NGALEUT BANDUNG: Cerita Pangeran Paribatra di Bandung
Kerajaan Siam (Thailand) meninggalkan banyak jejak di Bandung, salah satunya rumah yang kemudian menjadi Rumah Makan Dapur Dahapati di Cipaganti.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
14 Desember 2021
BandungBergerak.id - Pemerintah Kota Bandung dulu telah mulai meluaskan pembangunan wilayah kota ke daerah utara yang saat itu masih terhitung lahan kosong. Mengutip informasi dari buku Bandung Citra Sebuah Kota yang ditulis oleh Robert P.G.A. Voskuil dkk, untuk pengembangan Kota Bandung, van Ghijsels membuat Rencana Bandung Utara pada tahun 1917 dan Kerangka Pengembangan Seluruh Bandung pada tahun 1927 yang dilengkapi pembagian dan tata letak kota.
Daerah Utara Bandung yang terletak lebih tinggi dan memliki lahan yang luas dibuka menjadi wilayah hunian baru dengan dilengkapi fasilitas jalan yang lebar dan ruang terbuka hijau. Konsep hunian dengan gaya vila dibangun hampir bersamaan di daerah Taman Cibeunying, Tasmanstraat (Jalan Cilaki) dan Njlandweg (Jalan Cipaganti atau kini Jalan Wiranatakusumah).
Salah satu tokoh yang memilih tempat tinggal di kawasan Bandung Utara adalah Pangeran Paribatra dari Kerajaan Siam (Thailand). Setelah revolusi tahun 1932, Pangeran Paribatra memutuskan untuk meninggalkan Siam (Thailand) dan tinggal di komplek istana pembuangannya yang terdiri dari tiga rumah yang terletak di Njlandweg. Di Bandung, Pangeran Paribatra juga memiliki sebuah vila peristirahatan dengan taman yang luas yang kini terletak di Jalan Setiabudhi.
Di komplek rumah Njlandweg yang terdiri dari tiga rumah dan masing-masing diberi nama: Praseban, Pancarekan dan Dahapati, Pangeran Paribatra tinggal dengan dua orang istrinya yaitu Putri Prasongsom (Mom Chao) dan Mom Somphan serta putra-putrinya. Selain keluarga Pangeran Paribatra turut tinggal pula beberapa saudaranya.
Seperti diberitakan oleh surat kabar De Locomotief pada tanggal 8 Oktober 1932, beberapa kerabat Pangeran Paribatra tiba di Tanjungpriok dengan menumpang kapal Sibayak. Sebulan kemudian koran De Locomotief dalam beritanya tanggal 22 November 1932 menerangkan bahwa Pangeran Paribatra telat tercatat sebagai warga Kota Bandung dengan lima orang putri dan sembilan orang Siam.
Imtip Pattajoti Suharto dalam bukunya Journey to Java by A Siamese King (2001) mencatat salah satu putri Siam yang tinggal di Bandung selepas revolusi tahun 1932 adalah Putri Hemavadi. Ia tinggal di Bandung hingga tahun 1946. Putri Hemavadi adalah saudara tiri Pangeran Paribatra dan merupakan putri raja Chulalongkorn dengan selirnya yang bernama Chao Chom Manda Hem Amatayakul.
Pada tahun 1973 saat upacara kremasi Putri Hemavadi, buku A Journey of Over Two Months To Java yang merupakan cataan tentang perjalanan kedua ayahnya, Raja Chulalongkorn (Rama V) ke Pulau Jawa, dicetak kembali untuk diberikan kepada tamu yang hadir. Ini merupakan cetakan kedua buku A Journey of Over Two Months To Java, cetakan pertama diterbitkan pada saat upacara kremasi Pangeran Asdang Dejavudh pada tahun 1925. Saat kanak-kanak Pangeran Asdang Dejavudh ikut dalam dua kali perjalanan ayahnya, Raja Chulalongkorn (Rama V) ke Pulau Jawa yaitu pada tahun 1896 dan 1901.
Saudara tiri Pangeran Paribatra lainnya yang ikut tinggal di Bandung adalah Putri Nibha Nobhadol yang merupakan putri raja Chulalongkorn dengan Putri Saisavali Bhiromya. Walaupun bukan saudara kandung, hubungan antara Putri Nibha Nobhadol dan Pangeran Paribatra dan keluarganya sangat dekat. Ketika masih tinggal di Bangkok, hampir setiap hari Putri Nibha Nobhadol akan datang berkunjung ke istana Bang Khun Prom, tempat tinggal Pangeran Paribatra. Tak mengherankan jika kemudian Pangeran Paribatra mengajak Putri Nibha Nobhadol untuk tinggal bersamanya di Bandung.
Putri Nibha Nobhadol tinggal di Bandung hingga tutup usia pada tanggal 30 Januari 1936 setelah lebih dari setahun sakit keras. Kabar meninggalnya Putri Nibha Nobhadol ditulis oleh beberapa surat kabar di antaranya adalah koran De Locomotief pada tanggal 31 Januari 1936. Menurut berita De Indische Courant pada tanggal 1 Februari 1936, jenazah Putri Nibha Nobhadol kemudian diberikan upacara dengan gaya Eropa dan dikebumikan sementara di permakan Eropa, sebelum rencana untuk membawa jenazahnya kembali ke Siam dapat dilaksanakan.
Pada tanggal 27 Februari 1836 surat kabar yang sama menurunkan berita mengenai perjalanan jenazah Putri Nibha Nobhadol untuk diserahkan kepada pihak pemerintah Siam di Singapura untuk kemudian dibawa ke Bangkok untuk dikremasi berdasarkan cara agama Budha. Perjalanan darat dari Bandung dilakukan menggunakan kereta api, dilanjutkan dengan perjalanan laut menggunakan kapal uap. Pangeran Paribatra beserta keluarganya turut serta dalam perjalanan ini hingga selesai penyerahan kepada pihak pemerintah Siam di Singapura.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Cerita Putra Rama V di Bandung
NGALEUT BANDUNG: Cerita Rama V di Bandung
Rumah Makan Dapur Dahapati
Dalam rombongan Pangeran Paribatra ke tempatnya dibuang di Bandung turut serta pula beberapa orang abdi setia di lingkungan tempat tinggalnya di Bangkok, istana Bang Khun Prom. Salah satunya adalah seorang gadis belia bernama Kraba Nilwongse yang kemudian menjadi saksi perjalanan hidup di pengasingan keluarga Pangeran Paribatra di Bandung. Kraba Nilwongse bahkan kemudian membangun keluarga hingga tutup usia di Bandung.
Menurut cerita menantunya, Pak Tony saat wawancara pada tanggal 18 November 2021, Kraba Nilawongse adalah dayang dari Putri Prasongsom, istri Pangeran Paribatra. Kraba Nilwongse lahir di Bangkok pada tanggal 25 Agustus 1917. Keluarganya merupakan pekerja di lingkungan istana raja Siam. Ibunya merupakan dayang Ratu Sukhumala Marasri, ibunda Pangeran Paribatra. Sedangkan ayahnya adalah pemusik di lingkungan istana Raja. Seorang kakak lelakinya juga bekerja di istana raja sebagai pelayan raja Prajadiphok (Rama VII) yang kemudian mengikuti sang raja saat mengasingkan diri ke Inggris pada tahun 1935. Sebagai dayang Putri Prasongsom, Kraba Nilwongse sejak awal ikut tinggal di rumah Dahapati, salah satu rumah Pangeran Paribatra di Njlandweg.
Saat pertama kali datang ke Bandung pada tahun 1932, usia Kraba Nilawongse baru berusia 15 tahun. Di Bandung, Kraba Nilwongse kemudian menemukan jodohnya seorang pemuda Sunda asal Cianjur bernama Durachman. Dari pernikahannya ini Kraba Nilwongse dikarunia sembilan orang putra dan putri yang semuanya lahir di rumah Dahapati dengan dibantu oleh dokter keluarga Pangeran Paribatra di Bandung.
Setelah Pangeran Paribatra mangkat pada tahun 1944 dan setelah berakhirnya PD II, berangsur-angsur keluarga Pangeran Paribatra beserta beberapa saudaranya kemudian kembali ke Siam. Kraba Nilwongse lebih memilih tetap tinggal di Bandung menempati rumah Dahapati. Sebelum wafat, Pangeran Paribatra telah memberikan izin berupa surat kuasa kepada Kraba Nilwongse untuk menempati rumah Dahapati. Kraba Nilwongse berjanji untuk menjaga rumah Dahapati dan tidak menjualnya ke pihak lain. Ketika rumah Pangeran Paribatra di Bandung lainnya dijual oleh anak Pangeran Paribatra, yaitu rumah Perseban yang terletak di samping Dahapati, dan Pancarekan yang terletak di Jalan Lamping, serta vila Setaman di Jalan Setiabudhi, keluarga Kraba Nilwongse tetap mempertahankan rumah Dahapati.
Sebagai usaha untuk tetap dapat memelihara dan mempertahankan rumah Dahapati, pada sekitar tahun 1976 Kraba Nilwongse dibantu oleh putrinya yang nomor lima membuka warung makan dengan memanfaatkan ruang paviliun samping Dahapati. Mulanya menu yang ditawarkan adalah ayam goreng dan masakan Sunda. Usaha yang dirintis oleh Kraba Nilwongse ini kemudian menjadi terkenal setelah menggunakan dua ruang utama di rumah Dahapati pada tahun 2006 dan menawarkan menu sop buntut. Hal ini terjadi jauh setelah Kraba Nilwongse meninggal dunia yaitu pada tahun 1983. Kini usaha rumah makan Dapur Dahapati dipegang oleh generasi ketiga dari Kraba Nilwongse dan telah memiliki beberapa cabang di Kota Bandung.
Sejak awal kedatangannya pada tahun 1932 hingga tutup usia pada tahun 1983, Kraba Nilwongse tetap tinggal di Bandung dan tak pernah kembali ke tanah kelahirannya di Siam. Sebelum wafat, Kraba Nilwongse menjadi saksi beberapa barang peninggalan Pangeran Paribatra yang tersisa di Dahapati dibawa kembali ke Thailand dan kemudian menjadi barang koleksi museum Bank Of Thailand di istana Bang Khun Prom dan istana Suan Pakkand di Bangkok. Kraba Nilwongse juga memberikan wasiat kepada anak-cucunya untuk tetap mempertahankan rumah Dahapati.
Sebagai properti kerajaan Thailand di Bandung dan peninggalan Pangeran Paribatra, setiap Duta Besar Kerajaan Thailand untuk Republik Indonesia akan menyempatkan datang ke Bandung dan berkunjung ke Dahapati. Melalui usaha Keluarga Kraba Nilwongse yang tetap memelihara Dahapati menjadi bukti peninggalan tambahan hubungan yang dekat antara Bandung dan Thailand. Bukti awal keterkaitan keluarga kerajaan Siam adalah dua prasati di Curug Dago di mana aliran Sungai Cikapundung mengalir tak jauh dari komplek istana pengasingan Paribatra di Njlandweg. Bahkan anak dan cucu dari Kraba Nilwongse telah meninggalkan jejak dan menjadi contoh dari percampuran antarbangsa yang terjadi di Bandung.
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut