Berontak Perempuan dalam Bus Patriarki
Lakon Manik Manik dan Lembayung ini rangkaian Hari Perempuan Internasional yang mengisahkan perlawanan kaum perempuan terhadap sistem patriarki.
Penulis Emi La Palau4 Maret 2022
BandungBergerak.id - Mobil bus itu sudah lama terbengkalai, namun masih berdiri kokoh meski Manik Manik beberapa kali menghantamnya dengan besi. Ia terus menghantam tubuh bus hingga kacanya pecah berserakan. Sementara Lembayung terikat tali di tiang yang berdiri dalam lingkaran yang mulai dibakar.
“Berkumpullah seluruh perempuan yang selalu ditunggangi oleh patriarki. Berkumpullah semua perempuan yang tertindas di antara patriarki!” demikian suara-suara itu bersautan, mewarnai performance art yang diperankan Manik Manik dan Lembayung di Kampus ISBI Bandung, Selasa (2/3/2022) malam.
Manik Manik dan Lembayung memainkan performance art berjudul “Ikrairtap - Manik Manik x Lembayung”. Lakon rangkaian dari menyambut Hari Perempuan Internasional (Internasional Womens Day (IWD)) ini mengisahkan perlawanan kaum perempuan terhadap patriarki, sebuah sistem yang berurat berakar di masyarakat yang memandang kaum perempuan sebagai warga kelas dua. Ikrairtap sendiri kebalikan dari istilah patriarki.
Lewat lakon ini, para pemain berusaha menjungkirbalikan (menghancurkan) budaya patriarki yang dicirikan dengan dominannya kaum laki-laki terhadap perempuan. Bus yang dipukuli Manik Manik sebagai simbol dari sistem patriarki yang berdiri kokoh di di tengah masyarakat.
“Bus itu dianalogikan sebagai sistem patriarki, sistem patriarki itu kuat kan, nah si bus ini juga kuat. Nah aku bisa menghancurkan itu, tapi sebagian. Aku ingin mengajak kawan-kawan untuk ayo menghancurkan bersama,” kata Monika, mahasiswi jurusan teater ISBI Bandung, pemilik nama panggung Manik Manik, usai performance art-nya.
Mengenai api yang melingkari Aysha Farrell, pemain Lembanyung, Monika menjelaskan bahwa pemikiran-pemikiran kolot yang melanggengkan patriarki harus dibakar.
Sistem Patriarki di Lingkungan Kampus
Performance art Ikrairtap tidak lahir dari ruang hampa. Lakon ini berawal dari keresahan Monika sendiri yang kerap menghadapi sikap seksisme dan diskriminasi selama kuliah. Contohnya, ada saja pihak yang mengomentari cara berpakaiannya, bentuk fisik, bentuk tubuh, dan sebagainya. Ironisnya, perlakuan seksis ini bukan saja datang dari laki-laki melainkan dari perempuan juga.
Monika yakin bahwa manusia memiliki kebebasan berekspresi termasuk cara berpakaian. Namun, ketika menggunakan pakaian yang ia inginkan, ia justru mendapat diskriminasi.
“Semisal seksismelah, rasis dengan kulit aku yang eksotis, atau pakaian aku yang pendek. Itu dikomentarin. Padahal dia sendiri pun gitu juga. Pelakunya cewek, tapi ada beberapa yang cowok juga,” ungkap Monica.
Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Teater Sunda Kiwari dan Totalitasnya Melestarikan Bahasa Sunda
Pagelaran Gending Karesmen Lalayang Salaka Domas di Savoy Homann Bandung
Bencana di Mata 'Syekh Siti Jenar' Tony Broer
Tanpa Sadar Melanggengkan Sistem Patriarki
Dalam aksinya, Aysha Farrell alias Lembayung menggambar mata, mulut, dan tanduk sebagai simbol bahwa budaya patriarki menguasai seluruh organ tubuh manusia, baik fisik maupun pikiran. Sehingga menghancurkan mata, mulut, dan kepala patriarki tidaklah mudah.
Sama halnya dengan budaya patriarki yang berlaku di masyarakat, di mana ada banyak pihak yang tersakiti dan tertindas. Di saat bersamaan, ada pula orang atau kelompok masyarakat yang melanggengkan patriarki, menjadi pelaku dan tak memahami dan menyadari bahwa mereka telah melanggengkan sistem patriarki.
“Tapi pertanyaannya di dalam pertunjukkan itu siapa yang sebenar-benarnya adalah korban. Apakah korban dari sistem itu, apakah orang yang memperjuangkan. Karena orang yang memperjuangkan pun, tertatih-tatih gitu. Malahan ya sampai sekarangpun sistem itu tetap berdiri,” terang Lembayung.
Krisis Kesadaran
Kekerasan seksual, kejahatan seksual, seksisme, diskriminasi gender, bisa terjadi di mana saja, di lingkup umum masyarakat maupun di ranah pendidikan seperti di kampus.
Bentuk menomorduakan kaum perempuan dimulai dari hal “terkecil” seperti candaan-candaan bersifat seksis, perlakuan merendahkan perempuan, hingga menimbulkan ketimpangan gender dan hak antara perempuan dan laki-laki. Puncaknya, terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan yang tidak lepas dari adanya faktor relasi kuasa laki-laki.
Pelakunnya pun tidak selalu laki-laki. Malah ada dosen perempuan yang pikirannya dikuasai budaya patriarki, yang menyatakan bahwa pada akhirnya perempuan akan bekerja di dapur. Hal ini mungkin tak disadari sang dosen bahwa alam pikirannya dipengaruhi budaya patriarki.
Nike Balqis, dari Ruang Aman ISBI Bandung mengatakan di kampusnya kerap terjadi kasus kekerasan seksual. Namun kasus ini belum mendapat perhatian lebih dari pihak kampus. Dengan latar belakang tersebut, secara kolektif mahasiswa akhirnya membangun ruang aman pada Januari 2022.
Lahirnya Ruang Aman ISBI Bandung diharapakan bisa menjadi wadah bagi korban kekerasan seksual di kampus, sehingga mereka berani bersuara.
“Fenomenanya banyak banget, dari kelas, dosen-dosen masih menganggap laki-laki superior dan perempuan inferior. Masih meragukan kualitas perempuan. (Termasuk perempuan itu sendiri) iya, maka dari itu kita berharap kesadaran itu hadir,” ungkapnya, dalam diskusi performance art “Ikrairtap - Manik Manik x Lembayung”.
Diskusi dan performance art “Ikrairtap - Manik Manik x Lembayung” sekaligus diharapkan membangun kesadaran masyarakat kampus tentang akar dari kekerasan seksual, yakni sistem patriarki.
Nida Nurhamidah dari Gender Research Center Universitas Pendidikan Indonesia (Great UPI) menambahkan, di kampus UPI sepanjang 2021 pihaknya mencatat ada 67 kasus kekeresan seksual yang dominan dialami mahasiswa perempuan. Ia menyayangkan pembelaan terhadap kasus-kasus tersebut masih lemah.
Maka melalui ruang-ruang diskusi, ia berharap akan muncul kesadaran untuk mencegah timbulnya kasus baru. Lebih lanjut, akan tumbuh kesadaran tentang pentingnya perspektif korban. Sebab menurutnya tak jarang ada pihak-pihak yang masih menyalahkan korban.
“Mungkin saja tanpa pengetahuan atau tanpa kesadaran lebih, kita sangat memungkinkan menyalahkan korban secara tidak langsung. Jadi ada kesadaran untuk mengetahui lebih dan berdiskusi seperti ini dan setidaknya tidak menjudge korban ini menjadi harapan utama,” papar Nida Nurhamidah.