NGALEUT BANDUNG: Bandung di Masa Bersiap
Masa bersiap di Bandung, sejak proklamasi hingga peristiwa Bandung Lautan Api, adalah masa berdarah-darah. Terjadi perampokan, pembakaran, dan bahkan pembantaian.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
10 April 2022
BandungBergerak.id - Setelah kapitulasi Jepang kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 disusul dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadi kekosongan kekuasaan di wilayah bekas Hindia Belanda. Kekosongan ini kemudian memicu kekacauan dan bentrokan bersenjata hingga konflik dan konfrontasi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda yang datang membonceng Inggris.
Oleh orang-orang Belanda, masa ini dikenal sebagai “de bersiap periode” atau tijd van paraat zijn (periode bersiap atau masa siaga). Ketika itu terjadi gelombang kekerasan terhadap orang-orang Belanda dan simpatisannya, termasuk juga orang Tionghoa, yang dilakukan oleh milisi perlawanan rakyat.
Merujuk buku yang berjudul Bersiap in Bandoeng -Een onderzoek naar geweld in de periode van 17 Augustus 1945 tot 24 Maart 1946 (Bersiap di Bandung- Penyelidikan terhadap tindak kekerasan pada periode 17 Agustus 1945 hingga 24 Maret 1946) yang ditulis oleh Mary C. van Dalden, rentang waktu masa bersiap di Bandung dimulai sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga tanggal 24 Maret 1946 yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Bandung Lautan Api.
Mengutip informasi dari buku Bandung Citra Sebuah Kota yang disusun oleh Robert P.G.A. Voskuil dkk., terjadi gelombang kekerasan pada bulan Oktober dan November 1945 di Jawa dan Sumatra yang memakan korban sekitar 5 ribu orang tewas. Di Bandung, sebagian besar korban di masa kekerasan ini adalah orang Belanda dan Tionghoa yang tinggal di permukiman penduduk tanpa penjagaan, atau mereka yang tinggal di luar daerah yang dijaga.
Perlawanan rakyat Indonesia semakin sengit pascapendaratan tentara Inggris pada tanggal 17 Oktober 1945. Gelombang kekerasan menimpa orang-orang Belanda serta pihak-pihak yang dianggap sebagai pendukungnya.
Salah satu insiden kekerasan terhadap orang Belanda di Bandung pada masa ini adalah peristiwa pembantaian di kompleks militer KNIL Bronbeek dan kompleks rumah peristirahatan Sorghvliet pada tanggal 27 November 1946. Tercatat 33 orang tewas di dua kompleks yang terletak di barat daya kota Bandung tersebut. Tidak Cuma orang Belanda yang jadi korban, tapi juga puluhan orang pribumi. Sebagian lain penghuni kedua kompleks ditawan oleh milisi, sebelum dibebaskan oleh tentara Gurkha pada tanggal 17 Desember 1945.
Saat tentara Inggris dengan dibantu oleh satuan kecil tentara Belanda melakukan pembersihan kompleks Bronbeek pada bulan Februari 1946, turut ditangkap para pelaku pembunuhan dan penyanderaan yang berasal dari penduduk kampung Sukajadi. Para pelaku kemudian dibawa ke muka pengadilan.
Gelombang teror juga menimpa profesor Charles Prosper Wolff Schoemaker. Rumah tinggalnya di Van Galenweg No. 2 (kini Jalan Lamping) habis dijarah dan dibakar oleh gerombolan perampok. Secara kebetulan letak rumah Wolff Schoemaker berada tak terlalu jauh dari kompleks Bronbeek. Status Wolff Shoemaker sebagai bekas dosen presiden Sukarno saat kuliah di Technische Hoogeschool Bandung (sekarang ITB) tidak dapat mencegah kemalangan yang menimpanya.
Pengalaman Pans Schomper
Pengalaman kengerian pada masa bersiap juga dicatat oleh Pans Schomper dalam bukunya yang berjudul Selamat Tinggal Hindia (Janjinya Pedagang Telur). Judul yang diberikan oleh Pans Schomper untuk salah satu bab dalam bukunya yang menceritakan tentang masa bersiap yaitu Zaman “Bersiap” Dari Sarang Harimau ke Mulut Buaya, sedikit banyak dapat menggambarkan apa yang terjadi kepada orang Belanda seperti dirinya di masa bersiap. Setelah terbebas dari kamp interniran Jepang, penderitaan mereka masih terus berlanjut di masa bersiap.
Salah satu kejadian memilukan yang dicatat Pans Schomper dalam bukunya itu adalah pembantaian satu keluarga Belanda di Papandayanlaan (sekarang Jalan Gatot Subroto), Bandung. Pans, setelah bebas dari kamp interniran Jepang di Cimahi, ketika itu bekerja sebagai sopir di Dinas Angkutan Militer (Militaire Transport Dienst).
Pada suatu hari Pans Schomper, beserta beberapa kawannya sesama sopir, diperintahkan untuk mendatangi sebuah rumah yang berada di lingkungan Indo-Eropa di Papandayanlaan. Menurut laporan telah terjadi perampokan dan pembunuhan di tempat tersebut. Saat Pans tiba di lokasi kejadian, ia melihat pintu rumah telah roboh. Meskipun saat itu siang hari namun suasananya sangat sepi dan tegang, serta tak tampak tanda adanya kehidupan. Bau amis darah serta kotoran manusia menguar di udara.
Di bagian dalam rumah, Pans melihat pemandangan yang mengenaskan: tumpukan mayat yang tediri dari pria, wanita, dan anak yang tewas dengan luka senjata tajam. Di setiap ruangan di dalam rumah itu ditemukan mayat yang bersimbah darah. Bahkan kemudian Pans Schomper mendapati seorang bayi yang tewas di atas meja setrika dengan keris yang menacap di tubuhnya.
Tak cuma orang Indo-Eropa yang jadi korban di masa bersiap. Orang pribumi yang dianggap kaki tangan orang Belanda juga ikut terseret menjadi sasaran kekerasan yang dilakukan sesama kaumnya. Seperti yang terjadinya pada Enoch, sopir pribadi keluarga L. C. Schomper, pemilik Hotel Schomper dan Hotel Du Pavillon di daerah Naripan.
Enoch yang setia menjadi sopir sejak Pans Schomper mulai bersekolah tetap memberikan bantuan kepada keluarga majikannya di masa-masa sulit, mulai dari penahanan di masa Jepang hingga kekacauan di masa bersiap. Kesetiaan yang berujung tragedi, karena Enoch beserta istri dan anaknya tewas dibakar dalam rumah tinggalnya di kampung Astanaanyar oleh sesama bangsanya sendiri.
Mereka yang menjadi bulan-bulanan saat masa bersiap tidak selamanya tinggal diam dan kemudian melakukan pembalasan. Orang-orang dari bagian timur Indonesia yang sebagian terkenal karena setia kepada Belanda, melakukan perlawanan dan pembalasan.
Pans Schomper dengan kawan-kawannya yang berasal dari Indonesia timur pernah memiliki pengalaman menangkap seorang pribumi yang mereka temukan berkeliaran di kawasan Jalan Citarum. Gerak-geriknya yang mecurigakan membuat Pans Schomper dan kawan-kawannya merasa perlu menggeledah tubuh pemuda pribumi ini dan menemukan sepucuk pistol dan kertas berisi daftar nama. Saat mencoba lari, pemuda pribumi ini kemudian ditangkap dan dibawa ke sebuah rumah besar di ujung Jalan Riau yang merupakan markas para pemuda dari Indoensia timur.
Meskipun Pans Schomper tak mengetahui dengan pasti apa yang kemudian terjadi kepada pemuda pribumi yang ditangkapnya itu, tapi ia melihat orang yang keluar masuk rumah ini bajunya berlumuran darah. Ia menduga, pemuda pribumi yang ditangkap dengan sepucuk pistol dan lembar kertas berisi daftar nama itu dihabisi dengan menggunakan senjata tajam.
Pans khawatir, inilah bentuk tindakan balasan terhadap kekerasan yang dilakukan pihak pribumi di masa bersiap kepada orang Belanda beserta orang-orang yang dianggap sebagai kaki-tangannya. Teror dibalas dengan teror.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: R. Ating Atma di Nata, Wali Kota Bandung Pertama dari Kaum Bumiputra
NGALEUT BANDUNG: Semerbak Nama Haryoto Kunto di Bandung Raya
NGALEUT BANDUNG: Kisah Keluarga Kepala Penghulu Bandung
Masa "Siap-Siapan" di Mata Seorang Tokoh Pribumi
Informasi mengenai masa bersiap di Bandung dari sisi orang pribumi bisa ditengok di buku biografi Ir. H. Ukar Bratakusumah berjudul Dari Jaman Penjajahan Belanda Hingga Jaman Pembangunan. Menurut Ukar, yang pada masa itu menjabat sebagai Direktur Teknik di pemerintah Kota Bandung, suasana setelah proklamasi kemerdekaan membuat perasaan yang luar biasa di kalangan rakyat banyak. Timbul sikap emosional, nekat, dan berontak yang mungkin sebelum proklamasi kemerdekaan tidak pernah ada.
Dengan mengutip pernyataan seorang kawan seperjuangan dari etnis Minahasa yang berprofesi sebagai dokter, Ukar Bratakusumah menjelaskan seperti apa luapan emosi rakyat banyak ketika terjadi revolusi kemerdekaan. Dalam kejadian luar biasa seperti revolusi, akan terjadi perubahan emosi dalam 20 persen rakyat, yang kemudian ikut membawa 80 persen lainnya dalam luapan perasaan emosi yang sama.
Saat itu banyak muncul pemimpin yang mengatur rakyat dengan cara yang berbeda-beda. Memang kemudian semua rakyat begerak, namun tidak teroganisasi. Semuanya tiba-tiba ingin berjuang dengan semangat kemerdekaan yang berkobar. Muncullah banyak pasukan yang pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu melawan Belanda. Namun kemudian muncul juga oknum yang membentuk pasukan untuk tujuan yang menyimpang dengan melakukan perampokan terhadap rumah tinggal orang Belanda.
Menurut Ukar Bratakusumah, selain tindak kejahatan yang dilakukan segelintir orang, pada masa itu juga muncul kecurigaan kepada mata-mata musuh dengan alasan yang sepertinya tidak masuk akal. Seseorang yang tanpa sadar menggunakan pakaian dengan unsur warna bendera Belanda yaitu merah, putih, dan biru akan dengan mudah dituding sebagai mata-mata Belanda. Masa ini menurut Ukar Bratakusumah dalam buku biografinya dikenal sebagai “zaman siap-siapan”, yaitu masa ketika rakyat dengan spontan akan berteriak “Siap-siap!”.
Pada masa bersiap, Ukar Bratakusumah sempat menyelamatkan seorang remaja pria Belanda. Ketika itu Ukar tinggal di Logeweg atau kini Jalan Wastukancana yang berdekatan dengan kantor wali kota Bandung tempat dirinya berkantor. Diceritakan dalam buku biografinya, betapa terkejutnya Ukar pada suatu malam saat pulang ke rumahnya ia mendapati seorang sinyo, sebutan bagi anak laki-laki Belanda, tengah tertidur di teras rumahnya. Ia kemudian segera mengajak remaja pria itu masuk ke rumahnya. Keberadaan orang Belanda pada masa itu bisa membuat celaka karena mereka merupakan sasaran kemarahan rakyat.
Remaja pria Belanda ini berusia sekitar 16 tahun dan baru bebas dari kamp tawanan Jepang. Tempat pertama yang ditujunya setelah keluar dari kamp iterniran Jepang adalah rumah tinggal keluarganya, yaitu keluarga dokter Kampman yang kini ditempati keluarga Ukar Bratakusumah. Sinyo Kampman ini bermaksud mencari keberadaan ibunya yang dibawa ke kamp interniran Jepang di Ambarawa. Sementara itu, sang ayah tak diketahui keberadaanya.
Ukar kemudian menjelaskan bahwa perjalanan yang ingin dilakukan remaja pria ini sangatlah berbahaya karena saat itu semua orang Belanda dianggap musuh dan keselamatan jiwanya teracam. Namun tak urung Ukar akhirnya membantu juga perjalanan remaja pria ini ke Ambarawa. Secara kebetulan, di rumahnya tinggal anak kos yang berasal dari Banjar yang bersedia mengantar Sinyo ini hingga mencapai Banjar. Ukar kemudian mengetahui bahwa remaja pria Belanda ini berhasil berjumpa dengan ibunya dan selamat hingga pulang ke Negeri Belanda.
Tindak kemanusiaan Ukar Bratakusumah terhadap orang Belanda telah terjadi juga sebelum masa bersiap, yaitu pada awal masa pendudukan Jepang. Tugasnya sebagai Direktur Teknik Kota Bandung di bawah kepemimpinan wali kota R. Ating Atma di Nata, adalah menyediakan berbagai fasilitas keperluan tentara Jepang. Hatinya terenyuh saat menyediakan kamp tahanan Jepang bagi para wanita Belanda.
Ukar kemudian berusaha memperluas dan melengkapi fasilitas di dalam kamp walaupun hal itu akan memakan biaya yang tinggi. Begitulah sisi kemanusian Ukar Bratakusumah menggerakkannya untuk memberikan bantuan kepada mereka yang dahulu menindas bangsanya.
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut