NGALEUT BANDUNG: Dipati Ukur, Mengungkap Naskah Babad Bupati Bandung (3)
Cerita Dipati Ukur versi Bandung hanya menceritakan Dipati Ukur yang bernama Raden Dipati Wangsanata setelah dibawa ke Mataram kemudian dibunuh (dihukum mati)
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
29 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Sejak lima tahun lalu, Kelas Literasi telah menjadi kegiatan rutin di Komunitas Aleut. Berawal dari kelas resensi buku setiap hari Sabtu di mana setiap peserta meresensi buku yang dibacanya, kelas ini kemudian berkembang menjadi kelas literasi. Pada perkembangannya kemudian disadari bahwa literasi tak melulu tentang buku namun banyak hal lainnya.
Kelas Literasi Komunitas Aleut kemudian tak cuma diisi dengan resensi buku tapi juga terkadang mengundang penulis buku, mengunjungi situs bersejarah bahkan kegiatannya diisi pengenalan keterampilan (skill) seperti kelas barista, copy writing, editing, kelas menulis dan banyak keterampilan lainnya. Kelas Literasi Komunitas Aleut tahun lalu bahkan terpilih menjadi salah satu kegiatan oleh lembaga CSR nasional dalam ajang pencarian ide terkait pandemi. Hingga tahun 2020 Kelas Literasi telah dihelat sebanyak kurang lebih 180 pekan.
Dalam satu kesempatan resensi buku Kelas Literasi seorang pegiat Komunitas Aleut, Asep Suryana atau yang lebih akrab dipanggil Mang Asep meresensi sebuah naskah sejarah yang saat itu judulnya disebut sebagai “Babad Bupati Bandung”. Namun apakah benar naskah ini berjudul “Babad Bupati Bandung”?
Menurut keterangan Mang Asep naskah ini diperolehnya saat merapikan koleksi dokumen milik almarhum mertuanya R. Runayat Natadipura atau yang akrab dikenal sebagai Uwak Bandung. Naskah ini berupa fotokopi dari naskah salinan hasil pengetikan dalam bahasa Sunda dengan menggunakan huruf Latin. Dokumen naskah ini keseluruhannya terdiri dari 94 halaman ketikan di atas kertas folio. Dalam setiap halaman terdiiri dari tiga paragraf yang diberi nomor, total paragraf seluruhnya terdiri dari 288 paragraf.
Tak disebutkan dari mana almarhum R. Runayat Natadipura memperoleh fotokopi naskah yang diberi nama sesuai dengan judul pada halaman pertama naskahnya yaitu “Babad Bupati Bandung”. Tapi sepertinya dokumen ini sangat berarti bagi Uwak Bandung karena melalui naskah “Babad Bupati Bandung” beliau melacak dan menuliskan silsilah keluarganya mulai dari leluluhurnya hingga kepada kedua anaknya. R. Runayat Natadipura membuat dua silsilah baik dari sisi keluarganya maupun silsilah keluarga istrinya.
Runayat Natadipura cukup memiliki pengetahuan tentang sejarah keluarga bangsawan Sunda. Hal ini dapat dilhat dari catatan yang dibuat olehnya berupa tulisan tangan baik disamping teks naskah maupun di halaman kosong kertas dokumen naskah. Catatan yang dibubuhkan oleh R. Runayat Natadipura ini sangat membantu bagi orang awam yang membaca naskah “Babad Bupati Bandung”. Beliau menuliskan judul topik tertentu dari bagian-bagian naskah, mengoreksi kesalahan penulisan atau ketikan yang cukup banyak dijumpai pada nasakah, membuat pohoh silsilah berdasarkan informasi yang tersebar dalam nasakah “Babad Bupati Bandung”.
Satu catatan penting ditulis oleh R. Runayat Natadipura pada bagian bawah halaman terakhir naskah “Babad Bupati Bandung” yaitu informasi perkiraan tahun dibuatnya naskah yang ditulis sekitar tahun 1887 atau 1888. R. Runayat Natadipura juga menuliskan perkiraannya mengenai waktu pengetikan naskah yang aslinya menggunakan bahasa Sunda dalam huruf pegon menjadi huruf latin yang dikerjakan sekitar tahun 1990.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), babad adalah kisahan berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak dan Madura yang berisi persitiwa sejarah dan cerita sejarah. Sesuai dengan judulnya dan pengertian tadi, naskah “Babad Bupati Bandung” berisi silsilah keluarga Bupati Bandung dan beberapa fragmen peristiwa sejarah seperti kisah huru-hara Munada, bubarnya kabupaten Limbangan, kabupaten Batulayang, dan kabupaten Parakanmuncang. Beberapa tokoh yang dimuat dalam naskah “Babad Bupati Bandung” di antaranya adalah Maraja Inten Dewata, Adipati Kertamanah, Sunan Permana di Puntang dan Dipati Ukur.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Riwayat Dipati Ukur dalam Babad dan Legenda (1)
NGALEUT BANDUNG: Dipati Ukur dalam Roman Sunda (2)
NGALEUT BANDUNG: Kisah Leluhur Trah Wiranatakusumah dari Timbanganten ke Bandung (1)
NGALEUT BANDUNG: Kisah Leluhur Trah Wiranatakusumah dari Timbanganten ke Bandung (2)
NGALEUT BANDUNG: Mengenal Kartel Preanger Planters (1)
Naskah Babad Bupati Bandung adalah Naskah Sajarah Bandung
Terdapat dua cerita Dipati Ukur dalam dokumen Babad Bupati Bandung milik R. Runayat Natadipura, yaitu kisah singkat Dipati Ukur berdasarkan kanda (legenda) Bandung dan kisah panjang Dipati Ukur versi dari daerah Talaga. Dua kisah Dipati Ukur ini sesuai dengan kisah yang terdapat pada naskah dengan kode LOr (Leiden Oriental) 6455 koleksi Univesiteit Bibliotheek Leiden (UBL), seperti yang diuraikan oleh Edi S. Ekadjati dalam bukunya Ceritera Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda (1979) naskah LOr 6455 berjudul “Sajarah Bandung” (Sejarah Bandung).
Cerita Dipati Ukur versi Bandung hanya menceritakan Dipati Ukur yang bernama Raden Dipati Wangsanata setelah dibawa ke Mataram kemudian dibunuh (dihukum mati) dan jasadnya dikuburkan di Gunung Selamanik, Matram. Kisah singkat mengenai Dipati Ukur versi Bandung sepertinya hanya berlaku sebagai pengantar bagi cerita kisah Dipati Ukur versi Talaga yang lebih panjang kisahnya. Jika cerita Dipati Ukur versi Bandung hanya menyebutkan satu nama tokoh yaitu Raden Dipati Wangsanata, dalam cerita Dipati Ukur versi Talaga menyebutkan banyak nama tokoh yaitu Dipati Ukur, Tumenggung Ciliwandara, Mas Ngabehi Asta Manggala, Pangeran Aria Salingsingan, dan seorang punakawan atau pembantu Dipati Ukur. Kisah Dipati Ukur versi Talaga menyebutkan bahwa Dipati Ukur dikuburkan di permakaman Karang Suwung, Talaga.
Persamaan lainnya dapat dilihat pada awal naskah yang disebut sebagai Babad Bupati Bandung oleh keluarga R.Runayat Natadipura, yaitu kisahnya dibuka dengan silsilah Bupati Bandung yang dimulai sejak Nabi Adam kemudian menurunkan raja-raja Sunda hingga akhirnya ke rangkaian silsilah Bupati Bandung.
Kesamaan antara naskah yang dimilik R. Runayat Natadipura dan naskah Sajarah Bandung tidak hanya berdasarkan isi naskah tetapi juga dari sisi jumlah halaman. Edi S. Ekadjati menuliskan bahwa naskah Sajarah Bandung berjumlah 94 halaman sama dengan jumlah halaman naskah Babad Bupati Bandung milik R. Runayat Natadipura. Jika naskah LOr 6455 (Sajarah Bandung) dibuat dengan tulisan tangan pada buku tulis bergaris, sedangkan naskah Babad Bupati Bandung ditik pada kertas putih ukuran polio.
Dilihat dari jumlah halaman yang sama, yaitu 94 halaman, bisa disimpulkan jika pengetik membuat ketikan yang sama persis dengan naskah Sajarah Bandung yang ditulis tangan. Sehingga kesalahan penulisan yang menurut Edi S. Ekadjati banyak ditemukan pada naskah Sajarah Bandung dapat pula ditemukan pada naskah ketikan. Sepertinya pengetik naskah hanya melakukan tugasnya mengetik tanpa berusaha untuk memperbaiki kesalahan yang ditemukan pada naskah Sajarah Bandung yang ditulis tangan. Atau mungkin pengetik tak mau mengubah versi asli naskah Sajarah Bandung. Dugaan lainnya, pengetik tak memiliki pengetahuan mengenai apa yang ia ketik. Hal yang sama menurut Edi S. Ekadjati juga terjadi pada penulis naskah Sajarah Bandung.
Runayat Natadipura pada naskah Sajarah Bandung menemukan kesalahan-kesalahan yang kemudian ia koreksi dengan cara mencoret bagian yang salah kemudian menuliskan yang benar, dan juga disertai dengan catatan dan dugaan berdarsarkan analisa R. Runayat Natadipura.
Tak ditemukan keterangan siapa pengetik naskah Sajarah Bandung seperti juga halnya penulis naskahnya. Hanya ditemukan keterangan yang ditulis oleh R. Runayat Natadipura bahwa aslinya naskah ini ditulis dalam huruf pegon dibuat sekitar tahun 1887 atau 1888 dan dialihaksarakan menjadi huruf latin pada tahun 1990. Akan menarik jika keterangan ini dibandingkan dengan keterangan Edi S. Ekadjati bahwa naskah Sajarah Bandung yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden sebagai naskah dengan kode LOR 6455 ditulis dengan huruf latin. Untuk analisa mengenai kemungkinan kekeliruan ini perlu diketahu mengenai latar belakang naskah Sajarah Bandung.
Naskah Sajarah Bandung
Naskah berjudul Sajarah Bandung (Sejarah Bandung) yang menjadi koleksi perpustakaan Universitas Leiden, semula merupakan milik Godard Arend Johannes Hazeu yang menjabat sebagi penasihat pemerintah kolonial Belanda. Seperti juga pendahulunya yang pernah menjabat sabagai penasihat pemerintah kolonial Belanda untuk urusan peribumi seperti K.F. Holle dan Christian Snouck Hurgronje, G.A.J. Hazeu juga mengumpulkan dan mengoleksi berbagai naskah sejarah pribumi di antaranya adalah naskah Sajarah Bandung.
Menurut Edi S. Ekadjati, G.A.J. Hazeu mengoleksi naskah Sajarah Bandung sejak tahun 1907. Naskah ini ditulis oleh empat penulis yang secara bergantian meneruskan kerja penulis sebelumnya. Sajarah Bandung mulai ditulis pertama kali oleh Raden Jayakusumah, patih kabupaten Batulayang, yang menulis hingga berakhirnya masa kepemimpinan R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794).
Pada masa R.A. Wiranatakusumah II (1795-1829) berkuasa sebagai bupati Bandung, penulisan Sajarah Bandung dilanjutkan oleh Mas Alangjuru. Naskah Sajarah Bandung kemudian diteruskan penulisannya oleh Raden Jayalengkajuru pada masa R.A. Wiranatakusumah II (1829-1846). Raden Rangga Sastranagara melanjutkan penyusunan naskah Sajarah Bandung yang menurut informasi pada halaman sebelas naskah yang dimiliki oleh R. Runayat Natadipura dilakukan saat Aom Muharam atau R.A.A. Wiranatakusumah V berusia sebelas bulan atau sekitar bulan Oktober 1889. Masih pada halaman sebelas naskah milik R. Runayat Natadipura, terdapat informasi yang menyatakan bahwa Raden Rangga Sastranagara mulai menulis naskah Sajarah Bandung pada usia 67 tahun.
Berdasarkan informasi ini, sekali lagi membuktikan bahwa naskah yang disebut sebagai Babad Bupati Bandung oleh keluarga R. Runayat Natadipura adalah sama dengan naskah berjudul “Sajarah Bandung” yang menjadi koleksi perpustakaan Universitas Leiden dengan kode Lor 6455. Karena dalam bukunya Ceritera Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda (1979), Edi S. Ekadjati mengutip halaman sebelas dari naskah “Sajarah Bandung”. Jadi naskah ketikan milik R. Runayat Natadipura adalah sama dengan naskah Sajarah Bandung (Lor 6455) yang ditulis tangan berdasarkan persamaan letak informasi R. Rangga Sastranagara menulis naskah Sajarah Bandung yang sama-sama dapat ditemukan pada halaman sebelas. Ini juga membuktikan bahwa pengetik mengetik sesuai dengan naskah Sajarah Bandung yang ditulis tangan.
Menurut Edi S. Ekadjati, naskah Sajarah Bandung milik G.A.J. Hazeu sama persis dengan naskah milik Cornelis Marinus Plyte yang kini menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta. C.M. Plyte yang pernah menjadi kurator pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen (kini Museum Nasional), menerima naskah Sajarah Bandung pada tahun 1906. Berdasarkan kata pengantar pada naskah Sajarah Bandung milik G.A.J. Hazeu dan C.M. Plytea diketahui bahwa naskah ini adalah salinan dari naskah yang disusun oleh empat orang tadi. Tidak diketahui nama penyalin yang menulis naskah ini. Namun baik naskah Sajarah Bandung milik G.A.J. Hazeu dan C.M. Plyte merupakan naskah dalam bahasan Sunda dalam huruf latin. Lalu mengapa R. Runayat Natadipura menuliskan informasi bahwa naskah ketikan miliknya aslinya dalam huruf pegon dan baru dialih aksarakan menjadi huruf latin pada tahun 1990?
Merujuk pada analisa Edi S. Ekadjati, kisah Dipati Ukur pada naskah Sajarah Bandung merupakan cerita yang ditambahkan oleh R. Rangga Sastranagara dari cerita Dipati Ukur versi Talaga. Naskah berjudul Ieu Kanda Dipati Ukur ti Nagara Talaga saat ini menjadi koleksi perpustakaan Universitas Leiden dengan kode Lor 7915 ditulis dalam bahasa Sunda dengan menggunakan huruf pegon. Tak diketahui apakah naskah Sajarah Bandung ditulis dalam huruf pegon atau latin?
Sangat mungkin naskah asli Sajarah Bandung seperti juga naskah cerita Dipati Ukur versi Talaga ditulis dalam huruf pegon kemudian dialih aksarakan menggunakan huruf latin oleh penyalin naskah yang diterima G.A.J. Hazeu dan C.M. Plyte. Jika hal ini benar, maka informasi yang dituliskan oleh R. Runayat Natadipura pada naskah ketikan Sajarah Bandung bahwa alih aksara baru dilakukan pada tahun 1990 jadi keliru karena baik G.A.J. Hazeu dan C.M. Plyte telah menerima salinan naskah Sajarah Bandung yang ditulis tangan dengan menggunakan huruf latin di awal tahun 1900-an.
Jika informasi yang dituliskan oleh R. Runayat benar, berarti naskah asli Sajarah Bandung ditulis dalam huruf pegon dan kemungkinan naskahnya masih disimpan di kalangan keluarga bangsawan Bandung serta memang baru dialihaksarkan menjadi huruf latin pada tahun 1990. Menarik jika hal ini benar adanya adalah bahwa naskah asli Sajarah Bandung tetap dipelihara di lingkungan menak Sunda. Walaupun hal ini kecil kemungkinannya mengingat antara naskah Sajarah Bandung tulisan tangan dan naskah ketikan ditemukan banyak kesalahan penulisan.
Apa pun itu yang perlu menjadi perhatian mengenai naskah seperti Sajarah Bandung ini adalah semangat untuk mendokumentasikan dan mengarsipkan sehingga generasi kemudian mengetahui asal usulnya. Seperti konsep Jawa sangkan paring dumadi, berasal dari mana dan akan ke mana. Dengan dokumen naskah pribumi orang Belanda seperti Holle, Snouck Hurgronje dan Hazeu bisa mengambil banyak pengetahuan yang dipergunakan untuk kepentingan serta menjadi pedoman bagaimana mereka harus memperlakukan orang pribumi.
Seperti yang dituliskan oleh Edi S. Ekadjati dalam bukunya mengenai motif penulisan cerita Dipati Ukur versi Talaga, bahwa Raden Rangga Sastranagara mengatakan, supaya anak-cucu, keluarga serta bangsawan Bandung lainnya mengetahui kisah leluhurnya dan melanjutkan usaha penulisan yang dilakukan oleh generasi berikutnya. Mungkin seperti juga motivasi R. Runayat Natadipura agar anak dan keluarganya tidak kehilangan jejak keturunannya. Meh teu pareumeun obor.
Cag!
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut.