• Kolom
  • NGALEUT BANDUNG: Semerbak Nama Haryoto Kunto di Bandung Raya

NGALEUT BANDUNG: Semerbak Nama Haryoto Kunto di Bandung Raya

Haryoto Kunto mewariskan buku-buku yang jadi referensi orang mengenali sejarah Bandung. Juga koleksi puluhan ribu buku yang masih tersimpan di rumahnya.

Alex Ari

Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri

Deretan buku karya Haryoto Kunto yang hingga saat ini menjadi referensi wajib bagi siapa pun yang hendak mengenal sejarah Kota Bandung. Salah satu kekhasan tulisan-tulisan Kuncen Bandung ini adalah pada gaya berceritanya yang ringan dan personal. (Foto: Alex Ari)

16 Januari 2022


BandungBergerak.id - Meski Haryoto Kunto sudah pergi 23 tahun lalu, buku-buku karyanya tetap banyak dicari orang. Namanya hampir selalu disebut jika orang bicara tentang Bandung tempo dulu. Membaca karya tulisan “Kuncen Bandung” ini seolah melongok jauh ke belakang sebagai nostalgia, sekaligus sebagai cermin melihat kondisi kota hari ini, untuk kemudian melihat jauh ke masa depan.

Pada tanggal 20 Juni 2015, Komunitas Aleut mendapatkan kesempatan berkunjung ke rumah penulis Haryoto Kunto di Jalan H. Moh. Mesri atau Jalan Haji Mesri, tidak jauh dari Stasiun Kota Bandung. Saat itu bulan suci Ramadan baru memasuki minggu pertama. Suasananya mengingatkan kami pada buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe) (1996) yang ditulis Haryoto Kunto.

Buku yang bercerita mengenai suasana bulan puasa di Bandung dan kota-kota lain di Priangan di masa lalu ini dipersembahkan sang penulis bagi istrinya tercinta, Etty Rochaetin Winarya. Dengan wanita yang berprofesi sebagai tenaga pendidik di salah satu SMA Negeri di kota Bandung inilah, Komunitas Aleut berbincang mengenai sosok Pak Harry, panggilan akrab Ir. Haryoto Kunto yang telah berpulang pada tanggal 4 Oktober 1999.

Rumah yang terletak di Jl. H. Moh. Mesri No 5 itu telah menjadi tempat kediaman keluarga R. Koento Tjokrowidigdo dan istrinya, yang memiliki 11 orang putra-putri, sejak masih dinamai Rozelaan. Tepatnya sejak tahun 1919. Haryoto Kunto juga lahir di rumah ini pada tanggal 23 Juli 1940.

Haryoto Kunto kerap diceritakan suasananya secara hidup dalam buku-bukunya. Pembaca seolah dibawa ke suasana Rozelaan di masa lalu saat aroma wangi biskuit dan roti dari pabrik roti dan kue Valkenet yang terletak di Litsolaan (kini Jalan H. Rais).

Sebagai seorang pegawai Staats Spoorwege (SS), kini PT. KAI, R. Kunto selalu berpindah tempat mengikuti penugasannya. Bermula dari Gombong, keluarga R. Kunto sempat tinggal di berberapa kota di sepanjang jalur lintasan kereta api di Jawa Barat dan Banten, di antaranya adalah Serang (1914), Rangkasbitung (1916), Bandung (1919), Kiaracondong (1925), Cianjur (1934), Cimahi (1935), Purwakarta (1936), Cibatu (1937-1947), dan Tasikmalaya (1947).

Haryoto Kunto menyisipkan kisah mengenai tugas ayahnya sebagai kepala stasiun (Stationschef) Cibatu, Garut, dalam bukunya Ramadhan di Priangan (Tempo Doloe) (1996). Misalnya tentang inisiatif ayah dan ibunya membuat pawai makanan untuk meramaikan waktu menjelang malam takbiran. Sisipan kisah-kisah pribadi seperti inilah yang membuat buku-buku yang ditulis Haryoto Kunto memiliki kesan yang personal dan tidak kaku seperti layaknya buku sejarah formal yang hanya diisi dengan runtutan fakta dan angka tahun.

Meskipun tulisan Haryoto Kunto lebih terasa sebagai tulisan sejarah populer tentang Kota Bandung yang ringan karena diisi cerita dan dongeng, penulisnya sedikit banyak mencoba tetap memasukan isu-isu perkotaan. Tujuannya, menggugah kesadaran pembaca tulisan-tulisannya yang selain diterbitkan dalam bentuk buku, juga tersebar sebagai artikel kolom yang rutin ditayangkan di sebuah harian terkemuka di Bandung.

Kepedulian pada isu perkotaaan ini sesuai dengan latar belakang pendidikan Haryoto Kunto sebagai lulusan Jurusan Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB). Mengutip informasi dari buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986), salah satu dosennya saat kuliah di ITB adalah Prof. Ir. V. R. van Romondt, guru besar yang mengajar mata kuliah Sejarah Arsitektur Indonesia.

Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Kisah Keluarga Kepala Penghulu Bandung
NGALEUT BANDUNG: Mengenal Kartel Preanger Planters (2)
NGALEUT BANDUNG: Mengenal Kartel Preanger Planters (1)

Pertemuan dengan W. J. S. Poerwadarminta

Semerbak Bunga di Bandung Raya dipersembahkan Haryoto Kunto bagi para pendahulu, pembangun, dan pengelola Bandung Raya. Buku setebal 1.116 halaman ini merupakan pengembangan dari buku pertamanya, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), yang tebalnya ‘hanya’ 383 halaman.

Dalam buku yang dianggap sebagai magnum opus ini, dan hanya terbit cetakan pertamanya pada April 1986, Haryoto Kunto menyajikan lintasan sejarah Bandung dari mulai masa pra sejarah hingga proyeksi Bandung di masa depan, dengan segala permasalah yang dihadapi. Ada satu bagian khusus tentang proyeksi masa depan Bandung dalam rentang waktu 19 tahun setelah buku diterbitkan. Bab istimewa itu diberi judul “Bandung Menjelang Tahun 2005”.

Bab lain di buku ini juga tak sepi dari saran dan kritik terhadap pengelola kota, mulai dari isu bangunan cagar budaya, ruang terbuka hijau, hingga perlindungan hewan. Melihat isinya yang lengkap dan tingkat kelangkaannya, tak mengherankan jika buku ini digolongkan sebagai buku antiqueriat dan bernilai ekonomi cukup tinggi.

Buku pertama Haryoto Kunto, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), dipersembahkan untuk mengenang sosok ibunya, Siti Kadariah Kunto (1902-1983), seorang pegawai kantor pos di Tegal. Kepandaian memasak sang ibu ini kesohor, sampai-sampai menarik perhatian keluarga Bupati Garut untuk ikut mencicipi masakannya. Peristiwa ini termuat dalam buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doloe) (1996).

Butuh waktu yang cukup panjang bagi seorang Haryoto Kunto untuk dapat menulis. Seperti yang ditulis dalam daftar riwayat hidup penulis di buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986), tidak pernah terpikirkan di kepalanya untuk menulis, meski koleksi bukunya sudah ribuan eksemplar. Sampai suatu hari, Haryoto Kunto bertemu dengan penulis dan penyusun kamus terkemuka Wilfridus Jozef Sabarija (W. J. S) Poerwadarminta dalam sebuah perjalanan kereta api dari Jakarta ke Yogyakarta.

Nasihat W. J. S Poerwadarminta di pertemuan tersebut bakal menjadi kredo Haryoto Kunto dalam menulis: “Tulis, tulis semua yang ada di benakmu! Biar susunan kalimatnya kurang sempurna, pasti kelak bakal ada orang yang bisa menyunting dan memanfaatkannya.” Itulah takdir bagi seorang anak pegawai perusahaan kereta api untuk berjumpa dengan orang yang akan membukakan pintu ke bidang yang kemudian hari yang akan membuat namanya harum sebagai “kuncen Bandung”.  

Keberanian Haryoto Kunto menulis buku muncul berkat pertemuan tak sengaja dengan pembuat kamus terkenal, W. J. S. Poerwadarminta, di sebuah perjalanan kereta api dari Jakarta ke Yogyakarta. (Sumber foto: buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, 1984)
Keberanian Haryoto Kunto menulis buku muncul berkat pertemuan tak sengaja dengan pembuat kamus terkenal, W. J. S. Poerwadarminta, di sebuah perjalanan kereta api dari Jakarta ke Yogyakarta. (Sumber foto: buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, 1984)

Puluhan Ribu Buku di Perpustakaan Pribadi

Etty Rochaetin Winarya banyak bercerita mengenai kegilaan suaminya akan buku. Tak hanya buku, menurutnya, suaminya juga mengumpulkan kora-koran dan majalah tempo dulu. Buku serta tumpukan majalah dan koran itulah yang kemudian memenuhi seluruh ruangan di dalam rumahnya, tersebar bahkan hingga di atas meja makan.

Kecintaan akan buku telah timbul sejak Haryoto Kunto masih kecil. Menurut sahabat karibnya, penulis dan jurnalis Us Tiarsa R., ketika bermain kelereng sekalipun Harry akan membawa dan membaca buku. Ketika menunggu giliriannya bermain, ia akan melewatkan waktu dengan membaca, dan ketika tiba gilirannya bermain, buku bacaannya itu akan dikempit di ketiak.

Bukanlah suatu hal yang aneh jika jumlah buku di rumah Haryoto Kunto dperkirakan mencapai 30 ribu eksemplar, sebagaimana termuat dalam daftar riwayat hidup sang punulis di sampul belakang buku Nasib Bangunan Bersejarah di Kota Bandung (2000). Puluhan ribu buku koleksi perpustakaan pribadi Haryoto Kunto inilah, yang menghabiskan setengah dari luas lantai dasar rumahnya, yang menjadi bahan referensinya menulis buku.

Sepeninggal Haryoto Kunto pada tanggal 4 Oktober 1999, setelah sebelumnya menderita penyakit gagal ginjal, koleksi buku ini masih cukup terawat. Ketika Komunitas Aleut datang berkunjung pada bulan Juni 2015, sudah lama tidak pernah ada lagi tamu yang datang berkunjung. Seperti yang tertulis dalam daftar riwayat penulis pada buku-buku yang ditulis Haryoto Kunto, dijelaskan bahwa koleksi buku perpustakaan pribadinya ini memang tidak dibuka untuk umum. Tidak sembarangan orang memang bisa berkunjung dan masuk.  

Etty Rochaetin Winarya, sebagai ahli waris, sangat hati-hati dalam menjaga peninggalan mendiang suami tercintanya. Sudah banyak pihak yang menawarkan kepadanya untuk merawat koleksi buku tersebut. Namun tawaran-tawaran yang datang dari instansi pemerintah dan juga perusahaan-perusahaan swasta, salah satunya dari sebuah perusahaan pengembang tempat Haryoto Kunto sempat bekerja sebagai tenaga konsultan, dirasakan Bu Etty belum ada yang cocok dan pantas.

Apa boleh buat, Bu Etty masih harus menyediakan dirinya untuk terus memikul tanggung jawab berat menjaga gudang harta karun ilmu yang diwariskan suaminya itu. Salah satu cara yang dia tempuh adalah dengan membuat perpustakan pribadi itu tertutup untuk khalayak ramai. Hanya mereka yang telah memperoleh izin saja yang bisa masuk. Bahkan sempat tersiar kabar seorang jurnalis dari sebuah surat kabar harus gigit jari ketika datang untuk meliput.

Hal keras tersebut dilakukan Bu Etty demi menjaga koleksi buku-buku ini tidak hilang, meskipun memang jadinya koleksi berharga itu tidak bisa diakses publik. Menurut Bu Etty kala itu, jika satu hari ada pihak yang dirasa cukup kompeten untuk mengurus koleksi buku-buku peninggalan suaminya, ia akan dengan besar hati menyerahkannya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan orang banyak. Namun hingga saat itu datang, koleksi buku-buku antiqueriat itu akan tetap tersimpan dalam ruang perpustakaan di rumah kediaman Haryoto Kunto di Jalan H. Moh. Mesri.

Di lantai dua rumah itu, selain foto-foto keluarga Kunto, terdapat lukisan tiga orang kakak laki-laki Haryoto Kunto yang gugur pada pertempuran di masa perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia. Ketiganya adalah Sugiarto Kunto, mahasiswa Kogyo Daigaku  Bandung (kini ITB) yang gugur dalam pertempuran di Jalan Lengkong Bandung pada 5 Desember 1945, Letnan Kolonel Suroto Kunto, komandan Resimen  6 Brigade Infanteri III Divisi Siliwangi yang hilang dan dinyatakan gugur saat menghadapi musuh di Front Warung Bambu, Desa Klari, Kerawang pada 28 November 1946, serta Mayor Yusuf Kunto yang bertugas di lingkungan Markas Besar Tentara (MBT) Yogyakarta sebagai perwira intelegen staf oemoem (SO-I) dan gugur saat terjadi Clash ke-2 pada 2 Januari 1949. Mayor Yusuf Kunto juga adalah pelaku dalam Peristiwa Rengasdengklok di sekitar Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Kepada ketiga kakaknya inilah, Haryoto Kunto mempersembahkan bukunya yang berjudul Balai Agung di Kota Bandung (1996).

Peristirahatan terakhir Haryoto Kunto di Lembang diziarahi oleh para pegiat Komunitas Aleut dalam kegiatan rutin momotoran, Minggu (9/1/2022). (Foto: Alex Ari)
Peristirahatan terakhir Haryoto Kunto di Lembang diziarahi oleh para pegiat Komunitas Aleut dalam kegiatan rutin momotoran, Minggu (9/1/2022). (Foto: Alex Ari)

Ziarah ke Makam Haryoto Kunto

Seminggu setelah berkunjung ke rumah kediaman mendiang Haryoto Kunto, Komunitas Aleut menggelar kegiatan baru yang diberi tajuk “Kelas Resensi Buku”. Setiap peserta harus memaparkan buku yang telah dipilih untuk dibacanya. Kegiatan yang rutin digelar pada hari Sabtu ini menambah kegiatan lain Kominitas Alet yang dilakukan rutin setiap Minggu, yakni ngaleut.

Dalam perjalanannya kelas resensi buku berubah menjadi kelas literasi. Kegiatan kelas literasi adalah mencoba memaknai literasi dalam arti yang lebih luas. Tidak hanya berkutat dengan buku, karena banyak aktivitas lain yang sebenarnya memiliki sisi literasi. Salah satunya adalah momotoran. Lewat kegiatan ini, tak cuma tempat tujuan yang menjadi hal utama, tapi juga bagimana menjalin dan belajar bekarja sama. Itulah sisi yang sebenarnya ingin dilatih oleh Komunitas Aleut melalui kegiatan ini. Kendaraan roda dua hanyalah alat untuk mencapai tujuan ketika tempat yang dituju memang mustahil dapat dicapai dengan ngaleut atau berjalan kaki beriringan. Yang paling penting adalah proses untuk mencapai tujuan itu.

Setelah tujuh tahun usia kegiatan kelas literasi, dan tujuh tahun sejak kunjungan ke rumah tinggal Haryoto Kunto yang buku-buku karyanya telah menjadi salah satu referensi bagi kegiatan ngaleut, Komintas Aleut akhirnya punya kesempatan untuk ziarah ke makam Haryoto Kunto melalui kegiatan momotoran. Sebenarnya kunjungan tidak direncanakan untuk mencari lokasi makam Haryoto Kunto. Hal ini terjadi karena suatu kebetulan belaka berdasarkan perkembangan di lapangan saat momotoran Komunitas Aleut ke Lembang pada Minggu (9/1/2022) lalu.

Awalnya kami mengunjungi beberapa tempat lain di Lembang, di antaranya makam Oto Iskandar di Nata di Pasir Pahlawan dan makam Franz Wilhelm Junghuhn. Kadung berada di Lembang, secara spontan kami memutuskan untuk juga mencari lokasi peristirahatan terakhir Haryoto Kunto. Berbekal sedikit informasi mengenai nama tempatnya, peserta momotoran Komunitas Aleut dapat menemukan lokasi makam Kuncen Bandung itu. Selain taburan bunga, sepenggal doa untuk mendiang diucapkan di pusaranya.

Rasa cinta Haryoto Kunto pada Kota Bandung yang demikian besar, ditambah pilihan pada Lembang sebagai peristirahatan terkahirnya, dengan mudah mengingatkan orang pada kata-kata terakhir naturalis Franz Wilhelm Junghuhn: “Groeneman yang budiman, maukah engkau membukakan jendela kamarku ini…., aku ingin berpamitan dengan gunung-gunungku yang tercinta. Buat akhir kali, aku ingin memandang hutan-hutanku…, ku ingin sekali lagi menghirup udara pegunungan yang segar.”

Termuat juga di buku pertama Haryoto Kunto, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), deretan kaliamt itu kiranya bisa mewakili kecintaan sang penulis pada alam dan kota Bandung, yang kisah-kisahnya sudah ia tuliskan dengan sepenuh hati.

Buku-buku Haryoto Kunto

  1. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984)
  2. Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986)
  3. Savoy Homann Persinggahan Orang-Orang Penting (1989)
  4. Balai Agung di Kota Bandung (1996)
  5. Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe) (1996)
  6. Seabad Grand Hotel Preanger (1997)
  7. Nasib Bangunan Bersejarah di Kota Bandung (2000)

Daftar penelitian yang ditulis oleh Haryoto Kunto sesuai dengan tugasnya sebagai anggota Kelompok Ahli di Bappeda DT I Propinsi Jawa Barat:

  1. Riwayat Kota di Tatar Sunda (1992-1993)
  2. Bangunan Arsitektur Tradisional Sunda di Jawa Barat (1994)
  3. Penerbitan Sistem Pemberian Nama Jalan dan Kawasan Dalam Wilayah Perkotaan (1995) 
Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//