• Kolom
  • Tragedi AACC 14 Tahun Lalu, masihkah Bandung Takut pada Musik Underground?

Tragedi AACC 14 Tahun Lalu, masihkah Bandung Takut pada Musik Underground?

Gairah anak muda Bandung pada musik amat tinggi. Kendalanya, mereka selalu menghadapi keterbatasan ruang tampil. Kendala ini dapat dilihat dari tragedi AACC.

Irfan Muhammad

Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990

Kondisi Gedung De Majestic yang kerap difungsikan untuk aktivitas seni dan budaya, Jalan Braga, Bandung, Rabu (9/2/2022). Pada 9 Februari 2008, 14 tahun lalu, di gedung ini terjadi insiden yang dikenal sebagai Sabtu Kelabu yang menewaskan 11 orang remaja penonton konser musik. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

12 Februari 2022


BandungBergerak.idTanggal 9 Februari, 14 tahun lalu, saya sedang mengendarai motor dengan santai dari arah Tamblong ke Jalan Asia Afrika. Saya lupa malam itu saya dari mana. Tetapi di waktu yang belum begitu larut itu memang saya akan mampir ke Gedung Asia Afrika Cultural Center di Braga pendek.

Malam itu, Beside, kelompok musik metalcore dengan lagu populer "Aku adalah Tuhan" sedang jadi sorotan paling tidak untuk saya yang masih SMA. Bukan bagian dari fans, tapi kala itu musik populer di kalangan anak SMA Kota Bandung memang berkisar pada tiga atau empat genre utama. Kalau tidak metal dengan subgenre-nya metalcore, ya, hardcore, melodic punk, dan emo. Saya lebih sering dengar yang nomor empat.

Meski bukan fans, saya berniat mampir ke gedung itu sekadar untuk menyambangi teman-teman yang di sana. Habis itu lanjut nongkrong entahlah. Datang dulu saja.

Tetapi belum sampai ke tujuan, masih di perempatan Karapitan tiba-tiba ponsel saya berdering. Sepertinya dua kali ponsel merek Motorola bergetar kencang di saku saya. Menepilah saya lalu mengangkat telepon dari nomor yang tidak saya kenal.

Ketika saya bilang "halo", penelepon di seberang langsung memperkenalkan diri. Ayahnya teman SMA saya. Ia menanyakan apakah ia sedang bersama anaknya atau tidak. Dia hanya memastikan anaknya tidak sedang di Asia Afrika karena berdasarkan cerita yang ia dapat, di ruas jalan itu sedang ada kerusuhan.

Saya mencerna informasi panjang yang diceritakan ayah teman saya itu. Tetapi di sekeliling nampak sepi. Saya mengiyakan tapi belum begitu paham situasi di depan. Mengingat Asia Afrika hanya sekayuh dua dari tempat saya menepi.

Karena situasi saya pikir aman, saya pacu lagi motor Arashi 125 itu menuju AACC. Tidak ada tanda-tanda "kerusuhan" yang diceritakan ayah teman saya. Hanya memang di pintu AACC sudah banyak anak muda sebaya saya berkumpul. Rata-rata mengenakan kaos hitam. Tak lama saya bertemu teman-teman lain dan saling berbincang.

Seingat saya, tak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam. Hanya sekali dua kami lihat beberapa orang digotong keluar. Pingsan, kata orang-orang di kerumunan. Band sudah tak main, saya dan beberapa teman memilih cabut. Tak tahu ada apa di situ malam itu.

Underground Dikambinghitamkan  

Paginya, di hari Minggu, barulah beredar kabar kalau konser semalam diwarnai oleh tragedi. Sepuluh penonton meninggal dunia. Kejadian yang kemudian menjadi satu titik dari perjalanan panjang kancah musik underground Bandung, kota yang selama ini lazim dikenal sebagai parameter musik Indonesia.

Minggu itu menjadi Minggu yang tidak biasa. Dengan kepala masih agak berat, menonton berita di TV yang setiap kanalnya mengulang kabar kelam tentang tragedi semalam. Underground jadi sorotan. Musik yang kami dapat dari sindikasi mp3 kawan ke kawan dicap buat ulah. Dituding musik setan.

Hari-hari lantas diisi oleh running berita soal ini. Garis batas antara rumor dan fakta lapangan berseliweran bak lesatan anak panah yang dilepas publik dengan media sebagai gondewanya. Targetnya lebih banyak ke komunitas. Saya ingat, ibu mulai bertanya kalau saya menonton band. Ia mulai peduli pada musik apa yang sedang saya dengar.

Sementara pelaku musik underground yang memang solid dengan payung Solidaritas Independen Bandung dihimpun. Mencoba menjadi tameng dari anak-anak panah yang tak tentu arah.

Tapi salah tak bisa hanya dilesakkan kepada satu pihak. Bandung, sudah mestinya sejak awal mengantisipasi kejadian ini.

Dengan gairah musik yang besar sejak era Saparua menampilkan band-band rock 60-an, kota ini tak pernah sepi dari distorsi. Tiga dekade lebih Saparua menjadi Mecca. Menjadi saksi dari besarnya energi anak muda Kota Bandung pada nilai-nilai musik bawah tanah. Ini adalah letupan yang bukan datang kemarin sore.

Saya pernah baca di zine Totalokal, Pei, penggagas kolektif skate Neverland yang pernah tinggal di Jerman membandingkan Saparua dengan venue di negara di Eropa Barat itu. Menurutnya, di Jerman sekali pun, tidak ada venue sebesar Saparua untuk kancah musik independen. Bandung? Punya.

Namun Saparua di kemudian hari mesti mengakhiri kisahnya sebagai venue legendaris. Penyelenggaraan panggung musik pun beralih. Setidaknya di zaman saya SMA, sekitar tahun 2006-2008, pilihan menonton gigs adalah di Dago Tea Huis, 18 Park Jalan Riau, CCF yang kini dikenal sebagai IFI buat skena pop, dan AACC tadi.

Tidak sebesar Saparua, tetapi cukup. Selain itu sejumlah cafe seperti Classic Rock atau ruang alternatif seperti Buqiet Skate Park sering jadi pilihan.

Pindah ke Studio, Beralih ke Kampus

Namun setelah kejadian AACC, situasi menjadi lebih sulit. Ruang tampil buat band-band bawah tanah Bandung yang enggak pernah habis itu semakin sempit. Barudak memang tak pernah mau dibatasi. Cafe-cafe jadi pilihan meski tidak juga bisa dibilang ideal dan representatif. Apalagi dengan underground yang kadung jadi kambing hitam, acara cafe pun sering disatroni polisi.

Biasanya, kerumunan di pintu cafe yang sebesar-besarnya pun tak akan mampu menampung gairah musik anak muda Bandung akan mengundang pemeriksaan dari Polisi. Kalau sudah begitu, panitia sering ditanya. Di antaranya soal izin keramaian yang tidak murah. Lain dari itu pungutan liar dari pihak-pihak luar pun masih jadi isu.

Dengan begitu ongkos buat acara jadi makin mahal. Tidak cukup dengan menyewa tempat dan sound system, atau sesekali fee buat band tetapi memenuhi pungutan juga izin keramaian tadi.

Siasat dibuat. Beralihlah ke studio musik. Bisa disewa per jam, bayarnya udunan. Semakin sesak memang, dan tidak menutup kemungkinan untuk kucing-kucingan dengan aparat. Tapi dari pada tidak sama sekali?

Lain kelompok mengandalkan kampus. Di kampus, tak perlu izin Polisi. Paling "duit rokok" buat Satpam saja. Listrik pun tidak bayar. Tinggal colok. Maka bermunculanlah sejumlah gigs yang dihelat di kampus. Itenas menjadi salah satu yang paling aktif.

Saya tidak tahu pastinya. Tahun 2014 saya meninggalkan Bandung. Setidaknya lebih sering di luar kota dari pada di Bandung. Berlanjut hingga hari ini. Sejak saat itu saya tidak begitu mendengar tentang gigs-gigs alternatif seperti kampus dan studio show.

Beberapa show mandiri memang tidak bisa dibilang berhenti. Selalu saja ada geliat. Rumah Pirata, kolektif DIY Punk misalnya, tetap konsisten mengehelat gigs kolektif di bawah radar. Selain itu beberapa gigs organizer yang diinisiasi oleh generasi yang lebih muda seperti Microgram di Lou Belle Setiabudi atau kolektif Papah Cerewet juga jadi warna baru di penyelenggaraan gigs kancah Bandung.

Sempat ada Spasial di Gudang Utara. Sekali saya datang ke sana, tempatnya cukup ideal. Beberapa kali saya lihat lini masa juga acaranya cukup beragam dan inklusif. Sayang, venue ini tidak berumur panjang. Hanya bertahan empat tahun dari 2015 ke 2019.

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: 14 Tahun Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC, Luka Besar Jagat Musik Bandung
Pegiat Musik Bandung Tuntut Keterbukaan Informasi tentang Konser
Kecamatan Ujung Berung: Zaman Intel Belanda dan Musik Cadas ala Ujungberung Rebels

"Pada ke mana nih Band Bandung?"

Beberapa bulan lalu, saya cukup gusar dengan banyaknya pertanyaan dari pelaku skena luar Kota Bandung tentang pertanyaan "pada ke mana nih band Bandung?". Pertanyaan ini mengacu pada romantisme skena musik bawah tanah tahun 90-an yang menempatkan Bandung sebagai katalis dari kancah nasional. Kala itu, Pas Band, Pure Saturday, dan Puppen dianggap pionir sebagai band independen yang menyanyikan lagunya sendiri dan melangkah lebih jauh lagi dengan merekam dan menjual albumnya secara mandiri. Hal yang belum terpikirkan oleh banyak pelaku kancah lain saat itu.

Jujur saat saya pindah ke Jakarta pada 2016, saya juga pernah melihat skena Bandung dengan kaca mata ini. Di tengah hiruk pikuk dan ambisi besar kancah independen Jakarta, saya merasa Bandung sangat ketinggalan. Ada rasa greget untuk membawa barudak punya akselerasi yang sama. Tetapi ketika saya kembali pulang dan banyak berbincang, skena Bandung adalah entitas yang berbeda. Ia memainkan rock untuk rock itu sendiri, dengan caranya sendiri.

Lebih dari itu, ada banyak problem mendasar yang membuat eksposur pada band-band baru dari Bandung tidak terlalu kentara. Kalau kamu cek di ragam aplikasi pemutar musik digital, sangat banyak band-band baru dari Bandung dengan berbagai macam keunikannya yang merilis musik. Kendalanya, menurut saya, itu tadi: ruang tampil.

Saya coba bandingkan dengan Jakarta. Saat saya menghelat gigs udunan bareng teman-teman Jakarta untuk tempat kecil seperti di Kios Ojo Keos misalnya, kami hanya mempersiapkan uang untuk sewa sound dan biaya pengangkutannya, juga uang perawatan yang tidak besar kepada Kios Ojo Keos sebagai pemilik tempat. Tidak ada istilah izin keramaian dan pungli dari kelompok masyakarat sekitar di situ.

Sementara saat saya di Bandung. Waktu masih aktif buat gigs di sebuah cafe di kawasan Burangrang sekitar 2012-2014, estimasi untuk izin keramaian bisa mencapai Rp 2.000.000. Ini bukan pungli ya, karena memang begitu prosedurnya. Untuk hari ini, berapa biaya izin tersebut saya tidak tahu.

Adapun untuk yang bersponsor, tentu membuat pembiayaan ini itunya lebih mudah. Namun, masuknya korporat rokok ke kancah membuat situasinya tak lagi sama.

Meski menyediakan ruang yang cukup ideal dan dana yang segar, masuknya kepentingan perusahaan membuat penyelenggaraan gigs musik independen tak lepas dari pemenuhan target pasar sponsor. Kooptasi dan komodifikasi jadinya tak terhindarkan.

Meski di satu sisi hal ini dipandang positif karena membuat gigs tetap jalan, namun di sisi lain penampil yang manggung tentu lebih didominasi oleh mereka yang sudah punya massa untuk menarik penonton. Selain itu, bagi penonton yang lebih muda, akan asing dengan nilai-nilai kolektif yang merupakan cara lama kancah dan bergantung pada donor dari sponsor.

Bagaimana dengan peran pemerintah kota? Berbagai upaya memang sudah diupayakan. Misalnya dengan membangun Bandung Creative Hub atau agak mundur sedikit, Taman Musik. Tapi coba lihat pamflet acara. Seberapa sering dua tempat ini digunakan? Entah aksesnya yang tidak inklusif atau tetek bengek pembiayaan tadi yang tidak dipermudah oleh regulasi.

Jadi setelah 14 tahun tragedi AACC, apakah Bandung masih takut pada underground?

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//