivitas kreatif setelahnya menjadi menyempit.

Apalagi di hari insiden itu beredar isu tentang pesta miras (minuman keras) yang dikabarkan disediakan secara sengaja oleh panitia lewat botol-botol plastik kemasan. Tidak sedikit media memuat rumor itu, membuat para pegiat musik, terutama musik metal, betul-betul geram. Mereka merasa disudutkan, dengan semua kesalahan ditimpakan pada mereka.

Untuk meluruskan informasi ngawur seperti itu, para pegiat musik Bandung berkumpul, menggelar konferensi pers, dan kemudian menyebarkan pernyataan bersama. Di bawah payung Solidaritas Independen Bandung, pada 10 Februari 2008 mereka menerbitkan pernyataan bersama menyikapi insiden Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC.

Disebutkan bahwa insiden ini sebaiknya menjadi pekerjaan rumah bersama. Tak terkecuali pemerintah. Salah satu isu krusial yang disodorkan adalah minimnya ruang-ruang publik di Kota Bandung.  

“Kota Bandung sudah selayaknya memiliki fasilitas publik yang dapat mengakomodasi energi kreatif yang berkembang di kota ini secara aman,” tulis pernyataan tersebut.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//