NGALEUT BANDUNG: Cerita Putra Rama V di Bandung
Pangeran Paribatra Sukhumbandhu, salah satu anak Raja Rama V dari Thailand, tinggal di Kota Bandung hingga akhir hayatnya. Ia aktif berorganisasi dan berkegiatan.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
29 November 2021
BandungBergerak.id - Tak cuma Raja Chulalongkorn atau Rama V yang punya cerita dan jejak di Bandung. Beberapa keturunannya kemudian juga berjejak di Bandung. Bahkan seorang di antaranya, yakni Pangeran Paribatra Sukhumbandhu, menjadi warga kehormatan Kota Bandung hingga tutup usia.
Saat Raja Chulalongkorn berkunjung ke Bandung pada tahun 1901, turut serta istri dan anak-anaknya. Di antara putra-putri Rama V yang turut dalam kunjungan tersebut adalah Putri Suddhadibya Ratana yang bertugas mencatat aktivitas harian ayahandanya, yang di kemudian hari dibukukan dengan judul “A Daily Record of the Last Journey to Java in 1901”.
Anak Chulalongkorn lainnya yang ikut dalam perjalanan ke Bandung saat itu adalah Pangeran Asdang Dejavudh. Nama Pangeran Asdang sering muncul dan disebutkan dalam buku catatan tentang perjalanan Rama V karena saat berada di Bandung, ia jatuh sakit dan harus mendapatkan perawatan yang membutuhkan waktu hingga kurang lebih sebulan lamanya.
Putra Rama V lainnya yang juga ikut serta dalam rombongan adalah Pangeran Prajadiphok Sakdidejana. Kelak ia menjadi Raja Siam dengan gelar Rama VII, menggantikan kakaknya, Raja Vajiravudh (Rama VI).
Saat kunjungan Rama V ke Bandung pada tahun 1901, Prajadiphok berusia 8 tahun, sedangkan kakaknya, Pangeran Asdang. berusia 12 tahun. Keduanya merupakan putra Chulalongkorn dari permaisuri Ratu Saovabha Phongsri.
Karena sakit yang lumayan berat, Pangeran Asdang lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar Hotel Homann, tempat rombongan raja Chulalongkorn menginap di Bandung. Sementara itu, Pangeran Prajadiphok sempat menemani ayahnya, Raja Chulalongkorn, saat melakukan kunjungan ke Garut pada tanggal 15 Juni 1901.
Seperti juga putra Raja Siam lainnya, Prajadiphok kemudian mendapatkan pendidikan dan berkarier di bidang militer. Pada tahun 1906, Prajadiphok masuk akademi militer Eaton di Inggris, mengikuti jejak kakak kandungnya, Pangeran Vajiravudh, yang telah lebih dulu belajar di akademi militer Sandhurst. Dua saudara kandung ini kelak ditakdirkan menjadi Raja Siam menggantikan ayahnya, Raja Chulalongkorn (Rama V).
Raja Chulalongkorn wafat pada tanggal 23 Oktober 1910 dan digantikan oleh putra mahkota, Pangeran Vajiravudh, yang merupakan putranya dari Ratu Saovabha Phongsri. Pemerintahan Raja Vajiravudh yang bergelar Rama VI berlangsung hingga ia mangkat pada 26 November 1925. Karena tak memiliki putra, sesuai wasiatnya, yang kemudian diangkat menjadi raja adalah adik kandungnya, Prajadiphok.
Empat tahun setelah naik tahta, Prajadiphok menapaki jejak kunjungan ayahnya, Raja Chulalongkorn. Pada bulan Agustus 1929, Prajadiphok melakukan kunjungan ke Singapura dan Hindia Belanda dengan menggunakan kapal kerajaan Maha Chakri dan tiba di Pelabuhan Tanjungpriok pada tanggal 5 Agustus 1929.
Menapaki jejak kenangan masa kecilnya saat ikut dalam rombongan pesiar Rama V, Prajadiphok juga berkunjung ke Bandung. Sama seperti Rama V, Rama VII atau Prajadiphok juga menginap di Hotel Homann. Prajadiphok juga berkunjung ke Curug Dago dan seperti juga Chulalongkorn, ia membuat prasasti untuk memperingati kunjungannya ini. Sebuah prasasti batu dengan inskripsi nama julukan Prajadiphok dan tahun kunjungannya ke Curug Dago yang dituliskan dengan penanggalan tahun Budha.
Pada tahun 1932 terjadi pemberontakan militer yang mengubah sistem pemerintahan monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Pada awalnya Rama VII mencoba bertahan di singgasananya, namun akhirnya pada tahun 1935 ia lebih memilih mengundurkan diri dan tinggal dalam pengasingan di Inggris.
Sempat beredar kabar bahwa Rama VII mungkin saja akan memilih tinggal di Bandung selepas dirinya mengundurkan diri sebagai Raja Siam. Sebuah berita yang dimuat di majalah Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? pada tanggal 18 April 1935 bahkan menduga jika Prajadiphok atau Rama VII akan menempati Vila Isola, bekas rumah milik Berretty. Berita ini kemudian hanya menjadi rumor belaka karena Prajadiphok memilih tinggal di Inggris hingga wafat pada tahun 1941. Mungkin saja berita yang diturunkan oleh majalah perdagangan di Hindia Belanda ini melihat masa lalu Prajadiphok yang memiliki kenangan masa kecil saat ikut dalam rombongan Rama V dan kemudian berkunjung lagi ke Bandung pada tahun 1929.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Cerita Rama V di Bandung
NGALEUT BANDUNG: Kisah Leluhur Trah Wiranatakusumah dari Timbanganten ke Bandung (2)
NGALEUT BANDUNG: Kisah Leluhur Trah Wiranatakusumah dari Timbanganten ke Bandung (1)
Paribatra di Kota Parijs van Java
Jika Rama VII tidak memilih Bandung sebagai tempatnya mengasingkan diri, saudaranya yang lain memutuskan untuk menetap di Bandung hingga akhir hayatnya. Saudara tiri Prajadiphok itu adalah Paribatra Sukhumbandhu.
Pangeran Paribatra adalah putra Raja Chulalongkorn atau Rama V dengan salah satu permasurinya, Ratu Sukhumala Marasri. Dia lahir di Bangkok pada tanggal 29 Juni 1881. Saat rombongan Chulalongkorn berkunjung ke Bandung pada tahun 1901, Paribatra yang saat itu sedang menempuh studi militer di Jermam tidak turut serta.
Meskipun Paribatra berada jauh dari negerinya, Chulalongkorn tetap mengawasi perkembangan pendidikan putranya ini. Seperti dicatat dalam buku harian perjalanan ketika berada di Bandung, Rama V beberapa kali menerima dan membalas telegram yang mengabarkan kemajuan pendidikan Paribatra di Jerman. Bahkan telegram yang diterima Rama V pada tanggal 9 Juli 1901 merupakan telegram yang dikirim oleh Kaisar Jerman, Wilhelm II, yang mengabarkan bahwa Pangeran Paribatra telah diangkat sebagai letnan di pasukannya.
Karier Paribatra kemudian memang berkutat dalam bidang militer, lalu duduk sebagai Menteri Dalam Negeri pada masa kepemimpinan saudara tirinya, yaitu Vajiravudh (Rama VI) dan Prajadiphok (Rama VII).
Saat terjadi kudeta militer pada tanggal 29 Juni 1932, sebagai salah satu tokoh penting dan pimpinan militer, Paribatra adalah yang pertama ditahan. Ia ditangkap di kediamannya, istana Bang Khun Prom yang terletak di tepi sungai Chao Praya dan kemudian ditahan di Throne Hall kompleks istana raja. Paribatra beserta keluarga kerajaan lainnya dibebaskan pada tanggal 4 Juli 1932, setelah Prajadiphok menyetujui konstitusi baru.
Berbeda dengan Rama VII yang tetap memegang kekuasaannya. Paribatra memilih meninggalkan negerinya. Pada tanggal 5 Juli 1932 ia diberitakan telah berada di Penang dan berencana melajutkan perjalanan ke Hindia Belanda, sebelum kemudian pergi ke Eropa. Setelah singgah di Singapura pada tanggal 15 Juli 1932, Paribatra dikabarkan tiba di pelabuhan Belawan pada tanggal 23 Juli 1932, seperti yang diberitakan koran Soerabaijasch handelsblad.
Awal bulan Agustus Paribatra diberitakan telah berada di Jawa. Pada tanggal 4 Agustus 1932, Paribatra tiba di Tanjungpriok beserta istri dan putranya yang telah lulus dari Universitas Oxford, ditambah beberapa staf yang turut serta.
Algemeen Handelsblad tanggal 5 Agustus 1932 menurunkan berita mengenai kemungkinan Paribatra beserta keluarganya menetap di Bandung. Berita ini menghapus spekulasi Paribatra akan memilih tinggal di Eropa seperti yang sempat dikabarkan di awal kepergiannya dari wilayah Siam. Bandung dipilih sebagai tempat tinggal Paribatra karena iklim dan cuacanya yang dirasakan cocok dangan kondisi kesehatannya. Juga karena adanya kisah pengalaman perjalanan sebelumnya ke Hindia Belanda yang dilakukan oleh ayahanda Paribatra, yaitu Raja Chulalongkorn.
Pada tanggal 8 Oktober 1932, seperti yang diberitakan De locomotief, beberapa kerabat Paribatra tiba di Tanjungpriok dengan menumpang kapal Sibayak. Berita ini kemudian diikuti dengan kabar bahwa Paribatra beserta keluarganya telah resmi tercatat sebagai penduduk kota Bandung pada tanggal 22 November 1932. Diberitakan oleh De locomotief, dicatat bahwa anggota keluarga Paribatra terdiri dari lima orang putri dan 9 orang Siam.
Paribatra Sebagai Warga Kota Bandung
Kehidupan Paribatra Sukhumbandhu setelah menjadi warga kota Bandung dapat diketahui dari sebuah artikel yang dimuat pada majalah “Mooi Bandoeng” edisi 2 Agustus 1937. Disebutkan bahwa Paribatra tidak pernah menyesali pilihannya untuk tinggal di Bandung. Ia tinggal di rumah besar di Njlandweg (kini Jalan Cipaganti) yang dirancang oleh C. H. Lungten. Arsitek C.H. Lungten merupakan asisten C. P. Wolff Schoemaker saat menjadi dosen di Technische Hoogeschool Bandung (kini ITB). Rumah Pangeran Paribatra menjadi terkenal karena kerap dikunjungi tamu kehormatan dari dalam dan luar negeri.
Rumah di Bandung itu, menurut pendapat Paribatra, secara ukuran mungkin lebih besar jika dibandingkan rumah di tempat lain tapi sangat kurang tanaman bunga. Sebagai contoh perbandingan, Paribatra memutar film saat kunjungannya ke Afrika Selatan pada tahun 1936.
Paribatra saat itu telah dikenal menjadi ahli tanaman anggrek. Ia membuat kebun pembibitan anggrek, khususnya jenis kathlea, di taman depan rumahnya yang kemudian dikenal oleh penduduk Bandung saat itu dengan sebutan Bunderan Siem (Siam). Di ruangan dalam rumahnya, selain tergantung foto Paribatra mengenakan seragam militer, terpasang pula fotonya sedang memakai jas dengan sekuntum anggrek yang ditanamnya sendiri terpasang di lubang kancingnya.
Dalam artikel di majalah “Mooi Bandoeng” itu, disebutkan Paribatra sebagai anggota organisasi warga kota “Bandoeng Vooruit” dan pembaca setia majalah “Mooi Bandoeng”. Paribatra kerap ikut aktif mendukung berbagai kegiatan pembangunan di kota Bandung, di ataranya adalah pembangunan jalan ke kawah Gunung Papandayan yang digagas organisasi “Bandoeng Vooruit” serta pembangunan krematorium di Bandung.
Paribatra juga kerap melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Jawa dan Bali. Beberapa tempat yang dikunjunginya dahulu pernah disinggahi oleh ayahnya, raja Chulalongkorn.
Paribatra wafat di Bandung pada tanggal 17 Januari 1944. Karena Perang Dunia masih berlangsung dan Hindia Belanda diduduki oleh Jepang, jasad Paribatra diputuskan untuk dikebumikan di Bandung. Baru pada bulan September 1948, sisa jasad Paribatra dikembalikan ke negeri kelahirannya.
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut