Jejak Revolusi Tan Malaka di Bandung
Di Lembang, Tan Malaka kembali melihat kedzaliman Belanda. Warga dipaksa menyerahkan tanah mereka untuk dijadikan pabrik teh oleh pemerintah kolonial.
Rizky Mardiyansyah
Alumnus Jurnalistik Unisba, editor untuk media Kulturnativ.
17 September 2021
BandungBergerak.id - Jasa Tan Malaka sangatlah berpengaruh besar terhadap pembebasan negeri ini atas kolonialisme Belanda. Ide dan pemikirannya membuat Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, terinspirasi untuk membentuk konsep negara republik, merujuk pada buku Tan Malaka sendiri, yaitu, Naar de Republiek. Oleh karenanya, Soekarno menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No.53, pada 28 Maret 1963.
Kiprahnya yang melegenda bahkan selalu menjadi momok bagi warga Belanda sendiri, termasuk sejarawan terkenal bernama Harry A. Poeze. Poeze rela menghabiskan separuh hidupnya untuk meneliti dan mengumpulkan arsip-arsip kisah perjalanan Tan Malaka, dari mulai jejaknya berpindah-pindah negara, menghadiri Komintern di Rusia, hingga pendataan puluhan penjara yang pernah ia singgahi atas hukumannya menentang otoritas setempat.
Tan Malaka kecil merupakan seorang Hafiz Quran dan pecinta sepak bola layak anak sepantar 10-12 tahun biasanya. Ia dibesarkan di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat, dengan nama panggilan Ipie. Pria kelahiran 2 Juni 1897 itu lahir dari keluarga terpandang di kampungnya. Ia diberi gelar Datuk pada 1913 sebagai penghargaan atas prestasi kelulusannya di Kweekschool – sekolah guru era kolonial.
Di tahun yang sama pula, ia ditawari untuk melanjutkan pendidikannya ke Belanda oleh salah satu gurunya, Horensma. Hari keberangkatannya ke Belanda dimeriahkan dengan acara syukuran dan upacara tradisional oleh seisi kampung. Sejak hari itu, Tan Malaka memulai perjalanan politiknya. Lantas bagaimana jejak revolusi Tan Malaka hingga ia menginjakkan kaki di Bandung?
Mengenal Politik
Sesampainya di Belanda, sifat keingintahuan Tan Malaka tentang dunia sangat menggebu-gebu. Ia kerap membaca kisah-kisah Revolusi Perancis dan Rusia lewat surat kabar yang beredar. Sejak saat itulah ia mulai mempelajari gaya filsafat politik Karl Marx. Tan Malaka juga sering menjadi “dalang” pemogokan kerja buruh tani di Belanda. Hal tersebut ia lakukan atas dasar geram, melihat kesewenang-wenangan pihak korporat yang tidak menjamin kesejahteraan buruhnya. Taktik revolusi itu kemudian ia abadikan di bukunya yang bernama Massa Actie, atau Aksi Massa dalam Bahasa Indonesia.
Banyaknya perebutan alat produksi dan aksi demonstrasi kaum buruh yang dimotori Tan Malaka di berbagai wilayah Belanda pada saat itu, membuat dirinya menjadi buronan, sehingga terpaksa membuatnya berpindah tempat tinggal, dan berganti nama samaran lebih dari 10 kali. Meski demikian, hal tersebut tidak membuat dirinya urung dalam menebarkan ide-ide revolusinya, terutama untuk Indonesia. Ia juga kerap menulis untuk pamflet-pamflet selebaran yang ia sebarkan di setiap penjuru Belanda, perihal kolonialisme pemerintahan Belanda yang terjadi di Indonesia.
Meski menjadi buron, Tan Malaka ditunjuk menjadi salah satu perwakilan Komintern untuk Asia Tenggara, dan menghadiri Musyawarah Besarnya di Moskow, Russia. Di pertemuan itu, Tan Malaka menggunakan nama samaran, dan berpidato di depan para tokoh komunis interansional. Ialah yang mencanangkan ide bahwa komunisme dan konsep agama – dalam hal ini Islam, harus bersatu melawan kolonialisme. Hal tersebut sekaligus mengabarkan pada seluruh perwakilan komunis di dunia, bahwa kolonialisme di Indonesia sedang terjadi dan harus segera dihentikan. Ia juga menambahkan bahwa, komunis merupakan alat perjuangan, bukan tujuan perjuangan.
Pidato kontroversi tersebut kemudian menyita banyak perhatian orang, dan membuatnya semakin dikenal dan diburu. Bagaimana tidak, penjelasan sentimentalnya mengenai komunisme dan Islam sangatlah kontradiksi atas ide-ide para tokoh komunis di dunia. Namun di balik itu, kejadian tersebut justru menjadi awal kedekatan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vietnam, dengan Ho Chi Minh, seorang tokoh revolusi Vietnam, sebagai perwakilan Asia Tenggara lainnya di Komintern, karena terdapat kesamaan ideologi yang diusung.
Baca Juga: Bandung Hari Ini: Pentas Monolog Tan Malaka Dipaksa Batal
NGALEUT BANDUNG: Tuan Tan Djin Gie, Tanah Harapan, dan Tragedi Keluarganya
Dari Penjara ke Penjara
Setelah banyak kontroversi yang dilalui Tan Malaka karena keteguhannya menentang kolonialisme, ia kemudian berkelana ke berbagai negara untuk menutupi penyamarannya. Hal itu membuat Tan Malaka dikeluarkan dari keanggotaan Komintern, karena keberaniannya melampaui batas-batas ideologi komunisme itu sendiri. Di beberapa negara yang sempat ia singgahi, ia sering dihampiri intelejen dan dijebloskan ke penjara. Namun dengan berbagai dalih kepintarannya, Tan Malaka berkali-kali lolos dari jerat hukuman.
Ia sendiri sempat kembali ke Indonesia pada tahun 1920, dan ditunjuk menjadi ketua Partai Komunis Indonesia (pada saat itu masih Partai Komunis Hindia), sebelum akhirnya dianggap pengkhianat dan dikeluarkan karena ketidaksetujuannya atas insureksi prematur yang direncanakan PKI terhadap pemerintah Belanda. Ia kemudian diasingkan kembali ke Eropa, dan terpaksa mendekam di beberapa penjara. Waktu-waktu di penjara ia habiskan untuk menulis, dan mengabarkan kawan-kawan revolusioner lainnya, menyerukan propaganda anti-kolonial.
Tan Malaka kembali menjelajahi Asia pada tahun 1940, tepat 5 tahun sebelum teks proklamasi dibacakan. Di Filipina, ia dianggap sebagai tokoh berbahaya karena telah berhasil memimpin banyak aksi mogok kerja di berbagai kota. Kerisihannya akan agen-agen intelejen yang selalu membuntuti, membuatnya terpaksa berganti-ganti nama bahkan penampilan, seperti gaya rambut dan pakaian. Mendengar tentang rencana pemberontakan kedua dari PKI, membuat Tan Malaka tertantang untuk kembali ke Indonesia pada tahun 1942.
Perjalanan yang dihadapinya tidak semudah itu. Setelah gerak-geriknya mulai tercium, ia tak henti dibuntuti aparat kolonial. Hal itu mengharuskannya beberapa kali transit berganti kapal, dan menjauh dari kerumunan. Sesampainya di pulau Sumatera, Tan Malaka kemudian disekap dan dijebloskan ke penjara oleh tentara kolonial, ke salah satu penjara militer di Deli, Sumatra Utara. Berhari-hari ia lewati dengan berbagai macam pukulan dan introgasi aparat.
Sekian lama mendekam di sel, matanya kemudian ditutup, dan ia dibawa kembali ke pelabuhan untuk kemudian diasingkan ke lokasi yang ia sendiri tidak mengetahui letak pastinya. Setelah berhari-hari mengarungi lautan, akhirnya ia dipindahkan ke salah satu bangunan yang luasnya sekitar 2,5 x 1,5 meter, sendirian, tanpa lampu dan listrik, tanpa sel jeruji besi. Dan satu-satunya cahaya yang menyeruak adalah dari jendela sempit di dekat langit-langit. Cuaca di tempat itu sangat dingin.
Saban hari, saat Tan Malaka tengah menulis puisi, seisi blok sel berteriak. Bumi seakan mengguncang hebat, dan bangunan-bangunan di sekitarnya sedikit demi sedikit meruntuh. Malam itu, wilayah yang ia tak tahu letaknya di mana, diguncang gempa bumi. Langit-langit kemudian roboh, dan cahaya rembulan dapat dilihatnya dari dalam bangunan kecil itu. Jerit-jerit kepanikan masih mengudara ketika Tan Malaka menghirup udara kebebasan. Kesempatan itu kemudian ia gunakan untuk lari. Dua lantai, sekitar lima belas meter, terlihat tembok berkawat duri, tampak samar pepohonan dan sungai, Tan Malaka melompat menuju kebebasan.
Tan Malaka di Bandung
Kali ke sekian Tan Malaka menjadi buron dengan berlari keluar dari penjara. Dalam pelariannya, ia kemudian menghampiri kerumunan yang berlalu-lalang. Udara sangatlah dingin. Ia tidak mengetahui di mana tepatnya ia berada saat itu.
Sontak ia memandang berkeliling, melihat papan bertuliskan “Toko Buku De Vries” (sekarang gedung Bank OCBC NISP). Ia kemudian kembali memastikan dengan berjalan ke seberangnya, terkaget, melihat pemandangan gedung Societeit Concordia (sekarang Gedung Merdeka). Ia bungkam tak percaya. Udara dingin yang menusuk adalah angin khas Kota Kembang di malam hari. Selama berminggu-minggu, ternyata Tan Malaka disekap di Penjara Banceuy, Bandung.
Langkah awal Tan Malaka di Bandung adalah dengan mengunjungi Haji Abdul Hasan, salah satu tokoh Muslim Revolusioner saat itu di Bandung. Kediamannya tepat di Jalan Cibadak. Maksud kedatangannya menemui Haji Abdul Hasan adalah untuk meneruskan Sekolah Rakyat yang pernah mereka bangun beberapa tahun lalu bersama Sarekat Islam (SI). Sekolah yang tengah berada di ujung tanduk nasibnya tersebut kemudian dimotori kembali oleh Tan Malaka, namun ia tak ikut mengajar, mengingat masih rentannya keadaannya pada saat itu.
Melawan Belanda di Lembang
Seiring berjalannya waktu, Tan Malaka tak bisa berdiam diri lama-lama di Cibadak. Ia kemudian hengkang ke Desa Sunten Jaya, Lembang, untuk bersembunyi dari intelejen kolonial. Di Lembang, Tan Malaka kembali melihat kedzaliman Belanda. Baru beberapa hari menetap, ia langsung disuguhi dengan perebutan sengketa lahan oleh pemerintah Belanda terhadap warga lokal. Warga dipaksa menyerahkan tanah mereka untuk dijadikan pabrik teh oleh pemerintah kolonial.
Dengan bermodalkan tinta dan pena, Tan Malaka menghubungi kerabat-kerabat Pemimpin Redaksi surat kabar yang menyokong ideologi marxis-sosialis, untuk kemudian mengabarkan propaganda kejadian di Lembang. Tak hanya itu, ia juga meminta bantuan Alimin dalam urusan penyokongan dana untuk aksi pemberontakan warga Lembang.
Tan Malaka dan Alimin bertemu dua kali, yaitu, di Batavia (sekarang Jakarta), lalu pertemuan ke dua di Bandung, tepatnya di Grootepostweg (sekarang Jalan Asia Afrika). Pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil, karena Alimin memberikan penawaran untuk Tan Malaka supaya menyetujui pemberontakan besar yang akan dilakukan PKI terhadap otoritas Belanda. Jelas Tan Malaka tidak setuju. Ia berpendapat bahwa pemberontakan besar dengan mempersenjatai buruh tani hanya akan menimbulkan banyak korban berdarah saja.
Tan Malaka kemudian jalan sendiri, mengadvokasi warga lokal desa untuk menolak dengan tegas pemberangusan lahan oleh pemerintahan Belanda. Penolakan tersebut membuahkan konflik besar antara warga dan opas Belanda. Satu warga, salah satu kerabat Tan Malaka, tewas tertembak peluru di badannya. Dia adalah salah satu warga yang konsisten menolak pemberangusan lahan paling depan, bahkan sebelum Tan Malaka datang di desa tersebut. Penyamaran Tan Malaka kemudian terbongkar, dan ia kembali mendekap di penjara, sebelum akhirnya diasingkan ke Boven Digoel, Papua.
Sebelum dibawa ke Papua, Tan Malaka beberapa kali menghubungi Haji Abdul Hasan di kediamannya lewat surat secara diam-diam. Ia menitipkan pesan kepada kerabatnya, Winanta, untuk segera meninggalkan Lembang, mencari tempat aman, dan membantu Haji Abdul Hasan meneruskan Sekolah Rakyat-nya. Sampai hari-hari terakhir Tan Malaka di Bandung, ia berhasil mendirikan lebih dari 5 cabang Sekolah Rakyat di berbagai titik, termasuk cabang besar di Cicalengka, dan Sumedang.
Meski sudah meninggalkan Bandung di rentang waktu tersebut, namun pengaruh Tan Malaka tidak berhenti sampai di situ. Konon, salah satu alasan Sukarno ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Banceuy adalah karena adanya buku Massa Actie di kamarnya.
Bahkan, saking berpengaruhnya Tan Malaka di mata Sukarno, di tahun-tahun awal pascakemerdekaan, Sukarno mengundang Tan Malaka dalam sebuah pertemuan rahasia. Dalam penyamarannya, Tan Malaka berhasil menemui Sukarno. Sukarno kemudian menawarkan testamen politik, yaitu, untuk Tan Malaka bisa menggantikannya kelak ketika kekuasaan Sukarno sudah tidak berdaya lagi. Namun Tan Malaka menolak. Ia lebih memilih menjadi konseptor ketimbang eksekutor.
Tan Malaka kemudian tewas di tangan tentara, atas perintah eksekusi Letda Soekotjo. Tan Malaka ditembak mati di salah satu hutan di Kediri, pada 21 Februari 1949, tepat 4 tahun pascakemerdekaan Indonesia, bangsa yang ia perjuangkan sedari kecil. Ia disingkirkan sejarah karena perbedaan ideologi semata.
Meski jasanya sangat berpengaruh atas kemerdekaan Indonesia, namun nama Tan Malaka jarang disebutkan di mata pelajaran sekolah, terlebih ketika era Orde Baru di masa kepemimpinan Suharto. Jejak revolusionernya yang singkat tidak seharusnya membuat kita lupa akan sejarah, seperti yang kerap dicanangkan oleh Sukarno: Jas Merah!