• Opini
  • Pesantren Sukamiskin, Ngalogat dan Debat dalam Budaya Ki Sunda

Pesantren Sukamiskin, Ngalogat dan Debat dalam Budaya Ki Sunda

Pesantren Sukamiskin disebut pesantren tertua di Bandung, pernah hancur dibom Belanda, dibangun lagi, dan tetap berdiri lagi hingga sekarang.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Pondok Pesantren Sukamiskin, Bandung, didirikan pada 1881 oleh Kiai Haji Raden Muhammad bin Alqo. (Sumber: elib.unikom.ac.id/Budi Haryanto)

4 Oktober 2021


BandungBergerak.idBila kita sedang asyik bepergian dari Bundaran Cibiru, Ujungberung menuju Terminal Cicaheum.  Sepanjang Jl. A.H. Nasution, sebelah kiri, sebelum Lapas Sukamiskin, tepat di kampung Sindanglaya, terdapat gaya bangunan tempo dulu bernomor 128 dengan plang bertuliskan Pondok Pesantren Sukamiskin.

Ingat, dalam catatan sejarah, dari Pondok Pesantren Sukamiskin ini telah banyak mencetak alumni santri yang sukses, seperti K.H. Zaenal Mustofa, Pahlawan Nasional dari Tasikmalaya, Abah Sepuh, Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, K.H. Imam Shonhaji, Pengasuh Ponpes Daruttaubah Saritem Bandung.

Dalam buku Sejarah Pesantren Jejak, Penyebaran dan Jaringannya di Wilayah Priangan (1800-1945) dituliskan bahwa pesantren Sukamiskin sudah berdiri sejak 1881 (Dr. Ading Kusdiana, M,Ag, 2014:8).

Dalam artikel Jejak Penyebaran Islam Ponpes Sukamiskin 136 Tahun Sebarkan Islam menunjukkan, "Sepintas terlihat dari depan seperti bukan sebuah pesantren dengan tetap mempertahankan gaya arsitektur bangunan lama. Tapi, siapa sangka ternyata bangunan tersebut merupakan bangunan Pondok Pesantren tertua di Kota Bandung."

Pondok Pesantren Sukamiskin ini tumbuh dan tetap eksis di tengah gempuran pondok pesantren modern lainnya di Bandung. Didirikan pada 1881 oleh Kiai Haji Raden Muhammad bin Alqo putera Daeng Daud yang berasal dari Kampung Pulo, Jakarta.

Ketua Yayasan Pondok Pesantren Sukamiskin, KH Abdul Azis, menjelaskan ihwal sejarah Ponpes Sukamiskin. Dalam kurun waktu sekitar 36 tahun Kiai Muhammad bin Alqo memimpin Ponpes Sukamiskin, kemudian menyerahkan kepemimpinannya kepada menantunya yang bernama Kiai Kholil sebelum kedatangan putra laki-laki Kiai Muhammad bin Alqo, yakni Kiai Dimyati, yang terkenal dengan sebutan Mama Gedong.

Sepanjang perjalanan 36 tahun, Ponpes Sukamiskin terus mengembangkan ilmu-ilmu tentang tariqah. Namun, setelah kedatangannya dari penimbaan ilmu di Mekah, Kiai Dimyati mengubah (meningkatkan) Ponpes Sukamiskin ini menjadi lebih terarah, dengan menerapkan klasifikasi, kurikulum, dan usia mondok (Pesantren) selama delapan tahun mulai nol A, nol B, hingga enam.

"Dari sana kemudian ada imtihan (percobaan) kepada para santri hingga pada Minggu (21/5/2017) kami gelar imtihan ke-100 tahun," kata KH Abdul Azis. (Tribun Jabar, Minggu, 28 Mei 2017 12:01).

Asal Kata Sukamiskin dan Dibom Belanda

Dalam buku Sejarah Pendidikan Islam dijelaskan mengenai asal mula Sukamiskin diambil dari rangkaian kata bahasa Arab, suq dan misk. Suq berarti pasar dan misk artinya minyak wangi. Jadi secara lughawi diartikan pasar minyak wangi. Nama ini diambil karena berkenan pada waktu itu Sukamiskin merupakan pusat pertama di Kota Bandung yang didatangi banyak orang untuk menuntut ilmu pengetahuan agama.

Dengan demikian, makin dikenal baik di Kota Bandung maupun di Jawa Barat, sehingga seolah-olah sebuah pasar terkenal yang banyak dikunjungi orang dari tiap pelosok, yang harus semerbak dengan ilmu yang ia bawa (Prof. Dr. H. J. Suyuthi Pulungan, M.A. 2019:414).

"Jadi, jika diartikan Sukamiskin itu pasarnya minyak wangi, sedangkan kampungnya itu Sindanglaya, tapi saat ini lebih terkenal dengan sebutan Sukamiskin. Maka, nama ini semoga dapat memberikan harum dan manfaat bagi semuanya," kata KH Abdul Azis.

Diakui KH Abdul Azis, selama berdirinya Ponpes Sukamiskin, yang dihitung telah berusia 136 tahun, Ponpes Sukamiskin menghadapi berbagai hambatan dan tantangan, seperti pada tahun 1942 terjadi pengeboman oleh Belanda yang membuat Ponpes ini luluh lantak dan menyisakan puing-puing, serta yang menyebabkan Kiai Dimyati mesti mengungsi ke daerah Ciparay, Kabupaten Bandung.

"Ya mungkin itu semata-mata bukan karena takut, melainkan terlebih dahulu mencari keselamatan dengan tetap memberikan komando dari jauh. Sebab, jika tetap diam di Bandung, sama saja bunuh diri," ujar KH Abdul Azis.

Sepeninggal Kiai Dimyati, kepemimpinan Ponpes Sukamiskin beralih ke Kiai Ahmad Haedar Dimyati, putranya sendiri, yang mencoba membangun kembali puing-puing pondok yang dibom Belanda, hingga saat ini diurus oleh keturunannya.

Rupanya peninggalan sejarah keberadaan Ponpes Sukamiskin yang membuktikan eksistensinya itu terlihat dari bangunan ponpes tersebut. Dari bagian dalam terlihat masih menggunakan keramik lama dengan dekorasi bagian dalam, yakni dindingnya tampak kokoh, serta bagian kubah rumah tampak memakai gaya rumah zaman dahulu.

Sekitar 350 santri yang mondok di pesantren salafiyah seluas satu hektare ini. Santirnya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Batam, Lampung, Madura, Palembang, dan lain-lain.

KH Abdul Azis menegaskan selain dari segi arsitektur, peninggalan yang masih ada ialah kurikulum (sistem), seperti wiridan bakda salat, pelajaran fikih, pelugatan kitab kuning menggunakan dialek Sunda.

"Pertama yang menggunakan logat Sunda, ya, zaman Mama Dimyati, tetapi tetap ketika menerangkan memakai bahasa Indonesia," ucap KH Abdul Azis. (Tribun Jabar, Minggu, 28 Mei 2017 12:01).

Baca Juga: Penyintas 1965: Bertahan Hidup dalam Ketersisihan dan Ketidakpastian
Jejak Islamisasi di Tatar Sunda dalam Peribahasa dan Mitos
Perjalanan Aing dari Dangding Hasan Mustapa ke Persib
Jejak Revolusi Tan Malaka di Bandung
Memahami Cinta dari Sudut Pandang Max Stirner

Ngalogat dan Debat

Pondok pesantren Sukamiskin berada di bawah pimpinan K.H.R. Muhammad Alqo selama kurang lebih dari 29 tahun (1881-1910 M/1300-1329 H). Dalam kurun jangka waktu itu, K.H. Raden Muhammad bin Alqo berhasil mendidik para santrinya hingga menjadi ulama besar, salah satunya adalah Pahlawan Nasional K.H Zainal Musthofa. Setelah K.H. Raden Muhammad bin Alqo wafat, kepemimpinan Pesantren beralih pada putranya, K.H.R. Ahmad Dimyati beserta R.H.S Anisah.

Sebelum memimpin Pondok Pesantren, KH. R. Ahmad Dimyati menimba ilmu pengetahun di Pesanteren Kresek garut yang bermukim di Mekah selama sembilan tahun bersama KH. Ahmad Sanusi (Pendiri Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi). Pada masa KH. R Ahmad Dimyati (1910-1946 M/1329-1365 H) Pondok Pesantren Sukamiskin semakin harum dan cemerlang namanya di Jawa Barat.

R. Ahmad Dimyati lebih dikenal dengan sebutan Mama Gedong dan peletak sadar ngalogat Sunda, metode memaknai kiab dalam bahasa Sunda (Prof. Dr. H. J. Suyuthi Pulungan, M.A. 2019:414).

Hijrahnya KH.Ahmad Dimyati dari Sukamiskin ke Ciparay akibat pengeboman oleh Belanda pada tahun 1942 tidak menghalanginya untuk menulis karya ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan syair (sastra) dalam bahasa Sunda. Walhasil terkenal sebagai peletak dasar “Ngalogat Sunda” (metode memaknai kitab dalam bahasa Sunda).

Ahmad Ginanjar dalam artikelnya, al-Tabyin Ajla wa Ahla: Tafsir al-Quran Sunda, menjelaskan KH.R.Ahmad Dimyati Sukamiskin (1931) dalam kitabnya menggunakan model purwakanti, sastra prosa berima, yang terdiri dari penggalan-penggalan kalimat yang kaya akan rima dan irama.

Sebenarnya, gaya yang dipakai Dimyati dalam penafsirannya memiliki kesamaan dan melengkapi tafsir al-Quran berbahasa Sunda yang pernah ada sebelumnya. Salah satunya tafsir Quranul Adhimi karangan Haji Hasan Mustapa, Garut, yang menafsirkan al-Quran dengan model danding, sejenis puisi Sunda.

Pada halaman sampul naskah kitab tertulis keterangan, Kitab al-Tabyinul Ajla wa Ahla fi Tafsir Surat al-A’la, basa Sunda nganggo rindik purwakanti saban opat rindik didamel hiji candek, kenging ngaracik Raden Haji Ahmad Dimyati Sukamiskin Bandung, dicetak ku Zarkasyi Sindanglaya.

Kitab al-Tabyinul Ajla wa Ahla fi Tafsir Surat al-A’la bahasa Sunda menggunakan model purwakanti setiap empat bait dibuat menjadi satu kalimat, dibuat oleh Raden Haji Ahmad Dimyati Sukamiskin Bandung, dicetak oleh Zarkasyi Sindanglaya pada tahun 1350 H/1931 M.

Keseluruhan tebal kitab itu sebanyak 24 halaman. Kitab karya K.H.R. Ahmad Dimyati ini menjadi pelengkap dari beberapa koleksi kitab-kitab tafsir al-Quran lainnya dalam bahasa Sunda seperti yang ditulis oleh Hasan Mustapa, Garut (Quranul Adhimi), R.A.A.Wiranatakoesoemah (Tafsir Soerat al-Baqarah), A.Hassan Bandung (Tafsir al-Foerqan Basa Soenda) (BincangSyariah.Com, 21 April 2020).

Dalam buku Peran Edukasi Tarekat Qadariyyah Naqsabandiyyah dengan Referensi Utama Suryalaya dituliskan, Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad yang diekenal dengan subutan Abah Sepuh Pondok Pesantren Suryalaya pendidikan formal agamanya dimulai dari Pesanteren Sukamiskin yang belajar fikih, ilmu linguistik, bahasa Arab ilmu alat, nahu, saraf (Dr. Hj. Sri Mulyati, M.A., 2010:200).

Dalam buku Api Sejarah 1 dijelaskan telah terjadi perdebatan Islam dan budaya antara Toean A. Hasan dengan Mama Adjengan Gedong ihwal bid'ah.

"Misalnya pada saat terjadi perdebatan antara Toean A. Hasan dengan latar belakang budaya Tamil sebagai penganut Wahabi dengan Mama Adjengan Gedong Pesantren Sukamiskin dan KH. Hidayat dengan latar belakang budaya Sunda sebagai penganut Ahli Soennah wa Djama'ah, terjadi perdebatan tentang bid'ah. Toean A. Hasan menyatakan bahwa segaal sesuatu yang tidak mengikuti petunjuk Rasulullah Saw menambah atau mengurangkan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah dhalalah. Ditegaskan bahwa penjelasan itu bersumber dari hadits shahih.

Kemudian, Mama Adjengan Sukamanah dan KH Hidayat bertanya Apakah Rasulullah Saw pernah mengajarkan dan menjelaskan adanya hadist shahih dan dha'if. Dijawab oleh Toean A. Hasan, tidak pernah. Lalu siapa yang mengkategorisasikan hadist menjadi shahih atau dhai'fdan lain-lain? Dijawab oleh Toean A. Hasan, Imam Bukhori dan Imam Muslim

Selanjutnya, Mama Adjengan Gedong Pesantren Sukamiskin menyatakan, kalau demikian Toean A. Hasan tidak mengikuti Rasulullah Saw, tetapi mengikuti Imam Bukhori dan Imam Muslim. Apakah itu bukan bid'ah, jika menurut Toean A. Hasan jika segala sesuatu tidak bersumber dari Rasulullah Saw adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah dhalalah?

Cerita tentang debat ini diterima dari keluarga ulama di atas secara lisan. Dijelaskan pula ada persyaratan pihak yang kalah dalam debat harus meninggalkan Kota Bandung. Akibat kalah dalam debat inilah, Toean A. Hasan meninggalkan Kota Bandung dan hijrah ke Bangil. Benarkah demikian? Apakah kepindahannya disebabkan faktor politik yang lain. Diperlukan penelitian ulang untuk mengtahui jawabannya (Ahmad Mansur Suryanegara,  2017:497).

Bila sistemnya kuat dan kokoh, niscaya keberadaan Pesantren akan tetap berjalan di tengah-tengah arus modernitas. Sekalipun kiainya sudah meninggal. Inilah salah satu potret Pondok Pesantren Sukamiskin, lembaga pendidikan tertua di Kota Bandung yang menjadi kebanggaan urang Sunda.   Semoga.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//