• Kolom
  • NGALEUT BANDUNG: Riwayat Dipati Ukur dalam Babad dan Legenda (1)

NGALEUT BANDUNG: Riwayat Dipati Ukur dalam Babad dan Legenda (1)

Nama Dipati Ukur diabadikan di sejumlah tempat di Jawa Barat. Di Bandung, ada Jalan Dipati Ukur. Di tempat lain ada sekolah dan bioskop yang memakai nama Dipati Ukur

Alex Ari

Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri

Peta Tatar Ukur yang kini Kabupaten Bandung. (Dok Penulis)

17 Oktober 2021


BandungBergerak.id - Pun sapun ka Sang Rumuhun.

Sidang Dewan Perwakilan Rakyat (Gemeenteraads vergaderingen) Kota Bandung yang berlangsung dari tanggal 3 Maret hingga 28 April 1950 menetapkan perubahan nama jalan di Kota Bandung. Salah satu nama jalan yang diubah adalah Beatrix Boulevard menjadi Jalan Dipati Ukur. Ruas jalan ini terletak di depan kampus Universitas Padjadjaran (Unpad).  

Jalan dengan nama Dipati Ukur rupanya tak cuma di Kota Bandung, melainkan juga terdapat di Cicalengka, Banjaran, dan Majalengka. Selain nama jalan, Dipati Ukur juga diabadikan sebagai nama sekolah dan bahkan bioskop.

Menurut  Ketua Panitia Penamaan Jalan di Kota Bandung, R. Ema Bratakoesoema, Dipati Ukur adalah tokoh terhormat sehingga pantas namanya diabadikan mejadi nama jalan di Kota Bandung. Bagi orang Sunda, Dipati Ukur lebih dari tokoh sejarah yang terhormat, tetapi juga sebagai tokoh suci dan keramat, dan seorang pahlawan yang rela mengorbankan dirinya guna membela negerinya.

Bagi sebagian lainnya, tokoh Dipati Ukur dianggap sebagai pemberontak dan tokoh mitos dengan kesaktian dan kekuatan yang luar biasa. Menurut Edi S. Ekadjati dalam bukunya, Ceritera Dipati Ukur (Karya Sastra Sejarah Sunda) (1979), pandangan masyarakat Sunda yang berbeda mengenai sosok Dipati Ukur didukung oleh berbagai versi cerita yang tersebar. Edi S. Ekadjati setidaknya mengumpulkan sekitar 23 naskah kisah Dipati Ukur yang kemudian dikelompokkan dalam berbagai versi menurut daerah asal naskah tersebut.

Lalu siapa dan seperti apa kisah Dipati Ukur, sang pemimpin Tatar Ukur yang sebagian wilayahnya kemudian menjadi Kabupaten Bandung?

Silsilah Dipati Ukur dalam Naskah Babad Bupati Bandung

Dalam naskah Babad Bupati Bandung, silsilah Dipati Ukur dikaitkan dengan dua tokoh yang berpengaruh di Bandung yaitu Adipati Kertamanah yang menurunkan keluarga Bupati Batulayang dan Raden Haji Abdul Manap atau lebih dikenal sebagain Eyang Mahmud.

Menurut F. De Haan dalam bukunya "Priangan; de Preanger-Regentschappen onder het Nederlansche bestuur tot 1811 deel I" (1910), Batulayang dahulu merupakan sebuah kabupaten yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Bandung, sebelah timur Kabupaten Cianjur, sebelah barat Kabupaten Parakanmuncang, sebelah utara Kabupaten Sukapura. Pada tahun 1802 Kabupaten Batulayang dibubarkan dan wilayahnya kemudian digabungkan dalam Kabupaten Bandung.

Sebagai kabupaten yang bertetangga, hubungan Kabupaten Bandung dengan Batulayang memiliki keterkaitan secara silsilah melalui perkawinan. Sebagaimana keluarga Kabupaten Bandung, silsilah keluarga Batulayang juga mengambil puncuknya yaitu tokoh Prabu Siliwangi.

Silsilah Adipati Kertamanah, yang kemudian menurunkan keluarga Bupati Batulayang dan juga terkait dengan tokoh Dipati Ukur, puncuknya berawal dari Prabu Siliwangi, raja Pajajaran, yang memiliki putra bernama Prabu Kunter/Sunten yang berkuasa di negaranya di Gunung Patuha. Prabu Kunter memiliki anak bernama Prabu Jaya Pakuan. Sedangkan Sang Adipati Kertamanah adalah cucu dari Prabu Jaya Pakuan dari putranya bernama Prabu Larang Jiwa.

Adipati Kertamanah adalah anak tertua dari Prabu Larang Jiwa, sedangka putra bungsunya bernama Kyai Ageng. Sang Adipati Kertamanah yang setelah wafat dikuburkan di muara Sungai Cisondari mempunyai tiga orang putera: Ki Gedeng Rungkang, Ki Gedeng Kerti Manggala dan Raden Tumenggung Suryadarma Kingking. Keterkaitan Sang Adipati Kertamanah dengan Dipati Ukur terjadi melalui perkawinan putra sulungnya yaitu Ki Gedeng Rungkang yang menikah dengan puteri Kyai Dipati Ukur. Garis silsilah anak  tertua Sang Adipati Kertamanah ini yang kemudian menurunkan  anak keturunannya di daerah Cipatik.

Masih dalam nasakah Babad Bupati Bandung, tokoh Dipati Ukur juga terkait dengan silsilah Dalem Haji Abdul Manap atau Eyang Mahmud. Seperti juga silsilah Adipati Kertamanah, silsilah Raden Haji Abdul Manap juga dimulai dari tokoh Prabu Siliwangi. Dituliskan bahwa Prabu Siliwangi memiliki putra bernama Prabu Guru Gantangan. Putra dari Prabu Gantangan yaitu Prabu Lingga Pakuan memiliki putra yaitu Prabu Panda Ukur. Raden Haji Abdul Manap merupakan cucu dari Prabu Panda Ukur dari putranya yang bernama Dalem Natadireja yang dikuburkan di Sentak Dulang.

Prabu Pandan Ukur menurut nasakah Sadjarah Bandung, adalah penguasa Timbanganten yang merupakan kerajaan bawahan (vasal) Pajajaran. Keturunan Prabu Panda Ukur kemudian adalah Dipati Agung dan Dipati Ukur. Saat Rangga Gempol dicopot dari kedudukannya sebagai Wedana Bupati Priangan, Sultan Agung menunjuk Dipati Ukur sebagai penggantinya. Salah satu tugas besar yang kemudian diberikan kepada Dipati Ukur oleh Sultan Agung adalah menyerang kedudukan Belanda di Batavia. Karena gagal menjalankan tugas yang diembannya, Dipati Ukur kemudian memilih untuk melakukan perlawanan terhadap Sultan Mataram. Pemberontakan ini kemudian berhasil dipadamkan dan Dipati Ukur berhasil ditangkap untuk dibawa ke Mataram.

Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Kisah Leluhur Trah Wiranatakusumah dari Timbanganten ke Bandung (1)
NGALEUT BANDUNG: Kisah Leluhur Trah Wiranatakusumah dari Timbanganten ke Bandung (2)
NGALEUT BANDUNG: Mengenal Kartel Preanger Planters (2)
NGALEUT BANDUNG: Mengenal Kartel Preanger Planters (1)

Legenda Dipati Ukur

Apa yang kemudian terjadi kepada Dipati Ukur setelah dirinya tertangkap dan dibawa ke Mataram untuk dihukum, dicatat dalam beberapa kisah kanda (legenda) yang dimuat pada naskah Babad Bupati Bandung.

Kisah mengenai kanda Dipati Ukur versi Bandung yang isinya sangat singkat hanya menguraikan bahwa Dipati Ukur yang bernama Dipati Wangsanata dibawa dan dihukum mati di Mataram. Jenazahnya dikuburkan di Gunung Selamanik, Mataram.

Selain legenda Dipati Ukur versi Bandung, naskah Babad Bupati Bandung juga memuat kisah kanda Dipati Ukur versi Talaga. Selain uraian ceritanya yang lebih panjang, kisah legenda Dipati Ukur versi Talaga memiliki informasi yang berbeda dengan versi Bandung. Menurut cerita Dipati Ukur versi Talaga, yang dibawa ke Mataram untuk dihukum bukanlah Dipati Ukur yang asli namun punakawannya. Adalah Arya Salingsingan, cucu Sunan Talaga yang meminta kepada Tumenggung Ciliwandara dan Ngabehi Astamanggala yang mengawal tahanan Dipati Ukur untuk membebaskannya dari kurungan besi.

Karena takut akan kesaktian Arya Salingsingan, Tumenggung Ciliwandara dan Ngabehi Astamanggala bersedia melepaskan Dipati Ukur namun mereka meminta gantinya untuk dibawa ke Mataram. Seorang pembantu setia Dipati Ukur kemudian menggantikan tempat tuannya untuk dibawa ke Mataram. Arya Salingsingan membekali punawakan tadi dengan kesaktian berupa kebal terhadap berbagai senjata. Selain itu, Arya Salingsingan juga berpesan kepada pembantu Dipati Ukur tersebut jika dihukum dikubur hidup-hidup, untuk memejamkan matanya dan memikirkan bahwa dirinya akan kembali berada di Talaga.

Dengan bekal kesaktian dari Arya Salingsingan, punakawan Dipati Ukur berhasil selamat dan dapat kembali ke Talaga. Dipati Ukur dan pembantunya kemudian tinggal menetap di Talaga dan setelah wafat dikuburkan di Karawangsuwung.

Saat Dipati Ukur ditawan dan akan dibawa ke Mataram, ia meninggalkan dua orang putera. Dari Putera sulungnya yang bernama Dalem Ngabehi Saradireja, Dipati Ukur menurunkan keturunan Mahmud.

Ngabehi Astamanggala dari Cihaurbeuti

Satu nama yang perlu dicatat dari kanda Dipati Ukur versi Talaga adalah Ngabehi Astamanggala. Merujuk pada silisilah Cihaurbeuti yang termuat pada naskah Babad Bupati Bandung. Leluhur Ngabehi Astamanggala berawal dari Batara Gunung Sawal yang putrinya kemudian menikah dengan Prabu Anggalarang dari Pajajaran. Hasil dari perkawinan ini adalah Garbamenak. Sedangkan Ngabehi Astamanggala merupakan putra dari Prabu Geusan Ulun yang merupakan generasi ketujuh dari Garbamenak.

Naskah Babad Bupati Bandung juga mencatat bahwa Dalem Astamanggala kemudian menjadi bupati Bandung dengan gelar Dalem Wira Angun-angun dan mempunyai julukan Dalem Penyelang (Penyeling). Julukan Astamanggala sebagai Bupati Panyeling mungkin karena dirinya secara silsilah berasal dari Cihaurbeuti berbeda dari keluarga Bupati Bandung yang secara tradisional mengaitkan dirinya berasal dari Timbanganten. Melalui perkawinan antara putri sulung Dalem Wira Angun-angun yang bernama Nyai Raden Karawitan dengan bupati Bandung, Dalem Tumenggung Anggadireja, keluarga Cihaurbeuti bisa masuk ke dalam trah Bupati Bandung.

Ngabehi Astamanggal dari Cihaurbeuti beserta dua pejabat umbul lainnya yaitu Ngabehi Samahita dari SIndangkasih dan Ngabehi Wirawangsa dari Sukakerta yang dianggap berjasa membantu Mataram memadamkan perlawanan Dipati Ukur, kemudian diangkat sebagai bupati oleh Sultan Agung. Kepada ketiganya kemudian dibagikan wilayah yang sebelumnya dipimpin oleh Dipati Ukur yang terdiri dari sembilan umbul (Ukur Sasanga).

Wilayah Batulayang dengan dua daerah lainnya yaitu Cihaur Manenggel dan Medang Sasigar diberikan kepada Tumenggung Wiratanubaya, gelar yang diperoleh Ngabehi Samahita. Tiga umbul wilayah Ukur lainnya, yaitu Saunggatang, Taraju dan Malangbong dianugerahkan bagi Tumenggung Wiradadaha, gelar bagi Ngabehi Wirawangsa.

Sedangkan wilayah umbul Ukur, Kahuripan dan Sagaraherang diberikan kepada Tumenggung Wira Angun-angun. Itulah mengapa salah satu julukan Bandung adalah Tatar Ukur karena berasal dari wilayah yang dipimpin oleh Dipati Ukur. Jadi tak mengherankan jika kemudian nama Dipati Ukur diabadikan sebagai nama jalan di Kota Bandung.

Cag!

*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut

Editor: Redaksi

COMMENTS

//