• Kolom
  • NGALEUT BANDUNG: Cerita Rama V di Bandung

NGALEUT BANDUNG: Cerita Rama V di Bandung

Selama ini beredar beberapa informasi keliru tentang kunjungan Raja Rama V ke Bandung. Catatan perjalanannya, yang terbit dalam buku, menjadi sumber klarifikasi.

Alex Ari

Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri

Potret Curug Dago, Bandung, di kisaran abad ke-19 dan ke-20. Raja Rama V, dalam dua kali kunjungannya ke Bandung pada 1896 dan 1901, singgah ke curug ini. (Sumber foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/ KITLV 1400231)

10 November 2021


BandungBergerak.idBanyak nama pesohor, penguasa, dan pemimpin pemerintahan dari level lokal hingga mancanegara pernah singgah ke Bandung di masa lalu. Sebut saja Susuhunan Surakarta Pakubuwono X, Sri Mangkunegara VII, Sultan Deli, Charlie Chaplin dan Mary Pickford, serta George Clemenceau.

Satu nama raja mancanegara yang kemudian kisah kunjungannya ke Bandung menjadi legenda adalah Raja Siam Chulalongkorn atau Rama V. Dia sempat dua kali singgah di Bandung, yaitu pada tahun 1896 dan 1901.

Riwayat Rama V dan Kunjungannya ke Mancanegara

Sebelum sampai ke cerita perjalanan Raja Chulalongkorn mengunjungi Bandung, terlebih dahulu kita perlu memberi perhatian pada kisah hidup Raja Siam atau yang kini dikenal sebagai Kerajaan Thailand.  Dari sana, kita bisa mengetahui mengapa raja yang dikenal dengan gelar Rama V itu melakukan banyak perjalanan muhibah ke luar negerinya dan kemudian singgah di Bandung.

Chulalongkorn, yang lahir pada 20 September 1853, adalah putra tertua Raja Mongkut (Rama IV) dari permaisurinya Ratu Debsirindra. Menguasai Bahasa Inggris dan memiliki pandangan modern, Raja Mongkut sangat memahami pentingnya pendidikan bagi putra dan putrinya. Maka didatangkanlah seorang guru perempuan berkebangsaan Inggris dari Singapura, yakni Anna Harriette Leonowens, untuk mengajar anak-anak sang raja. Pengalaman Leonowens menjadi mentor bagi putra-putri Raja Siam ini menjadi kisah masyhur dari masa ke masa setelah memoar yang dia tulis, The English Governess at The Siamese Court (1870), diadaptasi menjadi pertunjukkan teater dan layar lebar yang populer.

Mendapat pendidikan barat, Chulalongkorn menjadi penguasa yang memiliki pandangan yang maju pada masanya. Dia naik tahta menjadi raja menggantikan ayahnya Raja Mongkut (Rama IV) pada tanggal 1 Oktober 1868, atau saat usianya menginjak lima belas tahun. Chulalongkorn kemudian  melakukan transformasi Kerajaan Siam menjadi kerajaan yang modern melalui rangkaian kunjungan muhibahnya ke mancanegara.  Dari kunjungannya ke berbagai negara itu, Rama V belajar banyak hal yang kemudian diadaptasi dan diaplikasikan di kerajaan Siam yang dipimpinnya.

Perjalanan pedana Rama V ke luar negeri terjadi pada tahun 1871. Ia mengunjungi beberapa negara tetangga di kawasan Asia Tenggara yang saat itu menjadi koloni bangsa Inggris dan Belanda, yaitu Singapura dan Hindia Belanda. Berkat kemampuan diplomasi Chulalongkorn, Kerajaan Siam merupakan satu-satunya wilayah di Asia Tenggara yang tidak menjadi  koloni bangsa Eropa.

Untuk mempelajari kemajuan di negara tetangga dan bagaimana administrasi bangsa Eropa dalam memerintah koloninya, Rama V secara khusus memilih untuk datang berkunjung ke Singapura dan Hindia Belanda. Perjalanan perdana muhibah ke mancanegara Rama V berlangsung selama kurang lebih satu bulan, yaitu dari tanggal 9 Maret 1871 hingga 15 April 1871. Pada pengalaman pertamanya berkunjungan ke Hindia Belanda, Chulalongkorn hanya mengujungi daerah pesisir pantai utara dengan singgah di Batavia dan Semarang.

Kunjungan Rama V ke Bandung

Rama V yang merasa sangat terkesan akan sambutan hangat yang diterimanya selama kunjungan pertamanya ke mancanegara pada tahun 1871. Terlebih-lebih di Pulau Jawa. Sang raja merasa memperoleh sambutan yang ramah dan bersahabat dari pemerintah kolonial dan rakyat Hindia Belanda. Ia pun ingin datang berkunjung untuk kedua kalinya.

Jika fokus utama kunjungan pertama Chulalongkorn ke Jawa, dengan anggota rombongan hanya  terdiri dari kaum pria, lebih menitikberatkan pada tur studi, perjalanan Rama V berikutnya  ke Jawa lebih bertujuan untuk rekreasi. Di dalam rombongan, turut pula para perempuan anggota keluarga kerajaan.

Rama V yang baru sembuh dari sakit dianjurkan oleh dokter pribadinya untuk beristirahat dan melupakan beban pikirannya. Wilayah dataran tinggi dan pergunungan yang tidak sempat dikunjungi pada kunjungan pertama ke Jawa, dirasakan sebagai tempat yang tepat bagi sang raja untuk memulihkan kesehatannya. 

Rama V tiba di Batavia pada tanggal 25 Mei 1896 dengan menggunakan kapal laut Kerajaan Siam, Maha Chakri. Setelah sekitar seminggu berada di Batavia, Rama V melanjutkan perjalanannya ke daerah Priangan dengan menggunakan kereta api. Setelah mengunjungi Bogor selama dua hari, Rama V kemudian singgah di Cianjur dan melanjutkan perjalanannya ke Garut, masih dengan menggunakan kereta api.

Setelah menghabiskan 11 hari di Garut, sang raja dan rombongan kerajaan tiba di Bandung pada tanggal 17 Juni 1896. Selama berada di Bandung, Rama V menginap di Hotel Homann. Salah satu tempat tujuan berpesiarnya adalah Curug Dago.

Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Dipati Ukur, Mengungkap Naskah Babad Bupati Bandung (3)
NGALEUT BANDUNG: Dipati Ukur dalam Roman Sunda (2)
NGALEUT BANDUNG: Riwayat Dipati Ukur dalam Babad dan Legenda (1)

Rama V dan Curug Dago

Dari beberapa tempat yang dikunjungi oleh Rama V ketika berada di Bandung, Curug Dago adalah tempat yang kemudian akan menjadi bagian dari cerita perjalanan yang melegenda. Mungkin hal ini terjadi karena temuan jejak peninggalan sang raja di Curug Dago berupa prasasti batu pada tahun 1989. Peristiwa penemuan prasasti Rama V di Curug Dago ketika itu membuat heboh segenap penduduk Bandung. Spekulasi pun berkembang mengenai apa yang sebenarnya dilakukan oleh Raja Chulalongkorn di tempat tersebut sehingga ia kemudian mengukir inisial namanya dan tahun kunjungannya di atas sebuah batu.

Dalam sebuah buku tentang Hotel Homann, yang jadi tempat menginap Rama V selama kunjungannya ke Bandung, yang terbit pada tahun prasasti batu di Curug Dago ditemukan yaitu tahun 1989, Haryoto Kunto penulisnya membuat romantisasi satu kejadian menghilangnya Rama V dari kamarnya di Hotel Homann pada suatu malam. Sang raja pergi  seorang diri untuk semadi di Curug Dago dan baru kembali ke peraduannya pada dini hari.

Kisah ini kemudian bisa dikonfirmasi kebenarannya ketika pada tahun 2001 Imtip Pattajoti Suharto, seorang perempuan warga negara Thailand yang tinggal di Bandung  sejak tahun 1978, mengikuti suaminya  yang orang Indonesia, menerbitkan buku berjudul  Journeys to Java by Siamese King berdasarkan catatan perjalanan Raja Chulalongkorn ke  Jawa. Rupanya, setiap kunjungan Rama V ke mancanegara selalu dicatat oleh pejabat kerajaan yang ditugaskan untuk menuliskan setiap aktivitas yang dilakukan raja.

Bahkan pada kunjungannya kali yang kedua dan ketiga ke Jawa, Raja Chulalongkorn juga menulis catatan perjalanan pribadinya. Jadi tentang perjalanan kedua kalinya ke Jawa atau yang pertama singgah di Bandung, ada setidaknya dua buku yang mencatatnya. Yang pertama adalah buku harian perjalanan yang ditulis oleh Rama V yang diberi judul A Journey of over Two Months in Java in Rattanakosin Era 115 dan buku catatan aktivitas keseharian Rama V selama perjalanannya yang dicatat oleh Pangeran Sommot Amornpan yang kemudian diterbitkan dalam surat kabar milik pemerintah.

Begitulah semua kegiatan Raja Chulalongkorn tercatat dengan baik dalam buku harian perjalanan raja maupun dalam catatan yang ditulis oleh pejabat kerajaan yang ditugaskan untuk menuliskannya. Kunjungan Rama V ke Curug Dago tentu tak luput dicatat dalam kedua buku ini, yang kemudian dikutip oleh Imtip Pattajoti Suharto dalam bukunya Journeys to Java by Siamese King.

Dalam buku Imtip Pattajoti ini dicatat bahwa Rama V tiba di Bandung pada tanggal 17 Juni 1896, setelah sebelumnya mengunjungi Garut. Kunjungan Rama V ke Curug Dago terjadi pada tanggal 19 Juni 1896. Rama V berangkat menuju Curug Dago pada pukul 4 sore dengan menggunakan kereta kuda, kemudian dilanjutkan dengan menunggangi kuda dan akhirnya berjalan kaki. Dicatat pula jalur menuju Curug Dago licin karena hujan gerimis. Rama V menyaksikan Curug Dago yang tingginya sekitar 16 meter dengan airnya yang agak keruh. Dalam perjalanan pulang ke Hotel Homann dari Curug Dago, Rama V singgah ke rumah dinas Residen Priangan. Tak dicatat mengenai kegiatan semadi Rama V di Curug Dago.

Pada malam hari setelah makan malam, Rama V pergi menonton kesenian ronggeng dan wayang hingga larut malam. Kegiatan Raja Chulalongkorn inilah yang kemudian diromantisasi dan secara keliru diasumsikan oleh Haryoto Kunto dalam buku tentang Hotel Homann (1989) dengan menuliskan bahwa Rama V pergi diam-diam dari kamarnya di Hotel Homannn pada malam hari untuk semadi di Curug Dago dan baru kembali pada pagi dini hari.

Beberapa informasi keliru terkait kunjungan Raja Rama V ke Curug Dago, Bandung, dari tahun kedatangan hingga kepergian diam-diam sang raja dari kamar hotel, terbantahkan oleh bukti bersumber catatan perjalanan yang telah diterbitkan menjadi buku. (Sumber foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/ PK-F-T.45/006)
Beberapa informasi keliru terkait kunjungan Raja Rama V ke Curug Dago, Bandung, dari tahun kedatangan hingga kepergian diam-diam sang raja dari kamar hotel, terbantahkan oleh bukti bersumber catatan perjalanan yang telah diterbitkan menjadi buku. (Sumber foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/ PK-F-T.45/006)

Informasi Keliru

Selain asumsi yang keliru mengenai peristiwa menghilangnya Raja Rama V dari kamar tempatnya menginap di Hotel Homann, ada juga  asumsi keliru mengenai tahun kedatangannya yang kedua ke Bandung. Pembuktiannya diperoleh dari tinggalan jejak sang raja berupa prasasti batu di tepi sungai Cikapundung, tak jauh dari Curug Dago.

Dalam sebuah buku tentang wisata dataran tinggi Bandung yang diterbitkan pada tahun 2009, kunjungan kedua Rama V ke Bandung dan juga kali kedua ia mengunjungi Curug Dago terjadi pada tahun 1902. Hal ini disimpulkan oleh penulis setelah melakukan analisa pada prasasti batu yang ditinggalkan oleh Raja Chulalongkorn di Curug Dago. Penulis buku ini keliru menerjemahkan inskripsi mengenai tahun pada prasasti yang menyebut era Rattanakosin ke-120. Menurut penulis, era Rattanakosin dimulai sejak berdirinya Kerajaan Thai (Siam) pada tahun 1782, jadi tahun ke-120 jatuh pada 1902. Padahal, catatan resmi mengenai perjalanan Raja Chulalongkorn ke Bandung dan Curug Dago menyebut tahun 1901.

Tahun Rattanakosin dimulai dengan berdirinya dinasti Chakri setelah Rama I, moyang Raja Chulalongkorn, mengangkat dirinya sebagai raja pada tanggal 6 April 1782. Kekeliruan terjadi dalam mengambil patokan sejak kapan era Rattanakosin dihitung. Tanggal naik tahta Rama I, yaitu 6 April 1782, menjadi patokan penting dalam penghitungan tahun Rattanakosin. Untuk melakukan konversi dari tahun Rattanakosin ke tahun Masehi harus dilihat pula tanggal dan bulan terjadinya satu peristiwa. Dari tanggal 6 April hingga bulan Desember, perhitungan untuk melakukan konversi  harus ditambahkan 1781. Sementara itu, dari bulan Januari hingga 5 April, perhitungan harus ditambahkan 1782.

Merujuk buku Journeys to Java by Siamese King (2010) yang ditulis oleh Imtip Pattajoti Suharto, kunjungan kedua Raja Chulalongkorn ke Curug Dago berikut pembuatan prasati batunya terjadi pada tanggal 6 Juni. Untuk mengetahui tahun masehi dari era Rattanakosin ke-120, ditambahkan 1781 sehingga akan didapatkan tahun yang tepat, yaitu 6 Juni 1901. Konversi dari tahun 120 Rattanakosin pada prasasti batu Rama V di Curug Dago tidak menggunakan penambahan 1782 karena peristiwanya terjadi dalam kurun waktu 6 April hingga bulan Desember.

Penjelasan tambahan mengenai cara konversi perhitungan dari tahun Rattanakosin ke tahun Masehi bisa juga diperoleh dengan menggunakan judul buku catatan tentang perjalanan Rama V ke Jawa yang berjudul A Journey of over Two Months in Java in Rattanakosin Era 115 yang merupakan catatan harian Raja Culalongkorn. Dengan menggunakan rumus perhitungan sebelumnya, bisa diketahui bahwa perjalanan Rama V ke Jawa yang dimulai pada bulan Mei berlangsung pada tahun 1896. Karena perjalanan dimulai pada bulan Mei, berarti konversi dilakukan dengan menambah tahun 115 Rattanakosin dengan 1781, sehingga hasilnya adalah 1896 Masehi. Penghitungan ini tepat sesuai dengan  fakta.

Kekeliruan terjadi mungkin karena penulis saat itu belum memperoleh bahan referensi, yaitu buku Journeys to Java by Siamese King (2001) karya Imtip Pattajoti Suharto yang menyebutkan tiga kali perjalanan Raja Chulalongkorn atau Rama V ke Jawa, masing-masing pada tahun 1871, 1896, dan 1901.  Cetakan pertama buku tersebut diterbitkan secara terbatas untuk kalangan lingkungan Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar Kerajaan Thailand di Indonesia, sebagai bagian peringatan 100 tahun perjalanan terakhir Rama V ke Jawa pada tahun 1901. Buku edisi revisi diterbitkan pada tahun 2010 sebagai bagian dari peringatan 100 tahun mangkatnya Rama V yang memperoleh julukan anumerta Phra Piya Maharat atau Raja Terbesar yang Dicintai, sekaligus untuk memperingati 60 tahun hubungan diplomatik antara Kerajaan Thailand dengan Republik Indonesia.

Dalam buku-buku catatan perjalanan Rama V ke luar negeri, khususnya ketika  berkunjung ke Bandung, terkuaklah selimut misteri kisah kunjungan Rama V ke Curug Dago. Mulai dari dugaan aktivitas semadi secara diam-diam hingga angka tahun pada prasati batu yang ditinggalkan oleh sang raja. Demikianlah disiplin pencatatan dapat menjadi sumber bukti otentik untuk mengklarifikasi berbagai informasi keliru tentang kunjungan Rama V di Bandung.

*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut

Editor: Redaksi

COMMENTS

//