• Opini
  • NGALEUT BANDUNG: Dipati Ukur dalam Roman Sunda (2)

NGALEUT BANDUNG: Dipati Ukur dalam Roman Sunda (2)

Kisah Dipati Ukur terdiri dari beragam versi. Versi satu menyebut Dipati Ukur ditangkap Mataram, Versi lainnya menyebut Dipati Ukur hidup dalam penyamaran.

Alex Ari

Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri

Jilid roman Dipati Ukur. (Dok. Penulis)

23 Oktober 2021


BandungBergerak.id - Tahun 1950-an muncul ketidakpuasaan beberapa daerah terhadap kekuasaan pemerintah pusat di Indonesia yang dianggap terlalu dominan dan sangat berkuasa. Kekecewaan daerah ini puncaknya bahkan berujung pada perlawanan bersenjata. Tak terkecuali dengan apa yang dirasakan masyarakat Jawa Barat. Kondisi keamanan yang memburuk di Jawa Barat seiring semakin merajalelanya gerombolan DI/TII menambah kesengsaraan orang Sunda yang mendiami provinsi ini.

Dalam kondisi seperti itu muncul organisasi sosial dan gerakan kesundaan. Di antaranya adalah Pangauban Sunda yang berdiri di Bandung pada tanggal 22 November 1952. Organisasi ini bertujuan untuk mempertinggi dan memperbaiki harkat, martabat, dan derajat orang Sunda supaya mampu mengambil peranan dan turut serta dalam memajukan bangsa dan negara Indonesia.

Salah satu penggagas Pangauban Sunda adalah R. Ema Bratakusuma. Pada tahun 1953, muncul organisasi Daya Sunda yang merupakan fusi antara Pangauban Sunda dan Sunda Budaya yang bermarkas di Bogor. Meneruskan tujuan Pangauban Sunda, organisasi Daya Sunda terjun dalam berbagai bidang kemasyarakatan yang meliputi, pendidikan, politik, ekonomi dan kebudayaan.

Selain munculnya organisasi orang Sunda dalam bidang kebudayaan, pada era ini ditandai dengan banyaknya penerbitan karya sastra daerah yang bersumber dari kisah dan cerita tradisional. Salah satu kisah yang kembali diangkat adalah cerita Dipati Ukur yang diterbitkan 1959 oleh pengurus pusat Daya Sunda.

Penerbitan roman sejarah ini diharapkan oleh pengurus Daya Sunda pusat dapat menjadi teladan bagi orang Sunda dalam menjalani kehidupan bermasyarakat khusunya dalam masa yang serba sulit saat itu. Pangeran Dipati Ukur dianggap contoh pemimpin ideal yang rela berkorban dan berjuang demi mempertahankan tanah airnya.

Roman sejarah Dipati Ukur yang terdiri dari dua jilid ini ditulis berdasarkan materi cerita yang dikumpulkan oleh anggota Daya Sunda, Rohendy Sumardinata dan kemudian disusun dan dirapikan oleh Supiyan Iskandar (Supis). Menurut R. Ema Bratakusuma yang merupakan salah seorang tokoh Daya Sunda, Rohendy Sumardinata hanya memberikan ide cerita, sedangkan penulisannya melibatkan pengurus Daya Sunda.

Berdasarkan informasi dari kata pengatar pada roman Dipati Ukur Jilid 1 (1959) yang menyebutkan beberapa tempat keramat terkait Dipati Ukur, yaitu makam Sembah Dalem Dipati Ukur di Bajaran serta pwtilasan di daerah Batulayang, Cililin, bisa disimpulkan bahwa sumber penyusunan cerita roman Dipati Ukur ini berdasarkan kisah tradisional yang hidup di daerah Bandung Selatan dan Gunung Halu, Cililin, yang dikumpulkan oleh Rohendy Sumardinata.

Gunung Halu, Batulayang di Cililin merupak tempat di mana taradisi kisah lisan tentang Dipati Ukur hidup secara terun-temurun. Hal ini dicatat oleh P. Van Oort dan S. Muller yang memperoleh cerita Dipati Ukur dari orang tua di daerah Cililin pada tahun 1833. Sedangkan P. de Roo de la Faille mengumpulkan kisah tradisional yang hidup di daerah Bandung Selatan di mana terdapat beberapa tempat keramat terkait Dipati Ukur, seperti keramat Pabuntelan yang dipercaya sebagai bekas ibu kota Tatar Ukur dan terdapat makam yang telah dikeramatkan oleh penduduk sekitar sejak abad ke-18. 

Ringkasan Roman Dipati Ukur                              

Roman Dipati Ukur dimulai dengan cerita pemuda Ukur yang berasal dari Kampung Manikmaya. Ia datang ke Mataram untuk menghadap dan memohon kepada Sultan Agung agar diterima sebagai prarjurit Mataram. Ukur lantas ditempatkan di bawah komado Senapati Ronggonoto yang congkak dan besar kepala. Ronggonoto tak senang dengan keberaadaan Ukur yang dianggapnya sebagai saingan.

Berkat bakat dan keterampilannya dalam ilmu bela diri serta sifatnya yang ulet dan pemberani, karier Ukur kemudian menanjak sehingga dipromosikan sebagai wakil Senapati Ronggonoto. Ukur berhasil menjadi wakil Senapati setelah mengalahkan Jayengrono dalam pertarungan ujian di alun-alun. Jayengrono adalah prajurit kepercayaan Ronggonoto.

Ukur yang berhasil meraih kenaikan pangkat semakin membuat Ronggonoto tak senang. Ia terus berusaha mencoba menjatuhkan reputasi dan nama baik Ukur dengan melakukan berbagai upaya licik seperti membuat huru-hara. Namun semuanya berhasil diatasi oleh Ukur.

Di puncak kariernya, Ukur kemudian memohon diri kepada Sultan Agung untuk diperkenankan kembali ke kampung halamannya di sebelah barat Pulau Jawa yang berjarak sekitar satu bulan perjalanan dari negeri Mataram. Dalam perjalananya Ukur sempat bertapa di permakaman Linggamanik, Purworejo, dan mendapat ilham dari sosok leluhur untuk pergi ke makam Sunan Dampal, leluhurnya yang berada di kaki Gunung Kasur. Dipati Ukur kemudian bertapa di makam Sunan Dampal dan mendapat petunjuk untuk mengunjungi uaknya, Wirawangsa, yang menjabat Cutak Batulayang.

Dipati Ukur kemudian sampai dan diterima oleh uak Wirawangsa di Batulayang, sebuah daerah bagian dari Tatar Ukur. Dipati Ukur lantas diangkat sebagai Cutak Batulayang menggantikan sang uak dan kemudian menikah dengan Enden Saribanon, putri Wirawangsa.

Karier Dipati Ukur terus menanjak. Ia sukses menjabat Bupati Ukur setelah mengalahkan Dalem Sutapura yang berusaha melamar Enden Saribanon. Dalem Sutapura adalah Bupati Ukur yang ditempatkan oleh Mataram dan memiliki sifat bengis, kejam, dan sering berlaku lancung dan tidak senonoh sehingga tidak disenangi rakyat Ukur.

Setelah menjadi bupati Ukur, Sultan Agung kemudian meminta bantuan Dipati Ukur untuk menenyerang Belanda di Jayakarta. Namun Dipati Ukur berselisih paham dengan Tumenggung Bahureksa, pemimpin pasukan Mataram.

Dipati Ukur sempat ditahan oleh Kompeni ketika menyerang benteng Belanda. Ia melakukan negosiasi dengan wakil pimpinan Kompeni, Jaques Specx, tapi gagal. Dipati Ukur akhirnya dibebaskan dan memilih kembali ke Tanah Ukur saat mengentahui pasukan Mataram yang dipimpin Ronggonoto membuat huru-hara. Dipati Ukur bertarung dengan Ronggonoto sebagai bentuk hukuman dan keluar sebagai pemenang. Ronggonoto tewas.

Untuk menghindari serangan Mataram, Dipati Ukur beserta istrinya memilih pergi dari ibu kota Ukur ke Batulayang dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Pasukan Mataram yang menemukan ibu kota Ukur telah kosong, kemdian menangkap Dipati Ukur palsu dan membawanya ke Mataram.

Selanjutnya Dipati Ukur dan istri membuka sebuah kampung di lereng Gunung Lumbung. Karena letaknya yang leluasa dapat melihat ke berbagai arah, kampung ini diberi nama Tenjonagara. Ketika kampung Tejonagara semakin ramai, mucul rasa khawatir keberadaannya diketahui oleh pasukan Mataram. Maka Dipati Ukur, yang telah berganti nama menjadi Bapak Wangsa, beserta istrinya kembali berpindah tempat. Ia kemudian membangun permukiman yang kemudian dikenal Banjaran. Hingga akhir hayatnya, Bapak Wangsa tingga di Bajaran dan ketika wafat dikuburkan di sebuah bukit tak jauh dari Bajaran. Kuburan ini dikenal dengan sebutan Pasarean Sembah Dalem Dipati Ukur.

Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Jalan Dipati Ukur, Bandung, Kamis (16/9/2021). Nama Dipati Ukur diabadikan pada sejumlah tempat di Jawa Barat, termasuk nama jalan di Bandung. (Foto: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)
Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Jalan Dipati Ukur, Bandung, Kamis (16/9/2021). Nama Dipati Ukur diabadikan pada sejumlah tempat di Jawa Barat, termasuk nama jalan di Bandung. (Foto: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)

Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Riwayat Dipati Ukur dalam Babad dan Legenda (1)
NGALEUT BANDUNG: Kisah Leluhur Trah Wiranatakusumah dari Timbanganten ke Bandung (2)
NGALEUT BANDUNG: Kisah Leluhur Trah Wiranatakusumah dari Timbanganten ke Bandung (1)
NGALEUT BANDUNG: Mengenal Kartel Preanger Planters (2)
NGALEUT BANDUNG: Mengenal Kartel Preanger Planters (1)

Dipati Ukur dalam Roman Sunda Lainnya

Kisah mengenai Dipati Ukur juga dapat ditemukan dalam roman Sunda Pangeran Kornel (1930) karya R. Memed Sastrahadiprawira. Walaupun kisah mengenai Dipati Ukur dalam roman sejarah ini hanya sebagai tambahan, namun informasinya merupakan ringkasan mengenai sepak terjang Dipati Ukur.

Memed Sastrahadiprawira menyertakan kisah Dipati Ukur untuk menceritakan berdirinya kabupaten Parakanmuncang yang berdiri bersamaan dengan kabupaten Bandung. Informasi ini sebagai pengantar latar belakang ketika keluarga bangsawan Parakanmuncang, yaitu Tumenggung Tanubaya, memagang tampuk Bupati Sumedang karena Raden Jamu (Pangeran Kornel) serta Raden Ema (R. Adipati Suryalaga) diaggap masih terlalu kecil untuk menjabat sebagai Bupati Sumedang.

Roman Pangeran Kornel dibuka dengan kisah yang menceritakan keberadaan sebuah makam keramat di kaki gunung Malabar sebelah Utara. Dikisahkan bahwa makam keramat tersebut merupakan makam Sunan Dampal leluhur penduduk Bandung.

Cerita kemudian beralih pada sosok pemimpin Tanah Ukur, seorang bangsawan yang berasal dari Purbalingga bernama Dipati Ukur Wangsanata. Atas perintah Sultan Agung, Dipati Ukur bersama dengan empat ribu prajurit Tatar Ukur ditugaskan menyerang dan mengepung Kapiten Mur Jangkung (Jan Pieterszoon Coen) di Betawi (Batavia). Dipati Ukur mengalami kekalahan dan perajuritnya hanya tersisa empat ratus orang.

Usai kekalahan itu, Dipati Ukur bertekad tidak mau lagi tunduk kepada kekuasaan Mataram. Sultan Agung yang murka mengutus Tumenggung Narapaksa dengan puluhan ribuan bala tentara Mataram untuk menangkap Dipati Ukur. Serangan dilancarkan ke pertahanan terakhir Dipati Ukur di Gunung Lumbung. Banyak prajurit Mataram tewas dihujani batu dari atas gunung, tapi akhirnya Dipati Ukur berhasil ditangkap dan dibawa ke Mataram untuk dijatuhi hukuman mati.

Selepas Dipati Ukur tertangkap, Tanah Ukur menjadi sepi. Umbul Cihaurbeuti lalu diangkat menjadi Bupati Bandung oleh Sultan Agung sebagai balas jasa karena ikut memadamkan perlawan Dipati Ukur. Umbul Cihaurbeuti dengan dua ratus orang membuka permukiman di sebelah barat muara sungai Cikapundung. Permukiman itu dikenal sebagai Krapyak yang berubah nama menjadi Dayeuhkolot setelah ibu kota kabupaten Bandung pindah ke kota Bandung saat ini.

Dari informasi dalam roman Sunda Pangeran Kornel, penulisnya, yaitu R. Memed Sastrahadiprawira, juga mengutip dari kisah Dipati Ukur berdasarkan tradisi lisan yang hidup di daerah keramat Pabuntelan dan Cililin sebagai tempat Gunung Lumbung berada. Hal ini sama dengan sumber cerita yang dikumpulkan oleh Rohendy Sumardinata saat menuliskan roman bahasa Sunda Dipati Ukur (1959). R. Memed Sastrahadiprawira dan Rohendy Sumardinata menuliskan bahwa Sunan Dampal sebagai leluhur Dipati Ukur.

Jika pada roman Pangeran Kornel, Dipati Ukur Wangsanata disebutkan berasal dari daerah Jawa (Purbalingga), maka pada roman Dipati Ukur (1959) disebutkan bahwa Raden Wangsataruna berasal dari Tatar Ukur. Selain itu, akhir riwayat Dipati Ukur juga diceritakan berbeda. Dipati Ukur pada karya R. Memed Sastrahadiprawira dikisahkan ditangkap dan dihukum mati di Mataram, sedangkan Rohendy Sumardinata mengisahkan bahwa Dipati Ukur berhasil meloloskan diri dengan menyamar sebagai rakyat biasa dan yang ditangkap adalah Dipati Ukur palsu.

Memed Sastrahadiprawira (1897-1932) sebelum menjadi redaktur Balai Pustaka seksi bahasa Sunda berkarier sebagai pangreh praja di lingkungan Kabupaten Bandung. Ia sempat menjadi Camat TB yang ditugaskan di lingkungan kantor Kabupaten Bandung. R. Memed Sastrahadiprawira dekat dengan Bupati Bandung, R.A.A. Wirantakusumah V (Dalem Haji) yang sempat dibuatkan buku tentang perjalanan ibadah haji Sang Bupati yang berjudul Lalampahan Kanjeng Dalem Bandung Angkat Jarah Ka Mekah.

Sebagai bangsawan Sunda dan sempat berkarier di Kabupaten Bandung, bukan suatu hal yang aneh jika R. Memed Sastrahadiprawira menguasai kisah-kisah tentang keluarga bangsawan Sunda yang kemudian ia tuliskan menjadi buku seperti kisah Pangeran Kornel yang mengutip cerita Dipati Ukur di dalamnya.

Sebelum menulis roman Pangeran Kornel (1930), R. Memed Sastrahadiprawira pernah menulis tentang Sadajarah Tjikoendoel yang dimuat dalam penerbitan Volksalmanak Soenda tahun 1920 dan 1921. Khususnya dalam Volksalmanak Soenda tahun 1921, banyak diceritakan mengenai kisah Raden Jamu (Pangeran Kornel) serta Raden Ema (R. Adipati Suryalaga).

Raden Ema atau Adipati Suryalaga menurut Edi S. Ekadjati dalam bukunya Ceritera Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda (1979) ternyata menuliskan berbagai informasi terkait sejarah Sumedang dalam sebuah naskah yang disimpan di Universitas Leiden, Belanda, dengan kode naskah LOr (Leiden Oriental) 7442. Dalam naskah Sejarah Sumedang terdapat pula cerita singkat Dipati Ukur.

Kisah Dipati Ukur dalam berbagai versi yang sebelumnya hidup sebagai cerita sejarah keluarga bangsawan Sunda seperti yang dituliskan oleh Raden Ema melalui Sejarah Sumedang di masa kemudian disebarluaskan melalui kisah roman fiksi berlatar sejarah seperti yang diusahakan oleh R. Memed Sastrahadiprawira melalui roman Pangeran Kornel (1930) dan Rohendy Sumardinata dan Supis dengan roman bahasa Sunda Dipati Ukur (1959), sebagai upaya untuk memperkenalkan kembali tokoh Dipati Ukur agar dapat diteladani sifatnya sebagai pemimpin yang rela berkorban demi tanah air dalam mepertahankan harga diri bangsanya.

Cag!

*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut

Editor: Redaksi

COMMENTS

//