Ketika Rupa Bertemu Musik
Patung karya Rita Widagdo diterjemahkan ke dalam partitur oleh komposer Fauzi Wiriadisastra, yang kemudian dimainkan ke dalam bentuk piano oleh Yohanes Siem.
Jiva Sascha Mochamad
Mahasiswa Jurusan Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)
14 Desember 2021
BandungBergerak.id - Seni tampaknya memang tidak akan pernah tenang. Para pelaku dalam kesenian akan terus menggali, mencari, mencoba, dan mempraktikkan ranah-ranah baru dalam bentuk ‘kesenian’ yang baru. Pertunjukan resital piano atas interpretasi dari karya-karya patung Rita Widagdo di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jumat (26/11/2021) petang menunjukkan kalau bidang-bidang seni (tidak hanya seni rupa dan seni musik) memiliki jembatan antara satu sama lain. Jembatan yang tidak “memiskinkan” atau “menghilangkan” makna, tapi malah memperkaya dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru.
Rita Widagdo, seniman kelahiran Rottweil, Jerman tahun 1938, merupakan seorang pengajar seni rupa di ITB dari tahun 1965 sampai 2003. Bersama dengan But Muchtar dan Gregorius Sidharta, Rita mengembangkan Studio Seni Patung. Selama masa pengabdiannya di ITB, ia meninggalkan warisan sistem pendidikan dasar yang menerapkan pendekatan pengamatan langsung terhadap lingkungan untuk mengasah sensibilitas terhadap unsur-unsur visual.
Dari tahun 1970 sampai saat ini, Rita telah menghasilkan lebih dari 70 karya. Dua belas patung di antaranya seperti Tirta Arca Wangka (1973), Dinamika Dalam Gerak (1974), Continuity (1989), Cakra (1990), Wave (1992), Gelombang Kebahagiaan (1996), Synergy (1998), Tugu Prameswara (2003), Divider (2006), Growth (2010), dan Tugu Persahabatan (2008) telah ditampilkan di ruang publik dari Lhokseumawe, Sumatera sampai di Timika, Papua.
Unsur-unsur yang ditampilkan Rita selalu menekankan garis-garis simetrikal dalam memanfaatkan warna dan material yang dipakainya. Bahan-bahan berat yang dipakainya seperti logam, batu, dan kayu dibuat menjadi lentur dan transparan seperti melebur dalam keseimbangan ruang dan gerak. Unsur-unsur ini dapat kita lihat dalam karya-karyanya seperti Line and Form (1970), The Softness of Shadow (1983), Clear and Soft (1990), Metamorphosis (2002), dan Empati (2008).
Pentingnya sosok Rita Widagdo bagi seni modern di Indonesia adalah karena “pendekatannya yang abstrak dan formalis,” ungkap Nurdin Ichsan, kurator dari Ekuilibrium: Karya dan Pikiran Rita Widagdo. Melalui pendekatannya ini, para pemerhati karyanya bisa dengan bebas menafsirkan arti tersendiri ketika berhadapan langsung dengan patung-patungnya. Bagi Rita, kacamata modernitas adalah sebuah cara memandang dan memahami dunia atau realitas.
Eksplorasi material dan disertai dengan gaya visual menarik yang menghasilkan keberaturan dan keseimbangan dalam karya-karyanya, membuat Rita Widagdo memiliki ciri khasnya tersendiri dalam dunia seni rupa modern di Indonesia.
Baca Juga: Penghargaan Pencapaian Seumur Hidup untuk Rita Widagdo
Jejak Karya Rita Widagdo di Bandung
Ekuilibrium Bunyi, Pertemuan Bentuk dan Suara
Delapan karya dari 18 patung dan 13 maket yang ditampilkan dalam pameran tunggal Ekuilibrium: Karya dan Pikiran Rita Widagdo ini kemudian diterjemahkan ke dalam partitur oleh seorang komposer bernama Fauzi Wiriadisastra, yang kemudian dimainkan ke dalam bentuk piano oleh Yohanes Siem melalui interpretasinya terhadap partitur dari Fauzie. Dari acara bertajuk “Ekuilibrium Bunyi” ini kita bisa melihat sisi lain dari ‘seni modern’ sekarang ini.
Bambang Sugiharto dalam pengantar buklet Ekuilibrium Bunyi, menyebut perenungan kembali hakikat melukis atau membuat patung dalam seni modern dipicu oleh pesatnya perkembangan pemikiran dan peralatan teknologi. Perkembangan yang dibarengi dengan eksplorasi kekhasan tiap bidang seni. Seni modern, menurutnya, “tak henti memikirkan kembali hakikat melukis atau membuat patung; hakikat musik, sastra, teater, atau pun tari.”
Four Sections (1980), Surface in Movement (1980), From Two to Three Dimensions (1982), The Softness of Shadow (1983), Dialogue between Flat Area and Waved Form (1987), Irama Air (1994), Light and Shadow (1997), dan Empati (2008) adalah delapan patung yang diterjemahkan ke dalam partitur tersebut. Fauzie Wiriadisastra, seorang komposer, konduktor, multiinstrumentalis, dan pengajar Integrated Arts di Fakultas Filsafat Universitas Katolik ini mesti berulang kali mengunjungi patung-patung karya Rita Widagdo dan menghabiskan cukup waktu dengan mereka. Hasilnya, interaksi antara komposer musik itu dengan karya patung tersebut adalah delapan komposisi bunyi yang bisa jadi panduan bagi seorang pemain musik.
Panduan berupa partitur itu, yang dibuat tetap terbuka pada interpretasi, sejak awal diniatkan untuk menghilangkan kesulitan teknis memainkan musik. Yohanes Siem, seorang pianis, pemusik kamar, pengiring, instruktur musik, dan juga pengajar Integrated Arts di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan itu dapat menafsirkan dan memainkannya tanpa menghilangkan unsur-unsur keberaturan dan keseimbangan yang diusung dalam setiap patung-patung Rita Widagdo.
Dalam penafsiran patung Four Sections (1980), yang menjadi komposisi pertama, Fauzie merespons bentuk patung dengan menampilkan empat blok baik secara vertikal maupun horizontal. Yohanes Siem kemudian memainkannya dengan nada yang teramat halus, seperti memberi tanda pembukaan atau sambutan masuk terhadap penampilan resital piano ini.
Di patung kedua, Surface in Movement (1980), Fauzie Wiriadisastra menampilkan dua blok dengan bentuk yang hampir mirip seperti patung sebelumnya. Hanya saja, komposisi kedua ini dibuat miring dan terlihat seperti “bergetar”. Ketika Yohanes memainkannya, nada-nada halus yang kita dengar di awal komposisi pertama kini berubah menjadi cepat. Nada-nada seperti ini dapat kita dengar juga di patung berikutnya: From Two to Three Dimensions (1982), yang menampilkan enam komposisi berbentuk zig-zag.
Lalu di patung ketiga, The Softness of Shadow (1983), kita masih dapat mendengar nada-nada cepat tersebut di dua patung sebelumnya, tapi di komposisi yang menampilkan delapan blok berbentuk kotak ini justru kita kembali mendengar nada-nada halus yang disisipkan di dalamnya. Pergantian nada-nada ini pun masih dapat terus kita dengar di patung-patung dan komposisi-komposisi berikutnya. Mulai dari Dialogue between Flat Area and Waved Form (1987) yang menampilkan tujuh komposisi dengan tiga bentuk berbeda, dan Irama Air (1994) dengan empat bloknya dan gambar bentuk notasi musiknya yang seperti hasil coretan tangan.
Di dua patung berikutnya, Light and Shadow (1997) dan Empati (2008), nada-nada perlahan kembali menjadi tenang. Sesuai dengan judulnya, terdapat setengah arsiran hitam di komposisi dengan dua blok tersebut. Ketenangan yang dibawakan dalam patung ini tidak serta merta terjadi begitu saja. Meski ada sedikit kesan cepat di dalamnya, tapi hal inilah yang tidak menciptakan kesan “klise” untuk patung terakhir. Justru ini merupakan transisi yang bagus dan tidak terburu-buru.
Patung berjudul Empati (2008) inilah yang menjadi akhir dari serangkaian “petualangan” resital piano. Terdapat tujuh blok dengan notasi yang sama dan bentuknya terlihat seperti “digoyang-goyangkan”. Di karya inilah permainan piano Yohanes Siem menjadi sangat tenang secara perlahan-lahan dari awal, tengah, hingga akhir.
Tamu-tamu tampak tenggelam dalam setiap alunan melodi yang dimainkan di resital piano tersebut. Rita Widagdo pun merasa puas dan mengucapkan terima kasih kepada Yohanes Siem dan Fauzie Wiriadisastra yang telah menginterpretasikan karya-karyanya ke bentuk musik dengan sempurna. Di akhir acara, Yohanes Siem merasa tersanjung setelah ia diminta untuk menandatangani buklet milik Rita Widagdo.
Percakapan yang terjadi antara dua bidang seni tersebut saling mengeksplorasi bentuk-bentuk lain dari seni modern dewasa ini. Mereka tidak mengurangi makna, tapi justru mereka saling memberikan “jiwa” bagi masing-masing bentuk seni tersebut. Apa yang kita amati dari karya-karya Rita Widagdo, itulah yang kita dengar melalui Ekuilibrium Bunyi.