NGALEUT BANDUNG: Kisah Keluarga Kepala Penghulu Bandung
Di era kolonial, jabatan Kepala Penghulu Bandung selalu jatuh ke keluarga menak Bandung. Pengecualian terjadi di masa Haji Hasan Mustapa yang berasal dari Garut.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
4 Januari 2022
BandungBergerak.id - Mungkin banyak yang telah mengetahui nama Haji Hasan Mustapa sebagai Kepala Penghulu (Hoofd Panghulu) Bandung yang ternama. Namun Haji Hasan Mustapa yang terkenal karena eksentrik bahkan beroleh julukan sebagai ulama mahiwal ini bukanlah asli urang Bandung. Seperti juga atasannya, R. A. A. Martanagara, Bupati Bandung saat itu, bukan berasal dari lingkungan keluarga menak (bangsawan) Bandung. R. A. A. Martanagara yang dikenal dengan julukan sebagai Bupati Panyelang (bupati penyeling) berasal dari keluarga bangsawan Sumedang. Sementara itu, Haji Hasan Mustapa berasal dari keluarga camat perkebunan di Cikajang, Garut.
Secara tradisi, jabatan di lingkungan kabupaten dahulu diwariskan sesuai dengan garis keturunan keluarga. Termasuk jabatan bupati dan kepala penghulu. Memasuki era kolonial, tradisi suksesi di lingkungan pejabat penguasa lokal harus memperoleh restu pemerintah kolonial sebagai usaha campur tangan untuk melanggengkan kekuasan kolonial. Maka bukanlah hal yang aneh jika kemudian pejabat di lingkungan kabupaten berasal dari luar keluarga bangsawan daerah tersebut. Jika pucuk pimpinan kabupaten yaitu Bupati sebagai raja kecil bisa berasal dari luar keluarga kabupaten yang bersangkutan, begitu pun jabatan lain di tingkat bawah seperti juga jabatan kepala penghulu kabupaten.
Pengangkatan pejabat bupati dari luar garis keuturunan bangsawan kabupaten yang bersangkutan juga pernah dialami oleh kabupaten Sumedang. Bupatinya berasal dari keluarga bangsawan kabupaten Parakan Muncang. Karena keturunan bupati yang wafat dianggap belum cukup usia untuk melanjutkan tampuk kekusaan, pemerintah kolonial mengangkat pejabat di luar lingkungan keluarga bangsawan Sumedang.
Hal yang sama terulang di Kabupaten Bandung saat anak tertua Bupati Kusumadilaga yaitu Aom Muharam atau kelak dikenal dengan gelar R. A. A. Wiranatakusumah V dianggap belum cukup umur untuk menggantikan ayahnya. Diangkatlah R. A. A. Martanagara sebagai Bupati Bandung. Pada rentang masa ini baik bupati maupun kepala penghulu dijabat oleh orang di luar keluarga bangsawan Bandung.
Kisah tentang keluarga bupati Bandung mungkin bisa dengan mudah kita peroleh, namun bagaimana dengan kisah keluarga kepala penghulu Kabupaten Bandung?
Keluarga Kepala Penghulu Bandung
Sj. Van Koningsveld dalam buku yang ditulisnya berjudul Snouck Hurgronje dan Islam (1989) menuliskan daftar kepala penghulu Bandung sebagai berikut:
- R. H. Abdurrachman
- R. H. Muhammad Nasir
- R. H. Hasan Mustapa
- R. H. Muhammad Rusjdi
- R. H. Abdulkadir
Daftar kepala peghulu atau penghulu besar Bandung ini ditulis berdasarkan urutan waktu dan saling menggantikan satu dengan lainnya. Dari semua nama yang tercantum, hanya R. H. Hasan Mustapa yang tidak memiliki hubungan darah dengan nama-nama lainnya karena ia berasal dari luar Bandung. Jika nama Hasan Mustapa disisihkan, daftar tersebut sama artinya dengan silsilah keluarga kepala penghulu Bandung.
Daftar kepala penghulu Bandung yang cukup lengkap, menurut Edi S. Ekadjati dalam bukunya Ceritera Dipati Ukur (1979), dapat ditemukan pada naskah Leiden Oriental (LOr) 7915 yang merupakan koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Pada naskah yang berjudul “Ieu Kanda Dipati Ukur ti Nagri Talaga”, disebutkan bahwa hingga R. H. Muhammad Nasir, jumlah kepala penghulu Bandung ada 14 orang. Dengan mengutip Regeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie, tahun 1894, II, halaman 159 dan Regeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie, tahun 1896, II, halaman 68, diketahui masa jabatan R. H. Muhammad Nasir sebagai kepala penghulu Bandung dimulai dari tanggal 8 Juni 1881 hingga tanggal 9 September 1895. Muhammad Nasir kemudian digantikan oleh R. H. Hasan Mustapa.
Setelah jabatan kadi besar Bandung dipegang oleh orang di luar keluarga bangsawan Bandung, yaitu R. H. Hasan Mustapa yang bertugas dari tahun 1895 hingga mengundurkan diri pada tahun 1918, dilantiklah R. H. Muhammad Rusjdi yang sebelumnya menjabat sebagai kepala penghulu di Kutaraja, Aceh. Sebelum menjadi kepala penghulu Bandung, R. H. Hasan Mustapa menduduki posisi qadli besar Kutaraja dari tahun 1892 hingga tahun 1895. Jadi, R. H. Muhammad Rusjdi yang menggantikan posisi R. H. Hasan Mustapa sebagai kepala penghulu Kutaraja pada tahun 1895 kemudian juga menggantikannya sebagai kepala penghulu Bandung pada tahun 1918.
Informasi mengenai riwayat hidup R. H. Muhammad Rusjdi dan R. H. Abdulkadir dapat dikutip dari buku Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 - 1950 (1985) yang ditulis oleh G.F. Pijper dan buku Snouck Hurgronje dan Islam (1989) yang ditulis oleh P. Sj. Van Koningsveld. R. H. Muhammad Rusjdi adalah kakak dari R. H. Abdulkadir. Keduanya merupakan putra dari R. H. Abdurrachman yang juga pernah menjadi kepala penghulu Bandung (lihat di daftar).
Pendidikan awal Muhammad Rusjdi dan Abdulkadir berasal dari pengajaran di lingkungan keluarga. Menurut R. H. Abdulkadir, ia telah khatam Qur’an dan mampu membaca dan menulis huruf Arab pada usia 13 tahun. Kemudian ia belajar berhitung, membaca, dan menulis huruf latin dan Sunda dari ayahnya, R. H. Abdurrachman. Abdulkadir kemudian belajar pengetahuan dasar tentang Islam dan salat dari kakaknya, R. H. Muhammad Rusjdi.
Kedua kakak beradik ini sempat pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah pada tahun 1883. Bagi R. H. Muhammad Rusjdi, ini adalah perjalanan ke Mekah yang kedua kalinya. R. H. Muhammad Rusjdi dan R. H. Abdulkadir kemudian tinggal bermukim di Mekah selama dua tahun. Selama berada di Mekah, R. H. Abdulkadir belajar hukum Islam, ilmu tauhid, tata bahasa, serta kitab-kitab besar lainnya dari R. H. Muhammad Rusjdi. Abdulkadir juga sempat berguru mengenai hukum Islam kepada R. H. Hasan Mustapa.
Pada saat R. H. Muhammad Rusjdi diangkat sebagai kepala penghulu Bandung pada tahun 1918 menggantikan R. H. Hasan Mustapa, R. H. Abdulkadir juga diangkat sebagai ajun kepala penghulu atau wakil kepala penghulu yang dikenal dengan sebutan kalifah. Jadi pada tahun 1918, dua jabatan tertinggi di bidang keagamaan di Kabupaten Bandung dipegang oleh kakak-beradik, R. H. Muhammad Rusjdi dan R. H. Abdulkadir.
Pada tahun 1932, setelah menjabat sebagai kepala penghulu Bandung, R. H. Abdulkadir (G.F. Pijper menulis namanya R. H. Abdul Qadir) menulis dua buah buku kecil mengenai penyakit pes yaitu “Pepeling Tina Hal Soentik Majit Dina Oesoem Panjakit Pes” (Suatu Penerangan tentang Adanya Suntikan Mayat pada Waktu Berjangkitnya Wabah Pes) dan “Katerangan Pepeling Hal Soentik”.
Nama Raden Haji Abdul Kadir sebagai kepala penghulu (Hoofd Panghulu) tertulis pada dua prasasti peresmian dua bangunan masjid agung, yaitu Masjid Agung Cipaganti yang diresmikan pada tanggal 27 Januari 1934 dan Masjid Agung Buahbatu di daerah Kordon yang diresmikan pada tanggal 9 Juli 1939. Dari informasi pada kedua prasasti peresmian masjid tersebut, dapat diperoleh nama Bupati Bandung yang menjadi atasan Raden Haji Abdul Kadir, yakni Raden Tumenggung Hassan Soemadipradja (1931-1935) dan R. A. A. Wiranatakusumah V (1935-1945).
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Cerita Pangeran Paribatra di Bandung
NGALEUT BANDUNG: Cerita Putra Rama V di Bandung
NGALEUT BANDUNG: Cerita Rama V di Bandung
Kisah Lain Keluarga Kepala Penghulu Bandung
Kisah yang sebenarnya sangat menarik terkait dengan keluarga Kepala Penghulu Bandung justru terjadi pada masa kepemimpinan R. H. Hasan Mustapa (1895-1918). Kisah ini menyangkut wakilnya sebagai kepala penghulu Bandung yaitu Raden Haji Muhammad Su’eb atau yang dikenal dengan julukan Kalipah Apo.
R. H. Muhammad Su’eb merupakan putra dari R. H. Muhammad Nasir yang juga pernah menjabat sebagai kepala penghulu Bandung (No. 2 di daftar). Ibu R. H. Muhammad Su’eb adalah Salbijah Biok, anak dari R. H. Abdurrachman (No .1 di daftar). Hal ini berarti paman dari Kalipah Apo adalah R. H. Muhammad Rusjdi dan R. H. Abdulkadir. Artinya, baik dari sisi ayahnya maupun ibunya, R. H. Muhammad Su’eb merupakan keturunan keluarga penghulu Bandung.
Seperti juga atasannya yaitu R. H. Hasan Mustapa, R. H. Muhammad Su’eb atau Kalipah Apo juga terkenal sebagai seniman dan sastrawan Sunda. Kalipah Apo terkenal sebagai guru mamaos (seni tembang Sunda). Banyak muridnya adalah perempuan yang sengaja datang ke rumah kediaman Kalipah Apo untuk berguru seni tembang Sunda. Mungkin karena piawai dalam seni suara, Kalipah Apo kerap mengumandangkan takbir pada saat hari Lebaran di Masjid Agung Bandung. Kalipah Apo juga dikenal mahir menulis tembang Sunda.
Sebagai seorang sastrawan, Kalipah Apo rajin mengirimkan karya sastra yang ditulisnya untuk dimuat di berbagai penerbitan. Salah satu karyanya yang berupa danding dalam bentuk wawacan berjudul “Carita Karmaén” yang diterbitkan pada tahun 1915 oleh “Kaoem Moeda”. Pada tahun 1922 karya sastranya yang berupa danding berjudul “Kadoehoeng Pipisahan” dimuat dalam Volksalmanak Soenda yang diterbitkan setiap tahun oleh Balai Pustaka. Karya sastra lainnya yang dikirimkan oleh Kalipah Apo dimuat Volksalmanak Soenda pada tahun 1920 yang berjudul “Laut Kidul” di kemudian hari mengundang polemik tentang penulis sebenarnya karya tersebut.
Tak cuma karyanya yang mengudang kontroversi, kehidupan pribadi keluarga Kalipah Apo tak kalah menghebohkan. Adalah peristiwa pernikahan Siti Sadijah dengan Christiaan Snouck Hurgronje pada tahun 1898 yang menjadi perhatian. Siti Sadijah adalah putri Kalipah Apo dengan Siti Khadidjah. Saat menikah dengan Snouck Hurgronje, usia Siti Sadijah 13 tahun. Pernikah ini terjadi berkat usaha dari R. H. Hasan Mustapa yang merupakan atasan Kalipah Apo.
Snouck Hurgronje adalah penasihat pemerintah kolonial untuk urusan-urusan pribumi dan Islam (1889-1906). Lelaki yang mempunyai nama Islam Abdul Ghaffar ini telah mengenal R. H. Hasan Mustapa, R. H. Muhammad Rusjdi, dan R. H. Abdulkadir saat mereka berada di Mekah pada tahun 1880-an. Dengan jabatannya sebagai penasihat urusan pribumi dan Islam, Snouck Hurgronje memberikan rekomendasi pengangkatan R. H. Hasan Mustapa dan R. H. Muhammad Rusjdi untuk menduduki jabatan sebagai kepala penghulu di Kutaraja dan Bandung.
Memanfaatkan kedekatan dengan kalangan keluarga bangsawan Sunda, Snouck Hurgronje dapat diterima tanpa kecurigaan di lingkungan pribumi. Hal tersebut yang menguntungkannya dalam memberikan nasihat kepada pemerintah kolonial tentang bagaimana cara menangani pribumi yang mayoritas beragama Islam.
Cara lain yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje untuk dapat diterima masuk di lingkungan keluarga bangsawan pribumi adalah melalui perkawinan. Pernikahannya dengan Siti Sadijah adalah yang kedua bagi Snouck Hurgronje. Istri pertamanya juga datang dari kalangan keluarga bangsawan Sunda, yakni Sangkana, putri dari R. H. Muhammad Ta’ib, kepala penghulu Ciamis yang masih terhitung kerabat Bupati Ciamis.
Dari pernikahannya dengan Sangkana, Snouck Hurgronje mempunyai empat orang anak, yaitu Salmah Emah (1890), Umar (1892), Aminah (1893), dan Ibrahim (1894). Sangkana meninggal pada tahun 1896 karena keguguran saat mengandung anaknya yang kelima.
Melalui pernikahannya dengan Siti Sadijah, Christiaan Snouck Hurgronje dikaruniai seorang putra bernama Raden Jusuf yang lahir pada tahun 1905. Raden Jusuf kemudian menikah dengan salah seorang putri bupati Bandung, R. A. A. Wiranatakusumah V. Dengan uang warisan dari Snouck Hurgronje sebesar lima ribu gulden, Raden Jusuf membangun rumah tembok yang terletak di jalan yang menyandang nama kakeknya, Kalipah Apo. Raden Jusuf berkarier sebagai polisi hingga mencapai pangkat komisaris besar.
Dalam buku Propinsi Djawa - Barat yang diterbitkan oleh Kementrian Penerangan pada tahun 1953 diperoleh informasi tentang Raden Jusuf yang menjabat sebagai Hoofdcommissaris Negara Pasundan dalam daftar nama orang yang ditangkap karena terlibat peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang terjadi di Bandung pada tanggal 23 Januari 1950. Pada saat peristiwa APRA, yang menjadi Perdana Menteri Negara Pasundan adalah Anwar Tjokroaminoto sedangkan Walinegara Pasundan dijabat oleh R. A. A. Wiranatakusumah V yang merupakan mertua Raden Jusuf.
Pernikahan Snouck Hurgronje dengan Siti Sadijah yang masih terbilang keluarga kepala penghulu Bandung mungkin dapat tergambar melalui nasihatnya pada tahun 1895 tentang R. H. Muhammad Rusjdi yang merupakan paman dari istrinya: “Ia termasuk keluarga-keluarga Priangan terkemuka melalui kekerabatan darah dan kekerabatan semenda, yakni pensiunan kepala penghulu Bandung dan pendahulunya, sedangkan banyak kerabat dan semendanya bekerja dalam dinas pemerintah”.
Seperti juga keluarga ménak Sunda lainnya, keluarga Kepala Penghulu Bandung memiliki ikatan kekerabatan yang saling terkait antara satu dengan lainnya.
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut