• Budaya
  • Pergeseran Citra Ronggeng, dari Tokoh Spiritual Terhormat hingga Identik dengan Pelacuran

Pergeseran Citra Ronggeng, dari Tokoh Spiritual Terhormat hingga Identik dengan Pelacuran

Konotasi negatif citra Ronggeng terjadi pada masa kolonial.

Prof. Endang Caturwati, Guru Besar Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. (Foto: dokumentasi pribadi Endang Caturwati).

Penulis Endah Lismartini16 Oktober 2021


BandungBergerak -  Srintil, seorang penari Ronggeng adalah tokoh utama dalam buku Ronggeng Dukuh Paruk. Novel fenomenal ini ditulis oleh budayawan Ahmad Tohari. Dalam cerita fiktif itu, Srintil menjadi penari Ronggeng papan atas di Dukuh Paruk. Posisi penari Ronggeng di Dukuh Paruk adalah posisi terhormat dan membanggakan.

Citra penari Ronggeng di masa lampau sedikit mirip dengan kisah Srintil. Posisi mereka terhormat di tengah masyarakat. Sebab, tak mudah menjadi penari Ronggeng, apalagi hingga menjadi penari Ronggeng sekelas Srintil. Ada proses ritual yang panjang dan berat yang dilalui, penempaan tak hanya fisik tapi juga spiritual. Meski lekat dengan aktivitas seksual, tapi di masyarakat masa itu, penari Ronggeng adalah seorang tokoh yang bahkan bisa membantu menaikkan nama baik desa atau dukuh tempat Ronggeng tersebut tinggal.

Tapi pergeseran persepsi yang terjadi di masyarakat membuat citra penari Ronggeng berkonotasi negatif. Guru Besar Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Prof. Endang Caturwati mengatakan, awal mula konotasi negatif tersebut tidak lepas dari masa kolonialisme di bumi Indonesia, salah satunya di Tatar Sunda. Padahal, citra ronggeng dalam kepercayaan masyarakat Sunda jauh dari kesan negatif.

Menurut Endang, ronggeng di daerah Sunda pada masa lalu merupakan sosok perempuan terhormat. Ia merupakan seorang syaman (dukun) dalam berbagai upacara ritual, penasihat bagi masyarakat, menyembuhkan berbagai penyakit, serta peran yang bersifat positif.

“Pada cerita naskah-naskah kuno, Ronggeng di daerah Sunda pada masa lalu merupakan sosok terhormat,” kata Endang, saat menjadi pembicara pada Keurseus Budaya Sunda “Kabeungharan Seni Tari Sunda” yang digelar Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda Universitas Padjadjaran, Rabu (13/10/2021).

Endang menjabarkan, kemuliaan kedudukan Ronggeng dalam konteks ritual bahkan masih melekat hingga saat ini. Beberapa upacara adat yang berkaitan dengan pertanian hingga seni pertunjukan yang berkaitan dengan ronggeng sebagai Dewi Kehidupan, di antaranya Upacara Sérén Taun di Kuningan dan Sukabumi, Upacara Ngarot di Indramayu, dan Upacara Ngalaksa di Sumedang.

Baca Juga: Festival Budaya Nusantara ISBI Bandung: Membangkitkan kembali Ruang-ruang Kosong Gelap Akibat Pandemi
Pesantren Sukamiskin, Ngalogat dan Debat dalam Budaya Ki Sunda

Kolonialisme, Titik Awal Persepsi Negatif Ronggeng

Endang menjelaskan, pergeseran makna Ronggeng terjadi ketika masa kolonialisme Belanda. Pada 1700-an, pemerintah kolonial melalui VOC membuka hutan-hutan di Jawa Barat untuk dijadikan perkebunan. VOC juga merekrut banyak tenaga kuli kontrak maupun perempuan buruh pribumi untuk dipekerjakan di perkebunan.

Sosok Ronggeng kemudian muncul sebagai penari hiburan. Memiliki peran sebagai penari penghibur, Ronggeng menjadi ajang pelampiasan penat para pekerja setelah seharian bekerja. Alhasil, penampilan tari Ronggeng melalui pertunjukan Tayuban saat itu kerap diisi dengan aktivitas mabuk-mabukan hingga pelacuran.

“Ronggeng telah menjadi hiburan primadona, khususnya bagi para buruh kuli di area perkebunan,” kata Endang, dikutip dari laman resmi Unpad.

Hal ini menjadi peluang bagi VOC untuk menambah pundi-pundi dengan menerapkan “Pajak Ronggeng”, atau pajak yang dibebankan kepada penyelenggara yang menggelar hajatan ronggeng. Pada 1706, pajak ini mulai diterapkan dan ronggeng telah menjadi salah satu komoditi dari pemerintah kolonial.

Tak jarang pula, pertunjukan ronggeng memicu keonaran. Para pekerja yang terlibat keributan juga diwajibkan membayar denda kepada pemerintah.

“Adanya hiburan pesta ronggeng, kendatipun para kuli kontrak telah bekerja keras, uangnya selalu habis. Selain untuk menyawer, juga melacur, minum, judi, dan mengisap candu,” ujar Prof. Endang mengutip sejarawan Sartono Kartodirjo.

Kesan negatif tersebut diperkuat dari berbagai tulisan. Letnan Gubernur Hindia Belanda Thomas Stanford Rafles dalam laporannya juga menuliskan bahwa ronggeng dipandang memiliki konotasi negatif dan dekat dengan pelacuran.

Menurut Uum Sutomo (51) seorang seniman pelestari Ronggeng di Pangandaran, kini Ronggeng berkembang mengikuti dinamika kondisi zaman. Dikutip dari swarapangandaran, Uum mengaku mengikuti perubahan dan dinamika yang dialami kesenian tersebut.

Uum berkisah, format pertunjukan Ronggeng terus berubah menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Ronggeng yang dikawal Uum diberi nama Ronggeng Ibing Sunda. Ronggeng ini lahir sebagai upaya mempertahankan kesenian Ronggeng. Ronggeng Ibing Sunda adalah turunan dari Ronggeng Gunung, kesenian yang disebut Uum sebagai Ronggeng yang paling tua. Kini Ronggeng Ibing Sunda kerap diundang untuk mengisi acara hajatan.

“Dahulu acara pementasannya dari sore hari sampai subuh, untuk menemani yang punya hajat karena takut terganggu sama perampok. Jaman dulu kan masih rawan. Sekarang, tengah malam juga sudah bubar,” tuturnya.

Uum mengatakan, pemerintah ikut membantu melestarikan kesenian ini. Ada dukungan yang diberikan oleh pemerintah sehingga Ronggeng masih membudaya dan bisa tampil di berbagai acara kesenian.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//