Bencana di Mata 'Syekh Siti Jenar' Tony Broer
Ketika kau mendengar Tuhan Maha Pengasih, kau beranggapan Tuhan tidak akan menimpakan bala sampar, kekeringan, topan, banjir dan gempa yang meremukan kaki gadis itu.
Penulis Iman Herdiana15 November 2021
BandungBergerak.id - Suatu bencana baik yang disebabkan alam maupun nonalam, tak hanya meruntuhkan tatanan yang dibangun manusia, korban luka berat dan jiwa, melainkan juga akan menggonocang kedalaman diri seseorang. Bahkan ketika bencana itu tak tertahankan, orang bisa menggugat Tuhan.
Syekh Siti Jenar punya pandangan tersendiri mengenai bencana yang menggoncang keimanan seseorang itu. Walaupun pandangan sang syekh membuahkan kesalahpahaman, bahkan fitnah, yang mengantarkannya pada hukuman pancung.
Bencana yang menggoncang kemanusiaan menjadi bagian dari isu yang diungkap dalam teater “Ekstase Jenar: An Interpenetration of Dramatic Theatre, Physical Theatre, Dance, and Islamic Culture,” dengan aktor utama Tony Broer, di GK Sunan Ambu ISBI Bandung, Jumat (12/11/2021) lalu.
Ekstase Jenar merupakan lakon berdasarkan naskah “Syekh Siti Jenar: Babad Geger Pengging” karya Saini KM. Naskah ini digarap sutradara Fathul A Husein, dari Jurusan Teater ISBI Bandung dan NEO Theatre Indonesia, berkaitan dengan 5th Invitation to the Theatre ISBI dan University of Malaya.
Dalam snopsis teater Ekstase Jenar yang diperoleh BandungBergerak.id, dikisahkan bahwa Pangging digoncang gempa bumi yang merusak. Lindu menghantam korban tanpa pandang bulu. Rakyat Pengging pun menghujat Tuhan, pada awalnya, sebelum kemudian Sunan Jenar (ulama kharismatik setempat) menggulirkan hikmah gempa ke arah ‘pencerahan’ dan jalan lempang menuju Tuhan, tentu melalui ajaran tasawuf dan kemakrifatannya yang terkenal, ‘Wahdatul Wujud’ (Manunggaling Kawula-Gusti).
Bagi Sunan Jenar, tiada do’a dan sembahyang yang dapat mencegah terjadinya bencana dan malapetaka. Bencana dan malapetaka adalah ujian Ilahiah atas kodrat manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Tolong-menolong dan ‘welas-asih’ dalam ketawakkalan, keikhlasan dan kegembiraan, terutama saat bencana, adalah wujud tanggungjawab manusia dalam mengemban tugas keilahian sebagai ‘khalifatullah’ (wakil penyelenggaraan Ilahi di muka bumi).
Dalam ajarannya, Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa manusia adalah ‘pancaran’ (emanasi) cahaya Ilahi dan memiliki dzat yang sama dengan Tuhan, hanya sedang mengambil bentuk kemanusiaan. Tuhan tidak merupakan pribadi yang terpisah dari ciptaanNya. Ciptaan Tuhan adalah bagian dari Tuhan sendiri, seperti halnya cahaya memancar dari sumbernya. Tuhan adalah sumber cahaya itu. Oleh karenanya, sebagai pancaran dari Tuhan, betapa pun terbatas dan fananya, manusia memiliki sifat-sifat keilahian.
Di pihak lain, Kebo Kenongo alias Ki Ageng Pengging, bupati setempat yang dianggap murid dari ajaran Sunan Jenar, menggunakan isu gempa dan krisis keimanan warganya untuk tujuan-tujuan politik-kekuasaan masa silam dengan mengaitkan bencana pada mitos lama tentang menurunnya kekuatan dan kekuasaan raja.
Ia membelokkan arah keguncangan jiwa (akibat gempa) sebagian warga dan petinggi wilayah untuk memberontak kepada kekuasaan raja yang sah, yakni Sri Sultan Demak. Tidak lain tujuan utamanya adalah demi menegakkan kembali kerajaan dan agama/kepercayaan lama sebelum era Kesultanan Demak.
Lain halnya dengan Darmacaraka. Pangeran muda Kesultanan Demak yang berlumur ambisi kekuasaan dan menghalalkan segala cara dengan kerap mengatasnamakan agama dan Tuhan, tak segan memberantas dan menghabisi siapa pun yang tak mau ‘seiring dan sejalan’ dengan garis kekuasaan. Di bawah komandonya yang garang, pemberontakan Kebo Kenongo ditumpas-habis hingga ke akar-akarnya.
Kebo Kenongo, bupati ‘bercita-cita’ tinggi yang dicap ‘sisa-sisa kafir’ itu pun tewas seketika dalam pemberontakannya. Tidak cukup sampai di situ, Darmacaraka juga menangkap Siti Jenar, menyeretnya ke pengadilan dan menjatuhkan hukuman mati kepada ulama kharismatik itu, dengan tuduhan bahwa Siti Jenar dan ajarannya dianggap sebagai akar penyebab dan ‘sumber pijakan’ dari meletusnya pemberontakan Kebo Kenongo.
Nalar politik Darmacaraka untuk kekuasaan memang luar biasa, ia menawari Sunan Jenar pengampunan asalkan mau mengakui di hadapan khalayak umum bahwa dirinya dan ajarannya adalah sesat, murtad, syirik, zindik, dan kafir. Ia senantiasa memaksakan kehendak kepada Dewan Wali (penasehat Kesultanan) dan bahkan ‘melampaui’ kebijakan Sri Sultan. ‘Jubah agama’ selalu ia kenakan dalam menjustifikasi tindakan dan ambisi beratnya terhadap kekuasaan.
Sunan Jenar sendiri dengan sadrah, tenang dan sepenuh keyakinan, mengumumkan keputusan eksistensialnya yang mengejutkan Darmacaraka. Ia menolak tunduk terhadap kuasa apa pun di luar dirinya, dengan lebih memilih hukuman mati dengan cara dipancung ketimbang harus menuruti itikad busuk politik-kekuasaan berparas ‘tebar pesona’ dan pencitraan seorang Darmacaraka.
Tatkala jenasah Sunan Jenar dimakamkan, diam-diam Darmacaraka mengganti jenasah itu dengan bangkai seekor anjing kudisan, sehingga ketika para santri Sunan Jenar hendak memindahkan jenazah itu ke tempat lain, mereka dibuat terperangah oleh suatu fakta yang mengguncang keyakinan mereka, bahwa jenazah guru mereka telah berubah menjadi bangkai seekor anjing yang hina.
Dari sanalah mungkin muasal ‘mitos’ yang mengungkapkan bahwa Sunan Jenar atau Syekh Siti Jenar, oleh akibat meyakini dan menyebarkan ajaran yang dituding sesat, murtad, syirik, zindik, dan kafir, maka saat kematiannya berubah hina menjadi seekor anjing mati.
Baca Juga: Pergeseran Citra Ronggeng, dari Tokoh Spiritual Terhormat hingga Identik dengan Pelacuran
Ritual Adat Sunda di Kaki Gunung Tangkuban Parahu
Festival Monolog se-Jawa Barat: Ketika Seniman harus Akrab dengan Youtube
Buah Pena Saini KM
Banyak unsur yang dipakai dalam pementasan Ekstase Jenar. Sutradara Fathul A. Husein berusaha memadukan kekuatan teater dramatik, teater fisik (disiplin tubuh), dan tari. Pertunjukan ini berkelindan di antara intensitas dan ekspresivitas akting (seni peran), geliat-hentak gerak tari dalam level simbolis, reflektivitas visual, musikalitas dan lantunan puji-pujian religi dan kultur Islami yang meluluhkan hati, dan dengan ‘meminjam’ budaya lokal pemantik kontemplasi macam Topeng Klana dan Topeng Panji.
“Melalui kearifan lakon masterpiece buah pena Saini KM, pertunjukan ini juga sekedar ingin mengingatkan kita tentang makna penting ‘budaya tabayyun’, salah-satu nilai luhur dari kultur Islam,” terang Fathul A. Husein.
Dalam budaya tabayyun, setiap muncul isu sosial apa pun di tengah masyarakat, hendaknya ditelusuri sampai ke sumber utama yang dianggap menggulirkan isyu itu. Tujuannya, tidak lain guna mendapatkan kejelasan yang terang-benderang dan tidak malah termakan hoaks.
Sementara Saini KM dalam pengantar naskahnya menjelaskan, bahwa naskahnya bukan naskah sejarah, melainkan naskah sastra.
“Kalau penulis berani menuliskan kata Babad, hal itu didukung pula oleh kenyataan bahwa di kalangan para sarjana sejarah sendiri masih ada keraguan, apakah kisah Syekh Siti Jenar itu memang pernah benar-benar terjadi atau hanya berupa cerita saja. Dengan demikian, penulis merasa lebih leluasa memergunakan cerita itu untuk tujuan-tujuannya yang bersifat sastrawi,” katanya.
Dalam salah satu fragmennya, naskah “Syekh Siti Jenar: Babad Geger Pengging” mengisahkan dialog Siti Jenar dengan santrinya tentang bencana gempa bumi yang meremukkan kaki seorang gadis belia. Si santri mempertanyakan di mana kemahapengasihan Tuhan saat terjadi bencana tersebut.
“Ketika kau mendengar kata Tuhan Maha Penyayang, maka kau bayangkan Tuhan sebagai seorang ayah yang menyayangi anak-anaknya. Ketika kau mendengar Tuhan Maha Pengasih, kau beranggapan Tuhan tidak akan menimpakan bala sampar, bala kekeringan, topan, banjir dan gempa yang meremukan kaki gadis kecil itu,” kata Siti Jenar.
“Benar Sunan. Tuhan harus kasihan pada gadis itu,” kata santri.
“Harus? Mengapa harus?” tanya Siti Jenar.
“Bukankah Ia Maha Pengasih?”
“Kau kira Tuhan mengasihi seperti manusia mengasihi dan merasa kasihan?”
“Ya.”
Siti Jenar lalu menjelaskan, “Di sanalah letak kekeliruanmu. Itulah pula yang menyebabkan kau tidak akan memahami peristiwa sedih ini. Dengan menganggap Tuhan seperti manusia. Kau telah memberhalakanNya. Di sanalah letak kemurtadan. Di sana pula letak penderitaanmu.”