• Kolom
  • NGALEUT BANDUNG: R. Ating Atma di Nata, Wali Kota Bandung Pertama dari Kaum Bumiputra

NGALEUT BANDUNG: R. Ating Atma di Nata, Wali Kota Bandung Pertama dari Kaum Bumiputra

R. Ating Atma di Nata tak seterkenal adiknya, R. Oto Iskandar di Nata. Namun sejarah mencatat, dialah yang mengawali catatan Wali Kota Bandung dari kaum Bumiputra.

Alex Ari

Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri

R. Ating Atma di Nata, duduk paling kiri, merupakan Wali Kota Bandung pertama dari kalangan bumiputra yang menjabat selama masa pendudukan Jepang. (Sumber foto: buku Gedenkboek Vereeniging Himpoenan Soedara 1906-1936)

24 Januari 2022


BandungBergerak.id - Setelah Minggu, 9 Januari 2022 lalu, Komunitas Aleut berziarah ke makam Oto Iskandar di Nata di Pasir Pahlawan, Lembang, kegiatan momotoran Ahad berikutnya adalah kelajutan atau masih memiliki benang merah dengan kegiatan momotoran sebelumnya. Kami melihat dari dekat tempat kelahiran Si Jalak Harupat sekaligus berziarah ke makam keluarga besar R. H. Rachmat Adam (R. Nataatmadja), ayah R. Oto Iskandar di Nata, di daerah Bojongsoang, Kabupaten Bandung.

Titik pertama yang dikunjungi adalah Masjid R. H. Rachmat Adam (Al-Ianah), yang dulunya merupakan rumah tinggal keluarga R. H. Rachmat Adam. Di tempat inilah putra-putri R. H. Rachmat Adam dan Nyi Mas Hj. Siti Hadidjah Setia dilahirkan, termasuk R. Oto Iskandar di Nata yang lahir pada 31 Maret 1897. Saat ini Masjid R. H. Rachmat Adam yang tanahnya merupakan wakaf dari ahli waris keluarga besar R. H. Rachmat Adam sedang dalam pembangunan besar-besaran. Masih bisa disaksikan sumur masjid yang dahulu merupakan sumur rumah kediaman R. H. Rachmat Adam, namun akankah salah satu peninggalan bersejarah ini akan tergusur juga oleh pembangunan fisik bangunan masjid itu?

Titik berikutnya adalah makam keluarga besar R. H. Rachmat Adam. Di lahan ini dikebumikan seluruh putra-putri dan keturunan R. H. Rachmat Adam, kecuali makam dua orang putranya, yaitu R. Pandi Prawira di Nata dan R. Oto Iskandar di Nata yang jasadnya hilang setelah dieksekusi di Pantai Mauk, Banten dan makam simbolisnya terletak di Pasir Pahlawan Lembang.

Namun bukan cerita Si Jalak Harupat yang akan dituliskan kali ini, melainkan sosok putra sulung R. H. Rachmat Adam, yaitu R. Ating Atma di Nata. Seperti juga adiknya, R. Oto Iskandar di Nata, R. Ating Atma di Nata memiliki sedikit banyak sumbangsih bagi kota Bandung. Ia adalah Wali Kota Bandung yang pertama dari kaum bumiputra.

Berdirinya Kotapraja Bandung

Sebagai pengantar kisah mengenai R. Ating Atma di Nata, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai sejarah terbentuknya Kota Bandung beserta sistem organisasi pendukungnya.

Berdirinya Kotapraja (Gementee) Bandung tak lepas dari Keputusan Otonomi (het Decentralisatiebesluit) yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial yang telah membuat beberapa daerah seperti Batavia, Meester Cornelis, dan Buitenzorg memperoleh status Kotapraja. Pada 1 April 1906, Gubernur Jenderal J. N. van Heutz  menerbitkan keputusan yang menjadikan Bandung daerah otonomi yang dapat mengurus, mengatur, dan mengelola rumah tangga sendiri. Penetapan ini berdasarkan dua landasan hukum, yaitu perundang-undangan (besluit) tanggal 21 Februari 1906 statsblad No. 121 dan Undang-Undang tanggal 1 Maret 1906. Penetapan Bandung sebagai kotapraja pada tanggal 1 April 1906 inilah yang dulu sempat diperingati sebagai hari jadi Kota Bandung.

Pada awalnya pemerintahan Kotapraja Bandung dijalankan oleh sebuah Dewan Kotapraja yang diketuai oleh Asisten Residen. Pada tahun 1906, Asisten Residen, E. A. Maurenbrecher dilantik sebagai ketua Dewan Kotapraja Bandung yang pertama. Dewan Kotapraja awalnya terdiri dari 11 anggota dengan komposisi 8 orang Eropa, 2 orang bumiputra, dan 1 orang Tionghoa, yang semuanya diangkat oleh pemerintah kolonial dan dilantik di Batavia. Baru sejak tahun 1909, anggota-anggota Dewan Kotapraja Bandung dari bangsa Eropa dipilih oleh warga kota melalui pemilihan umum tingkat kota.

Pada tahun 1917, dengan Besluit Pemerintah statsblad No. 587 jumlah anggota Dewan Kotapraja ditambah menjadi 17 orang yang terdiri dari 10 orang Eropa, 5 orang Bumiputra, dan 2 orang Tionghoa. Setahun kemudian, anggota-anggota Dewan Kotapraja dari bangsa Pribumi dan Timur Asing mulai dipilih langsung oleh warga kota.

Per 1 Oktober 1926, Kotapraja Bandung naik status menjadi Stadsgementee (otonomi penuh) melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hinda Belanda No. 3 tertanggal 27 Agustus 1926 (Staatsblad 1926 No. 369). Pada tahun 1926, jumlah anggota Dewan Kotapraja (Stadsgementeeraad) kembali ditembah melalui Besluit Pemerintah Statsblad No. 179, menjadi 27 orang yang terdiri dari 15 orang Eropa, 9 orang pribumi, dan 3 orang Timur Asing. 

Sejak saat inilah Kota Bandung dipimpim oleh wali kota (Burgemeester). Untuk menjalankan tugas pemerintah kota Bandung, wali kota dibantu oleh tiga orang pembantu wali kota (Wethouders) yang berasal dari tiga unsur atau golongan di Dewan Kotapraja, yaitu orang Eropa, Bumiputra, dan Timur Jauh (Tionghoa). Pembantu wali kota (Wethouders) dari bangsa Eropa rangkap jabatan sebagai wakil wali kota (Loco Burgemeester). Wali kota juga dibantu oleh seorang sekretaris pemerintah kota dalam mengurus urusan administrasi dan kesekretariatan. 

Pembantu wali kota (Wethouders) dipilih dari anggota Dewan Kotapraja Bandung yang memperoleh suara terbanyak berdasarkan pemilihan umum langsung oleh warga kota. Anggota Dewan Kotapraja Bandung merupakan perwakilan dari organisasi massa (ormas) dan partai politik (parpol) yang ada di Kota Bandung. Berdasarkan informasi dari buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986), ormas dan parpol yang anggotanya berhasil duduk di Dewa Kota pada tahun 1941 antara lain adalah Indo-Europeesche Verbond (IEV), Indische Katholieke Partij, Vaderlandsche Club, Christelijke Staatkundige Partij, Democratische Partij, Pasoendan, Parindra, Neutralen, dan Chinesche Fractie.

Pemilik kursi terbanyak di Dewan Kota saat itu adalah Indo-Europeesche Verbond (IEV) atau serikat warga Indo-Eropa sebanyak 8 kursi, organisasi massa Pasundan yang mewakili golongan pribumi dengan jumlah kursi 6, dan Chinesche Fractie dengan 3 kursi yang mewakili golongan warga Timur Jauh. Yang terpilih utuk menduduki jabatan pembantu wali kota adalah Ir. F. L. H. Dessauvagie dari I.E.V, R. Ating Atma di Nata dari Pasundan, dan Tjen Djin Tjong dari Fraksi Tionghoa. Ir. F. L. H. Dessauvagie juga menduduki jabatan sebagai wakil wali kota (Loco Burgemeester).

R. Ating Atma di Nata Wakil Pasundan di Dewan Kota

Informasi bahwa R. Ating Atma di Nata merupakan wakil Paguyuban Pasundan diperoleh dari buku yang ditulis oleh Sjarif Amin yang berjudul Perjongan Paguyuban Pasundan 1914 - 1942. Paguyuban Pasundan sebagai organisasi massa berusaha mendudukkan anggotaya di berbagai dewan perwakilan sebagi usaha perjuangannya di bidang politik. Hal ini terjadi khususnya setelah ditetapkan aturan mengenai Provontie-ordonantie (Aturan Provinsi) berdasarkan Staatsblad 1924 No. 78, Regentschap-ordonantie (Aturan Kabupaten) berdasarkan Staatsblad 1924 No. 79 dan Stadsgemente-ordonantie (Aturan Kota) yang berdasarkan Staatsblad 1925 No. 365.  Menyikapi aturan tentang dewan perwakilan ini, Paguyuban Pasundan menetapakan bahwa semua wakil Pasundan harus berdasarkan hasil pemilihan umum, bukan merupakan hasil pengangkatan.

Sejak saat itu Paguyuban Pasundan berusaha menempatkan wakilnya untuk duduk di berbagai dewan perwakilan, mulai dari tingkat nasional, provinsi, hingga tingkat kabupaten dan kota. Sebagai contoh, pada tahun 1930 di dewan perwakilan rakyat tingkat pusat atau Volksraad yang duduk sebagai wakil Pasundan adalah ketua umum (Voorzitter) R. Oto Iskandar di Nata, sedangkan di tingkat kota Bandung Paguyuban Pasundan salah satunya diwakili oleh R. Ating Atma di Nata yang juga menduduki jabatan sebagai pembantu wali kota.

Dari pemberitaan di surat kabar “De Koerier” edisi 19 Juni 1930, dapat dikutip informasi mengenai R. Ating Atma di Nata yang terpilih menjadi anggota Dewan Kota melalui pemilihan periodik tingkat Kota Bandung.  Baru pada tanggal 1 September 1930, R. Ating Atma di Nata menjabat sebagai Wethouders (pembantu wali kota) Bandung. Berdasarkan informasi pada buku “Gedenkboek Vereeniging Himpoenan Soedara 1906 - 1936”, jabatan Pembantu Wali Kota Bandung dari kalangan Bumiputra pertama kali dipegang oleh R. Idih Prawira di Putra yang kemudian digantikan oleh Tuan Danakusumah. R. Ating Atma di Nata menjadi Pembantu Wali Kota Bandung menggantikan Danakusumah.

Merujuk buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986) yang ditulis oleh Haryoto Kunto, tugas yang diemban oleh Wethouder R. Ating Atma di Nata secara detail dalam pengelolaan kota Bandung yaitu mengelola pasar, tempat pemotong sapi dan kerbau, program perbaikan kampung (Kampong verbetering), mengurus permakaman Islam, pendidikan dasar dan pendidikan pertukangan, serta mengurusi Dinas Peternakan.

Selain tugas keseharian pengelolaan kota, Pembantu Wali Kota juga menjalankan tugas seremonial seperti menghadiri peresmian fasilitas umum dan peringatan hari jadi organisasi massa. Mengutip berita De koerier tanggal 27 Januari 1934, R. Ating Atma di Nata ikut hadir dalam upacara peresmian Masjid Cipaganti.

Harian De koerier pada tanggal 20 April 1936 juga menurunkan berita yang tentang peringatan 30 tahun Himpunan Sudara yang dihadiri tokoh-tokoh masyarakat di Bandung, di antaranya adalah R. Oto Iskandar di Nata, ketua umum Paguyuban Pasundan dan anggota Volksraad, R. Ating Atma di Nata, dan Tjen Djin Tjong sebagai Wethouders Kota Bandung. Dalam perayaan tersebut, R. Ating Atma di Nata turut serta sebagai anggota komisi yang menerbitkan buku “Gedenkboek Vereeniging Himpoenan Soedara 1906 - 1936”.  

Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Kisah Keluarga Kepala Penghulu Bandung
NGALEUT BANDUNG: Semerbak Nama Haryoto Kunto di Bandung Raya
Bertus Coops, Wali Kota Bandung Pertama

Wali Kota Bandung di Masa Pendudukan Jepang

R. Ating Atma di Nata diangkat menjadi Wali Kota Bandung pertama dari kalangan bumiputra setelah Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang pada 9 Maret 1942. R. Ating Atma di Nata menggantikan N. Beets, Wali Kota Bandung terakhir dari bangsa Eropa yang telah menjabat sejak 6 April 1937.

Ir. R. H. Ukar Bratakusumah dalam buku biografinya menjelaskan sistem pemerintahan pada masa pendudukan Jepang. Penyebutan wilayah kabupaten pada masa pendudukan Jepang adalah Ken yang tetap dipimpin oleh bupati dengan sebutan Kencho. Untuk pemerintah kota pada masa Jepang disebut sebagai Shi dan pemimpinya disebut sebagai Shicho. Wilayah Ken dan Shi berada di bawah wilayah yang lebih besar yang disebut dengan Shu, atau pada masa kolonial dikenal sebagai karesidenan. Pimpinan wilayah Shu disebut sebagai Shuchokan dan pejabatnya dipegang oleh orang Jepang, sedangkan wakilnya disebut sebagai Fuku Shuchokan dan pejabatnya juga merupakan orang Jepang.

Wilayah bagian barat Pulau Jawa oleh pemerintah militer Jepang dibagi ke dalam lima daerah Shi, yaitu Banten, Batavia, Bogor, Priangan, dan Cirebon. Kota Bandung berada di bawah Shuchokan Priangan. Dalam skala terkecil, wilayah pemerintahan daerah yang merupakan warisan dari masa pendudukan Jepang adalah Kumicho yang kini dikenal sebagai Rukun Tetangga (RT).

Seperti juga wali kota pada masa kolonial, Shico R. Ating Atma di Nata dibantu oleh beberapa orang dalam melaksanakan tugasnya. Menurut Ir. R. H. Ukar Bratakusumah, wakil wali kota (Fuku Shico) dijabat oleh Joesoef Adiwinata, sedangkan sekretaris kota dijabat oleh Basoeni. Ir. R. H. Ukar Bratakusumah sendiri mengisi posisi sebagai Direktur Dinas Teknik Kota Bandung dan merangkap jabatan sebagai Kepala Dinas Kebakaran Kota Bandung. Jabatan kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung dipegang oleh dokter Djoendjoenan. Selain itu masih ada beberapa tokoh yang ikut membantu Wali Kota R. Ating Atma di Nata, di antaranya Moh. Natsir, Aroedji Kartawinata, dan Bakri Soerjaatmadja.

Meskipun secara teori Shico bisa melaksanakan pekerjaannya tanpa ada campur tangan pihak luar, tetap yang menjadi tugas utamanya adalah menunaikan pekerjaan yang diminta oleh pemerintah militer Jepang. Dalam bidang pertahanan Shicho kemudian juga menjadi komandan pasukan yang dikenal dengan sebutan Seinendan.

R. Ating Atma di Nata mengundurkan diri sebagai Wali Kota Bandung selepas Kemerdekaan Indonesia. John R. W. Smail dalam bukunya Bandung Awal Revolusi 1945-1946 menulis mengenai pengunduran diri R. Ating Atma di Nata dari jabatan wali kota Bandung. Pada pertengahan bulan Oktober 1945, R. Ating Atma di Nata sakit keras dan mengundurkan diri dari jabatannya. Walaupun Samsoerizal baru secara resmi mbenjadi wali Kota Bandung, tetapi dalam kenyataannya Samsoerizal yang kala itu juga menduduki jabatan ketua KNI Kota Bandung telah menjalankan fungsi sebagai wali Kota Bandung sejak tanggal 1 November 1945. 

Saat Ukar Bratakusumah diculik, Samsoerizal juga menggantikan posisinya sebagai wakil wali kota Bandung, yang dikukuhkan pada tanggal 23 November 1945. Ini Menjadikan Samsoerizal sebagai pejabat aktif tertinggi di lingkungan Kota Bandung.

Keputusan R. Ating Atma di Nata untuk mengundurkan diri masih terkait imbas dari peritiwa penculikan beberapa tokoh, termasuk R. Oto Iskandar di Nata.

Pada 10 Desember 1945, R. Oto Iskandar di Nata diculik dari tempat tinggalnya di Jalan Kapas, Jakarta. Ia kemudian dieksekusi oleh Laskar Hitam pada 20 Desember 1945 di Pantai Mauk, Banten. R. Oto Iskandar di Nata dituduh sebagai mata-mata musuh karena kedekatannya dengan pihak Jepang. Ia bahkan juga dituduh menjual Kota Bandung ke pihak NICA Belanda.

Isu seperti ini tak cuma menimpa R. Oto Iskandar di Nata. Pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan penculikan Si Jalak Harupat, dan dengan tuduhan yang sama pula yakni sebagai kolaborator musuh, juga diculik tiga orang tokoh lain yaitu, R. Poeradiredja, Niti Somantri, dan Ir. R. H. Ukar Bratakusumah. Berbeda nasib dengan R. Oto Iskandar di Nata yang tak tentu rimbanya sebelum kemudian dinyatakan wafat, ketiga tokoh tersebut dilepaskan dengan selamat, terutama karena adanya campur tangan R. Ema Bratakusumah, kakak tertua Ir. R. H. Ukar Bratakusumah, seorang tokoh Sunda yang saat itu memimpin pasukan Laskar Rakyat. Laskar inilah yang mengeluarkan ultimatum kepada pihak yang diduga menculik adik kandungnya untuk mengembalikannya dalam keadaan selamat.

Secara kebetulan, R. Ema Bratakusumah adalah kawan dekat R. Oto Iskandar di Nata. Keduanya sama-sama bersekolah di Kweekschool Bandung. Sementara itu, Ir. R. H. Ukar Bratakusumah adalah pembantu  Wali Kota Bandung R. Ating Atma di Nata.

Menurut Iip D. Yahya dalam bukunya Oto Iskandar di Nata: The Untold Stories (2008), adalah R. Ema Bratakusumah yang kemudian memberikan saran kepada R. Ating Atma di Nata untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Shico (Wali Kota) Bandung. R. Ema Bratakusumah juga berjanji memberikan perlindungan kepada R. Ating Atma di Nata dari kemungkinan menjadi korban kondisi politik saat itu. Inilah dasar dugaan waktu pengunduran diri R. Ating Atma di Nata adalah pada akhir tahun 1945, setelah terjadinya peristiwa penculikaan R. Oto Iskandar di Nata pada bulan Desember 1945.

Menurut kesaksian Ir. R. H. Ukar Bratakusumah dalam buku biografinya, selepas dirinya kembali dari masa penculikan di akhir tahun 1945 atau awal tahun 1946, jabatan Wali Kota Bandung telah berganti dari R. Ating Atma di Nata ke Samsoerizal.

Makam R. Ating Atma di Nata berada di kompleks makam keluarga besar R. H. Rachmat Adam (R. Nataatmadja) di daerah Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Minggu (16/1/2022).
Makam R. Ating Atma di Nata berada di kompleks makam keluarga besar R. H. Rachmat Adam (R. Nataatmadja) di daerah Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Minggu (16/1/2022).

Kehidupan Pribadi R. Ating Atma di Nata 

Seperti yang tercatat pada arsip penduduk Kota Den Haag tahun 1913, R. Ating Atma di Nata lahir di Bojosoang pada tanggal 31 Agustus 1894. Sedangkan tanggal wafatnya seperti yang tertulis pada nisan makamnya yang terletak di kompleks makam keluarga R. Rachmat, yaitu 25 Agustus 1958. 

Beberapa hal tentang kehidupan R. Ating Atma di Nata sama dengan yang dialami oleh R. Oto Iskandar di Nata. Setidaknya lokasi tempat lahir dua kakak beradik ini bisa diketahui, yaitu di Bojosoang. Lokasi tepatnya adalah yang kini menjadi Masjid R. H. Rachmat Adam (Al-Ianah).  Selain itu, R. Ating Atma di Nata seperti juga R. Oto Iskandar di Nata memperoleh pendidikan modern Eropa yang cukup tinggi. Menurut Nina Lubis dalam buku biografi R. Oto Iskandar di Nata: Si Jalak Harupat (2003), R. H. Rachmat Adam sebagai seorang bangsawan yang menjabat sebagai Kepala Desa Bojongsoang memilki kemampuan baik secara status maupun ekonomi untuk menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Eropa hingga tingkat yang cukup tinggi.

Merujuk arsip kependudukan Den Haag yang telah mencantumkan nama R. Ating Atma di Nata sebagai penduduk kota tersebut, sangat mungkin jika ia melanjutkan pendidikan tingginya hingga ke Negeri Belanda. Pada tahun 1913 itu, usia R. Ating Atma di Nata adalah 19 tahun, usia saat seseorang biasanya menjadi mahasiswa.

Namun, pendidikan sekolah hingga ke tingkat yang lumayan tinggi hanya bisa dinikmati oleh tiga anak tertua keluarga R. H. Rachmat Adam, yaitu R. Ating Atma di Nata, R. Pandi Prawira di Nata, dan R. Oto Iskandar di Nata. Sementara itu, lima orang anak R. H. Rachmat Adam tak sampai ke jenjang pendidikan seperti ketiga kakaknya karena R. H. Rachmat Adam wafat pada 5 Juni 1933.  

Secara garis keturunan, keluarga R. H. Rachmat Adam merupakan keluarga bangsawan Batulayang yang wilayahnya setelah tahun 1802 dileburkan ke dalam wilayah Kabupaten Bandung.

Nama R. Ating Atma di Nata mungkin akan selalu dikaitkan dengan nama R. Oto Iskandar di Nata, karena dua saudara kandung ini menjadi besar namanya melalui Paguyuban Pasundan. Bahkan untuk R. Ating Atma di Nata, keterlibatannya di Paguyuban Pasundan menyertakan istrinya, Nyi Raden Kasomi, yang juga aktif dan turut menjadi salah satu pendiri organisasi wanita di bawah naungan Paguyuban Pasundan, yaitu Pasundan Istri.

Sekilas kisah hidup R. Ating Atma di Nata diperoleh dari Pak Candra yang merupakan generasi keempat keluarga besar R. H. Rachmat Adam. Para pegiat Komunitas Aleut menemuinya di rumahnya saat “Momotoran Ngaleut Bojongsoang”, Minggu (16 /1/2022) lalu. Ibunda Pak Candra, R. Komala, memiliki kedekatan dangan R. Ating Atma di Nata. R. Komala yang akrab dipanggil Marceu merupakan putri dari R. Onong Soma di Nata, adik R. Ating Atma di Nata atau anak kelima keluarga R. Rachmat Adam.

Sejak kecil, setelah R. Onong Soma di Nata berpisah dengan istrinya, R. Komala dirawat dan dibesarkan dalam pengasuhan R. Ating Atma di Nata. Dia tinggal di rumah R. Ating Atma di Nata di Jalan Lengkong Kecil No.  21. Lokasi rumah tinggal ini sesuai dengan berita keluarga di harian de Preangerbode edisi 30 Agustus 1955 tentang pernikahan R. Martini (Tiny), putri R. Ating Atma di Nata, yang dilangsungkan pada 28 Agustus 1955. Menurut penuturan Pak Candra, Ibudanya juga dinikahkan oleh R. Ating Atma di Nata di rumah yang sama.

R. Komala yang dapat bekerja sebagai tenaga honorer di lingkungan kantor Wali Kota Bandung berkat upaya R. Ating Atma di Nata, berjumpa jodohnya yang juga bekerja sebagai pegawai pemerintah Kota Bandung: seorang pemuda Minang bernama Tadjuddin. Selain itu, diceritakan juga bahwa R. Komala sangat dekat dengan putri bungsu R. Ating Atma di Nata karena usia mereka sebaya.

Di masa pensiunnya R. Ating Atma di Nata masih menyimpan kepedulian kepada Kota Bandung. Namanya tercantum dalam Komite untuk Peringatan 50 tahun berdirinya Pemerintah Kota Bandung, seperti diberitakan harian De Preangerbode edisi 25 Agustus 1955. Dalam komite tersebut, tercatat pula nama tokoh-tokoh lain yang ikut membangun Kota Bandung, di antaranya Ir. F. L. H. Dessauvagie, Tjen Djin Tjong, R. Mahar Martanagara, R. Akip Prawirasuganda, dan R. Darnakoesoema.

Nama R. Ating Atma di Nata mungkin kalah terkenal dibandingkan adiknya, R. Oto Iskandar di Nata, namun sejarah mencatat, dialah yang mengawali catatan Wali Kota Bandung dari kaum Bumiputra.

Anggota keluarga R. H. Rachmat Adam (R. Natadimadja) dan Nyi Raden Siti Hadidjah:

  1. R. Ating Atma di Nata
  2. R. Pandi Prawira di Nata
  3. R. Oto Iskandar di Nata
  4. R. Endang Wiria di Nata
  5. R. Onong Soma di Nata
  6. Nyi Raden Soekaesih
  7. Nyi Raden Soekaemi (Eluis)
  8. Nyi Raden Ratnaningsih 

*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//