• Foto
  • Jejak Karya Rita Widagdo di Bandung

Jejak Karya Rita Widagdo di Bandung

Pengajar dan pematung Rita Widagdo menghasilkan ratusan karya yang sebagiannya ada di ruang publik. Di Bandung, sedikitnya ada tiga karya yang bisa dinikmati warga.

Fotografer Virliya Putricantika1 Desember 2021

BandungBergerak.id - Nama Rita Widagdo, kelahiran Rottweil, Jerman tahun 1938 kokoh sebagai salah satu tokoh penting jagat seni patung modern Indonesia. Sebagai pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), dia turut meletakkan fondasi pendidikan seni patung, terutama dalam eksplorasi Bahasa bentuk. Sebagai pematung, dia telah meninggalkan jejak dan warisan berupa ratusan karya.

Salah satu puncak karya Rita, yang menyelesaikan studi Meisterschüler di Staatliche Akademie der Bildende Künste Stuttgart, Jerman, adalah Tugu Parameswara. Susunan logam yang secara lentur membentang menjadi lanskap harmonis ini diresmikan pada pembukaan PON XVI di Palembang tahun 2003.

Ratusan karya Rita, yang pindah ke Bandung sejak 1965, dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yakni yakni karya personal, karya yang terintegrasi dengan keperluan arsitektural, serta karya-karya seni di ruang publik. Puluhan karya di ruang publik itu tersebar di berbagai kota di Indonesia, membentang dari Aceh hingga Papua.

Tim riset Selasar Sunaryo Art Space, yang dipimpin oleh Nurdian Ichsan, mencatat sedikitnya ada 70 karya Rita yang tersebar di ruang-ruang publik bertiti mangsa 1972 hingga 2020. Karya pertamanya tahun 1972 berbentuk relief di Hilton Executive Club, Jakarta, dan karya teranyarnya diselesaikan pada 2020 lalu di Jakarta Box Tower.

Di Kota Bandung, sedikitnya ada tiga karya Rita di ruang publik dan perkantoran, yang sampai hari ini masih terawat dan bisa dinikmati warga. Yang pertama adalah relief berbahan baja tahan karat dan alumunium setinggi 46 meter di dinding lobi Hotel Aryaduta (dulu Hyatt Regency Hotel) yang dibuat sekitar tahun 1996-1997. Karya kedua juga berupa relief berbahan baja tahan karat dan alumunium di lantai lima kantor Bank Indonesia di Jalan Braga yang dibuat tahun 1999. Karyat ketiga adalah Patung Persahabatan di Plaza Widya Nusantara kampus ITB yang dibuat pada 2007 lalu.

Bagi Rita, suatu karya bagaikan seorang anak, yang dikandung sejak ide-ide dituangkan hingga dilahirkan menjadi karya utuh yang dapat dinikmati jutaan mata. Orang kemudian bebas memaknainya dari berbagai macam sudut pandang.

Jim Supangkat, dalam artikel “Tiga Gejala Awal Pertumbuhan Seni Patung Modern Indonesia” (1992), menyebut Rita sebagai “yang paling keras menentang unsur perasaan dalam proses mematung”. “Ia menciptakan ‘bentuk konkret’ tiga dimensi dan menyebutnya sebagai ‘bentuk-bentuk konkret’ dalam arti tidak mencitrakan apa-apa, kecuali kualitas bentuknya sendiri,” tulisnya.  

Konsistensi karya dan pemikiran Rita Widagdo inilah yang menjadikannya orang pertama yang menerima Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) Lifetime Achievement Award (penghargaan pencapaian seumur hidup) di Bandung, Jumat (27/11/2021) petang. Selain pameran sebagian karya dan proses kreatifnya yang bisa dinikmati publik sejak dua sebelumnya, ada suguhan istimewa lain. Fauzie Wiriadisastra dan Yohanes Siem, dua pengajar Integrated Arts Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, menanggapi 8 patung karya Rita menjadi komposisi musik yang kemudian ditafsirkan ke dalam penampilan resital piano dalam dua sesi.

Penampilan musik itu pun lalu menjadi cara lain memaknai, dan mungkin juga menemukan relevansi, karya-karya seorang Rita Widagdo.

Foto dan teks: Virliya Putricantika

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//