• Cerita
  • Bandung Hari Ini: Pentas Monolog Tan Malaka Dipaksa Batal

Bandung Hari Ini: Pentas Monolog Tan Malaka Dipaksa Batal

Pada 23 Maret 2016, tepat hari ini lima tahun lalu, pentas monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah di Bandung dipaksa batal oleh gerudukan ormas.

Calon penonton monolog Tan Malaka menatap kecewa pengumuman pembatalan pentas pada 23 Maret 2016. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Tri Joko Her Riadi23 Maret 2021


BandungBergerak.idKericuhan pecah sesudah magrib. Sebagian calon penonton pentas monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah telanjur datang ke Institut Francaise d’Indonesie (IFI), Jalan Purnawarman, Bandung. Mencurigai sesuatu, para anggota organisasi massa (ormas) berteriak-teriak meminta mereka segera membubarkan diri.

“Dengan penuh emosi anggota FPI (Front Pembela Islam) itu merangsek ke tengah kerumunan, membuat penonton panik. Seorang anak kecil berteriak-teriak ketakutan. Sebagian penonton menjelaskan bahwa yang terjadi barusan adalah hanya ngobrol saja. Namun orang FPI tersebut malah membentak bentak dan minta bubar,” demikian tulis jurnalis seni.co.id dalam reportasenya.

Penolakan terhadap pentas monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah oleh Mainteater didasarkan tuduhan keterkaitan sang tokoh besar itu dengan paham komunisme. Mediasi antara massa ormas dan panitia pentas yang berlangsung siang harinya menemui jalan buntu. Dengan berat hati, panitia akhirnya mengumumkan pembatalan pentas seni yang mestinya dirayakan dengan suka cita itu.

Insiden yang mencederai kebebasan berekspresi di Bandung itu terjadi Rabu, 23 Maret 2016, atau tepat hari ini lima tahun lalu.

Ancaman Membakar Gedung

Ahda Imran, penulis naskah monolog Tan Malaka, masih mengingat beberapa detail ketegangan di seputar insiden tersebut. Ia bahkan mengaku masih menyimpan trauma yang muncul setiap kali bersinggungan dengan gerombolan massa berjubah.

Menurut Ahda, panitia pentas mengetahui adanya penolakan sehari sebelum hari-H. Beberapa aparat militer dan kepolisian datang menemui mereka. Ahda dan beberapa koleganya berdiskusi panjang dengan mereka seputar sosialisme dan komunisme.

“(Diskusi) Itu panjangnya bisa 4 SKS (satuan kredit semester) sendiri. Namun pada akhirnya ya tidak ketemu,” katanya.

Pada hari pementasan, sejak tengah hari, beberapa anggota ormas sudah nampak mondar-mandir di sekitar kompleks IFI di Jalan Purnawarman. Lagi-lagi beberapa perwakilan panitia menyediakan diri untuk berdiskusi. Kali ini jauh lebih alot, lebih intens. Inti bahasan masih sama: pentas ini dikait-kaitkan dengan isu kebangkitan PKI (Partai Komunis Indonesia).

“Sebelum sembahyang, mereka sempat melontarkan ancaman akan membakar gedung. Itu kan absurd. Bagaimana bisa? Percuma saja berdiskusi dengan mereka,” ucap Ahda, penyair dan esais kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, lewat percakapan telepon dengan BandungBergerak.id, Selasa (23/3/2021) sore.

Mediasi antara massa gabungan ormas dengan panitia sepanjang sore itu tidak membuahkan sepakat. Massa bersikukuh agar pentas monolog Tan Malaka tetap dibatalkan. Negara tidak hadir ketika itu. Pada akhirnya, panitia mengalah. Lewat akun media sosial, mereka mengumumkan pembatalan pentas monolog petang itu.

Beberapa anggota ormas  penolak monoton Tan Malaka berjaga di kompleks IFI Bandung, Jalan Purnawarman, Bandung. (Foto: Prima Mulia)
Beberapa anggota ormas penolak monoton Tan Malaka berjaga di kompleks IFI Bandung, Jalan Purnawarman, Bandung. (Foto: Prima Mulia)

Dikerjakan Dua Tahun

Ahda Imran membutuhkan waktu tidak kurang dari dua tahun untuk menyelesaikan karya naskah monolog Tan Malaka. Ia membaca sebanyak mungkin literatur, baik yang ditulis oleh sang tokoh maupun riset yang dikerjakan orang lain. Buku-buku sejarawan Harry Poeze sudah pasti tidak ketinggalan. Untuk proses penulisan, ia melakukannya dalam satu bulan saja.

“Dalam monolog ini, saya berkisah tentang pikiran-pikiran Tan Malaka. Bukan sejarah hidup, tapi sejarah pemikirannya. Saya kira, itu yang belum banyak disorot orang. Bukan hanya tentang Tan, tapi juga tokoh-tokoh kita yang lain,” ujar Ahda.

Monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah yang disutradarai Wawan Sofwan mengambil latar Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan. Apa yang terjadi di Lapangan Gambir, Jakarta, pada 19 September 1945 memberikan gambaran terang tentang persilangan jalan antara Tan dengan tokoh-tokoh nasional lain, terutama Sukarno dan Hatta. Rapat raksasa yang ia harapkan menjadi momentum bergulirnya revolusi, justru menjadi sebuah antiklimaks. Berbidato beberapa menit saja di mimbar, Presiden Sukarno meminta rakyat untuk pulang. Sebuah aksi yang membuat Tan kecewa.

Dari Kecaman Masyarakat Sipil ke Jaminan Wali Kota

Pentas monolog Tan Malaka sebenarnya direncanakan digelar selama dua hari berturut-turut, yakni Sabtu (23/3/2021) dan Minggu (24/3/2021), pukul 20.00 WIB di auditorium IFI Bandung. Gerudukan massa ormas menggagalkan pentas pertama.

Pembatalan secara paksa itu menuai kecaman dari berbagai unsur masyarakat sipil. Mereka menumpahkan kecaman terutama terhadap kegagalan negara memberikan perlindungan pada hak warga berekspresi dan berpendapat. Selain riuh di media sosial, terutama Twitter, suara warga juga disalurkan lewat pernyataan-pernyataan resmi beberapa organisasi.

“Mereka (aparat) lebih memilih mendukung kelompok intoleran yang kontra terhadap pertunjukan teater itu. Bandung sudah mendeklarasikan diri sebagai kota HAM (hak asasi manusia). Jangan sekadar jadi slogan,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung Adi Marsiela dalam siaran persnya.

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil akhirnya turun tangan dengan memberikan jaminan keamanan terhadap penyelenggaran pentas di hari kedua. Dengan penjagaan oleh lebih dari 200 personel aparat kepolisian dan militer, dua kali pentas betul-betul terselenggara pada 24 Maret 2016. Auditorium IFI dipadati pengunjung yang memberikan penghormatan berdiri (standing ovation) di penghujung pentas.

Pengumuman pembatalan pentas monolog Tan Malaka ditempelkan di kaca kafe di dalam kompleks IFI Bandung. (Foto: Prima Mulia)
Pengumuman pembatalan pentas monolog Tan Malaka ditempelkan di kaca kafe di dalam kompleks IFI Bandung. (Foto: Prima Mulia)

Seniman Bersatu

Heliana Sinaga, pimpinan produksi monolog Tan Malaka, memilih melihat insiden pembatalan pentas itu dari kaca mata positif. Ia mengaku tersentuh hati dengan dukungan yang mengalir ke Mainteater dari semua pihak, terutama kalangan seniman Bandung.

“Seniman Bandung bersatu mendukung kami. Ada yang datang ke IFI untuk memberikan dukungan, ada yang menyuarakannya lewat media sosial. Kami betul-betul merasa tidak sendirian,” ujarnya ketika dihubungi BandungBergerak.id lewat sambungan telepon, Selasa (23/3/2021) petang.

Menurut Heliana, Bandung sejak dulu menyediakan atmosfer yang baik bagi tumbuh-kembangnya seni. Insiden monolog Tan Malaka tidak boleh mengubah kebaikan itu.

Dari insiden penggerudukan pentas oleh ormas itu, berikut kejadian-kejadian yang mengikutinya, Ahda mengaku mendapatkan satu pelajaran berharga. Ia menyinggung munculnya kritik keras oleh sebagian aktivis dan seniman atas keputusan panitia melanjutkan pementasan dengan jaminan keamanan dari wali kota dan aparat.

“FPI itu ternyata bukan hanya lembaga, tapi terlebih-lebih adalah cara berpikir. Kita semua sewaktu-waktu bisa jadi FPI. Kita menolak mentah-mentah semua keyakinan dan argumen yang berbeda dengan kita hanya karena ia berbeda,” kata Ahda.

Tim Kreatif Monolog Tan Malaka
Dalam pentas monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah, Mainteater menggandeng Selasar Sunaryo Art Space dan IFI Bandung. Di brosur pementasan disebutkan secara lengkap profil seluruh anggota Tim Kreatif-nya.

Penulis Naskah: Ahda Imran
Sutradara: Wawan Sofwan
Aktor: Joind Bayuwinanda
Penata Artistik: Iskandar Loedin
Asisten Penata Artistik: Deden Bulqini
Penata Lampu: Aji Sangiaji
Pemusik: Uge Gunara
Graphic designer: Dita Rosmaritasari
Pimpinan Produksi: Heliana Sinaga
Tim Produksi: Pradetya Novitri, Dita Rosmaritasari

Mengenal Mainteater

Mainteater, terbentuk pada Oktober 1994, merupakan lembaga nirlaba yang dibentuk oleh beberapa teaterawan dari Indonesia dan Australia. Tertera dalam situs webnya, belasan pentas dan pencapaian yang telah dibuat lewat penjelajahan beragam kemungkinan pementasan. Yang segera terlihat menonjol adalah banyaknya proyek lintasbudaya (cross culture). Pada 2017, misalnya, setahun setelah insiden penggerebekan pentas monolog di Bandung, Mainteater menggelar pentas kolaboratif The Light with Within a Night di Bandung, Bali, dan Melbourne, Australia.

Tatang Abdulah dalam buku 200 Tahun Seni di Bandung (2011) menyebut Wawan Sofwan sebagai sosok sentral di balik kelahiran dan karya-karya Mainteater. Berkat reputasi dan jejaring Wawan pula, Mainteater bisa sering melakukan lawatan pementasan ke mancanegara.

“Aktivitas kelompok teater ini sepenuhnya ada di tangan Wawan Sofwan sebagai sutradara,” tulis Tatang.

Pada dasawarsa 2000-an, ketika iklim pementasan teater di Bandung sedikit surut, Mainteater mampu menggelar tiga pentas di berbagai kota di Indonesia. Pentas Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh, karya adaptasi dari novel Pramoedya Ananta Toer, bahkan bisa dipertontonkan di Belanda setelah sebelumnya menyapa publik di Bandung dan Jakarta. Kejelian mengadaptasi naskah cerita pendek dan novel, menurut Tatang, merupakan salah satu kunci keberhasilan Mainteater di periode tersebut.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//