• Budaya
  • Penghargaan Pencapaian Seumur Hidup untuk Rita Widagdo

Penghargaan Pencapaian Seumur Hidup untuk Rita Widagdo

Rita Widagdo, satu dari sedikit pematung perempuan yang konsisten berkarya. Patung dan reliefnya tersebar di Bandung dan kota-kota lain di penjuru Indonesia.

Maestro patung Rita Widagdo (kanan), berfoto bersama Sunaryo, di malam penghargaan pencapaian seumur hidup (lifetime achievement award) dari Selasar Sunaryo Art Space, di Jalan Bukit Pakar Timur, Bandung, Jumat (26/11/2021). Selain pematung penting, Rita meninggalkan jejak penting sebagai pengajar di ITB. (Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana27 November 2021


BandungBergerak.id - Seniman patung sekaligus pendidik Rita Widagdo menerima penghargaan pencapaian seumur hidup (lifetime achievement award) yang diberikan oleh Selasar Sunaryo Art Space di Bandung, Jumat (27/11/2021) petang. Tokoh penting seni patung modern Indonesia yang juga salah satu peletak dasar bahasa bentuk dalam kurikulum pendidikan seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini adalah guru bagi Sunaryo dan seniman-seniman berpengaruh lain, seperti I Nyoman Nuarta dan Jim Supangkat.

Pemberian penghargaan pencapaian seumur hidup ini dibarengi dengan pameran tunggal bertajuk “Ekuilibrium: Karya dan Pikiran Rita Widagdo” yang berlangsung sejak 17 September hingga 24 Desember 2021 nanti di Selasar Sunaryo Art Space, Jalan Dago Pakar Timur, Bandung. Di sana ditampilkan 10 karya patung, 8 relief, 13 maket, serta catatan-catatan dan arsip yang menangkap proses kreatif Rita sejak 1960-an. Inilah pameran tunggal kedua Rita selama 50 tahun menekuni dunia seni rupa. 

Rita Widagdo, kelahiran Rotweill, Jerman, 1938, banyak menyerap unsur-unsur alam Indonesia ke dalam bentuk karyanya yang berbahan dasar logam. Selain ratusan patung yang menjadi koleksi pribadi Rita atau dimiliki para kolektor, terdapat puluhan karya Rita di ruang publik. Inilah "tantangan" yang ia nikmati. 

Riset yang dilakukan tim Selasar Sunaryo Art Space yang dipimpin Nurdian Ichsan mencatat sedikitnya ada 70 karya Rita yang tersebar di ruang-ruang publik dari Aceh hingga Papua sejak 1972 hingga 2020. Karya pertama tahun 1972 berbentuk relief di Hilton Executive Club, Jakarta, dan karya terarnyarnya yang diselesaikan pada 2020 lalu di Jakarta Box Tower. Di Bandung, karya Rita Widagdo antara lain bisa ditemukan di ITB, Haytt Regency Hotel, dan Bank Indonesia. 

Meski banyak menyerap unsur alam, Rita tidak menghilangkan bentuk asli logamnya. Sekaligus inilah yang kemudian menjadi ciri khas patung maupun relief karya Rita. Terhadap karya patung abstraknya, publik bisa memberikan penafsiran yang berbeda-beda.

Pada salah satu reliefnya, Rita menyajikan lempeng yang terbuat dari logam berbentuk garis-garis berwarna emas. Sesuatu menyembul dari sana. Tak jauh dari relief ini, terdapat kutipan: “Manusia modern merasa tidak tenang: ia mengerti banyak hal yang ia tidak dapat melihat.” Pernyataan itu diulang kembali oleh Rita Widagdo saat menerima penghargaan langsung dari tangan Sunaryo.

Kita seakan mulai dari nol dalam melihat sesuatu, menghayati dan bereaksi terhadap alam, dan itu pengalaman sangat penting dalam kehidupan kita: apakah kita sanggup menghadapi hal yang belum kita kenal,” katanya.

Rita berbicara cukup panjang dalam pidato penerimaan penghargaan itu. Dia mengulas hubungannya dengan alam, merenungkan ide, dan memulai membuat karya.

“Saya jelaskan secara singkat, kalau tidak ada Bu Rita, saya tidak tahu menjadi apa,” kata Sunaryo, mengomentari kata sambutan Rita Widagdo, disambut tawa lepas hadirin.

Penghargaan yang baru pertama kali diberikan oleh Selasar Sunaryo Art Space ini diberikan berdasarkan pertimbangan dari panelis yang terdiri dari Ignatius Bambang Sugiharto, Yuswadi Saliya, Iwan Meulia Pirous, Aminudin TH Siregar, Agung Hujatnikajennong, dan Sunaryo sendiri. Para panelis menilai, sangatlah layak bagi SSAS untuk menghaturkan penghargaan sepanjang hayat bagi Rita Widagdo.

Baca Juga: Lukisan Gaya China Tak Pudar Dihantam Pandemi COVID
Pameran Lukisan Tisna Sanjaya di antara Timbunan Limbah Plastik

Riset Dua Tahun

Rita Widagdo menuntaskan studi Meisterschüler di Staatliche Akademie der Bildende Künste Stuttgart, Jerman, pada tahun 1964. Dia lalu pindah ke Indonesia pada 1965 dan mengajar di Jurusan Seni Patung ITB. Selama lima dekade tinggal di Indonesia, Rita melahirkan ratusan karya, baik itu yang sifatnya personal, yang terintegrasi dengan keperluan arsitektural, serta karya-karya seni di ruang publik. 

Sunaryo menuturkan, persiapan pemberian penghargaan dan pameran tunggal Rita Widagdo memakan waktu yang tidak singkat, yakni dua tahun. Mulanya direncanakan berlangsung pada 2020, hajatan ini terhambat pandemi. Selama dua tahun itu, SSAS membentuk tim untuk melakukan riset kekaryaan Rita, mendatangi rumahnya, mengunjungi studionya, mewawancarainya, serta mengumpulkan dokumentasi karya-karyanya yang terserak di Indonesia.

“Itu tidak mudah. Tim kami juga harus mengatur waktu kapan Bu Rita sehat, dan kapan kita dua minggu sekali (menemuinya),” kata Sunaryo.

Tidak mudah bagi tim untuk mengumpulkan karya-karya Rita yang sudah menjadi koleksi para kolektor seni, dan sebagian yang lain tersebar di ruang publik. Beberapa karya harus dipinjam dari kolektor, salah satunya dari AD Pirous. Hasil riset tim melewati proses kurasi oleh kurator Nurdian Ichsan berdasarkan pada konsep dan pemikiran Rita Widagdo.

Bagi Sunaryo, selain guru yang dihormati, Rita Widagdo adalah sosok yang disiplin dalam berkarya, konsisten, dan memiliki konsentrasi tinggi. Dia merupakan satu dari sedikit perempuan yang konsisten menggeluti seni patung yang diidentikkan dengan pekerjaan laki-laki.

“Bu Rita merupakan perupa perempuan yang sedikit dan sampai sekarang masih bisa menginspirasi bahwa patung tidak hanya identik dengan laki-laki,” kata kurator Agung Hujatnikajennong.

Produktivitas Rita Widagdo tidak diragukan lagi, walaupun selama karier senimannya ia tercatat hanya dua kali menggelar pameran tunggal.

“Bu Rita jarang pameran tunggal, tapi menikmati tantangan berkarya di ruang publik dari 1972 sampai 2020. Meski jarang pameran, produktivitasnya tinggi,” tambah Nurdian Ichsan.

Potret patung karya Maestro patung Rita Widagdo di dinding pameran Selasar Sunaryo Art Space, Jalan Bukit Pakar Timur, Bandung, Jumat (26/11/2021) malam. (Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Potret patung karya Maestro patung Rita Widagdo di dinding pameran Selasar Sunaryo Art Space, Jalan Bukit Pakar Timur, Bandung, Jumat (26/11/2021) malam. (Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Dari Patung ke Bunyi

Selain pemberian penghargaan pencapaian seumur hidup untuk Rita Widagdo, petang itu juga digelar pertunjukan musik oleh dua pengajar Integrated Arts Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Fauzie Wiriadisastra dan Yohanes Siem. Fauzie, seorang komposer, menanggapi delapan patung karya Rita dengan menafsirkannya ke dalam partitur. Yohanes kemudian menafsirkan komposisi ciptaan Fauzie itu ke dalam penampilan resital piano secara langsung. 

Kedelapan karya yang direspons oleh Fauzie dan Yohanes Siem menjadi komposisi bunyi yang disajikan dalam resital piano adalah Four Sections (1980), Surface in Movement (1980), From Two to Three Dimensions (1982), The Softness of Shadow (1983), Dialogue between Flat Area and Waved Form (1987), Irama Air (1994), Light and Shadow (1997), dan Empati (2008).

“Yang saya kerjakan adalah menciptakan kondisi paling prima bagi seorang pemain musik untuk menafsirkan karya patung ke dalam bunyi. Proses ini tentu mensyaratkan terbangunnya empati dengan karya,” tutur Fauzie.

Untuk membangun empati itu, Fauzie mesti berulang kali mengunjungi patung-patung karya Rita Widagdo dan menghabiskan cukup waktu dengan mereka. Melihat-lihat karya dari potretnya saja tidak akan cukup. Hasil interaksi antara komposer musik itu dengan karya patung adalah delapan komposisi bunyi yang bisa jadi panduan bagi seorang pemain musik.

Panduan berupa partitur itu, yang dibuat tetap terbuka pada interpretasi, sejak awal diniatkan untuk menghilangkan kesulitan teknis memainkan musik. Dengan demikian masih terbuka luas ruang penafsiran bagi Yohanes untuk menafsirkan komposisi tersebut dalam permainan pianonya.

Terhadap karya patung Four Sections (1980), yang menjadi komposisi pertama, Fauzie merespons bentuk patung yang menampilkan empat blok baik secara vertikal maupun horisontal. Suasana tak terlalu cair itulah, nyaris berupa blok, yang ditangkap sang komposer untuk kemudian dituangkan dalam sebuah partitur berupa empat kombinasi bunyi yang masing-masing berisi empat not.

Lain lagi respons Fauzie untuk karya Rita Widagdo berjudul Irama Air (1994). Karya ini menampilkan permainan yang sangat halus. Ibarat air yang gemericik. Rapat sekaligus dinamis.

“Komposisi yang dihasilkan pun lalu menghadirkan suasana serupa. Sesuatu yang sublim, yang cepat tapi tetap halus,” kata Fauzie. 

Karya patung kedelapan yang ditanggapi oleh Fauzie adalah Empati (2008), sebuah patung setinggi 2,25 meter yang terbuat dari alumunium teranodisasi. Komposisi yang dihasilkan berupa empat kombinasi yang bertemu di puncak tangga nada A, bersifat sangat terbuka pada penafsiran sang pemain musik.  

Editor: Redaksi

COMMENTS

//