NGALEUT BANDUNG: Tuan Tan Djin Gie, Tanah Harapan, dan Tragedi Keluarganya
Di Bandung, Tan Djin Gie sukses berniaga batik, lalu berkembang ke bidang perdagangan dan perkebunan. Tragedi keluarganya jadi rahasia umum yang banyak dikisahkan.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
24 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Nagara Kanaan adalah nama salah satu perkebunan teh di daerah Ciwidey, Bandung Selatan. Menurut beberapa pendapat, Kanaan adalah salah satu kata yang sering muncul dalam kitab suci dan memiliki arti harapan. Mungkin itulah mengapa Tan Djie Gie, seorang taipan Tionghoa di Bandung tempo dulu, memilih Kanaan sebagai nama perkebunannya. Ia nampaknya telah membangun dan menemukan tanah harapannya di Bandung.
Riwayat Keluarga Tan Djin Gie
Pada nisan kuburnya, Tan Djin Gie ditulis lahir di Amoy pada tahun 1871. Amoy adalah nama lama dari kota Xiamen yang terletak di Provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Sedangkan menurut dokumen pribadi milik keluarga berupa memoar cucu Tan Djin Gie yang bernama William Tjia, berjudul "Crumbled Memories and Scattered Kisses" (1988) yang ditulis oleh John Mclean dan kemudian dikutip Bambang Tjahtjadi (Tan Siong Bouw), Tan Djin Gie disebutkan lahir pada tahun 1870 di sebuah desa kecil bernama Hayteng di Provinsi Fujian.
Mengutip infromasi dari buku Orang-Orang Tionghoa Jang Terkemoeka Di Java (Who’s Who) (1935), saat berusia 14 tahun Tan Djin Gie merantau ke Hindia Belanda bersama ayahnya dan menetap pertama kali di Semarang. Tan kemudian pindah ke daerah Ampel di dekat Ambarawa pada tahun 1884 atau 1885.
Abad ke-19, menurut sebuah riset yang berjudul "Chinese Overseas" (Migration, Rearch and Documentation) yang diterbitkan oleh The Chinesse University Press, adalah abad terjadinya gelombang ketiga migrasi penduduk Tiongkok ke Asia Selatan. Penyebabnya, di Tiongkok kerap terjadi berbagai perang. Di antarannya adalah Pemberontakan Taiping serta Perang Candu Pertama dan Kedua yang menyebabkan kesulitan hidup, khususnya bagi para petani di daerah Fujian dan Guangdong. Mungkin untuk mencari harapan baru, Tan Djie Gie muda pergi dari desanya di Fujian, Tiongkok Selatan. Tujuannya adalah Hindia Belanda, koloni Belanda yang seperti juga koloni-koloni lain di Asia Selatan, sedang gencar melakukan eksploitasi daerahnya sehingga memerlukan banyak tenaga kerja.
Pada usia 21 tahun, Tan Djin Gie menikah dengan putri tertua Gan Song Liang yang bernama Gan Sim Nio. Berdasarkan informasi dari nisan kuburnya, Gan Sim Nio dilahirkan di Kudus pada tahun 1871. Gan Sim Nio adalah generasi kedua yang tinggal di Hindia Belanda.
Gan Song Liang merupakan putera dari Gan Song Yang, seorang pendatang dari Tiongkok yang tinggal di Surakarta dan kemudian bersahabat dengan Susuhunan Surakarta, berkat kepandaiannya membuat kendang. Susuhan bahkan kemudian memberikan salah satu selirnya pada Gan Song Yang setelah mengetahui istri sahabatnya itu tidak bisa mempunyai anak. Gan Song Yang, yang tak mampu menolak pemberian si pengusa, di kemudian hari akhirnya dikaruniai keturunan.
Pasangan Tan Djin Gie dan Gan Sim Nio dikarunia dua orang putri. Anak sulungnya, Tan Liap Kiat Nio (Henriette) lahir di Ampel pada tahun 1893, sedangkan adiknya, Tan Giok Nio (Hermine), menurut Tineke Hellwig dalam bukunya “Women and Malay Voices” (2012), lahir di Salatiga pada tanggal 28 September 1898.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: “Di-Yasin-kanâ€
NGALEUT BANDUNG: Preanger Planters Kumpulan Orang Gagal
NGALEUT BANDUNG: Menelusuri Pangaritan di Bandung Timur
Merantau ke Bandung
Berdasarkan potongan berita di majalah perdagangan Semarang “De Locomotief”, pada tahun 1901 rumah Tan Djin Gie di Boyolali didatangi kawanan kecu yang kemudian dihadang oleh Tan Djin Gie dengan melepaskan tembakan dari senapannya. Tak diketahui apa yang dikerjakan oleh Tan Djin Gie saat itu, tapi berdasarkan potongan berita tadi bisa disimpulkan jika kehidupan Tan Djien Gie sudah cukup mapan. Hal ini dibuktikan dengan rumahnya menjadi sasaran gerombolan perampok.
Pada tahun 1902 Tan Djin Gie pindah ke Bandung. Mengutip berita koran “Preanger Bode”, dituliskan bahwa Tan Djin Gie mengambil alih sebuah toko milik Jo Eng Huy (Hap Bie). Menurut informasi dari buku Orang-Orang Tionghoa Jang Terkemoeka Di Java (Who’s Who) (1935), Tan Djin Gie awalnya membuka toko kelontong (provisien en dranken), lalu membuka toko batik sampai akhirnya menjadi pengusaha yang terbesar di Priangan.
Bagaimana awal perjalanan Tan Djin Gie membangun kerajaan bisnisnya di Bandung diceritakan dalam roman Rasia Bandoeng atawa Satoe Pertjintaan jang Melanggar Peradatan Bangsa Tionghoa; Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir Pada Tahon 1917. Dalam novel tentang percintaan semarga bangsa Tionghoa ini, Tan Djie Gie disamarkan menjadi tokoh Tan Djia Goan, yang membangun usahanya dengan membeli toko P&D (Provisien en Dranken) milik Jo Eng Hoeij di Pasar Baru. Mengambil sedikit ruangan toko, istrinya kemudian berjualan batik. Tak disangka usaha sampingan ini kemudian meraih keuntungan yang besar sehingga kemudian menjadi usaha utama.
Memang pada sekitar tahun 1920-1930-an, Tan Djin Gie telah membangun reputasi sebagai pedagang batik yang terpandang di Bandung. Nama Tan Djin Gie tercatat dalam buku peringatan 30 tahun perkumpulan “Himpunan Sudara” (Gedenkboek vereeniging Himpoenan Soedara 1906-1936) sebagai salah satu pengusaha Tionghoa yang paling awal terjun dalam perniagaan batik pada tahun 1914 dan menjadi pesaing pedagang batik pribumi yang sebelumnya menguasai perdagangan batik di Bandung.
Pada kolom koran De Sumatra Post pada tahun 1919 telah menulis bahwa Tan Djin Gie merupakan pedagang batik besar di Bandung yang memiliki nilai transaksi batik dalam jumlah yang besar dengan perajin batik di Surakarta. Latar belakang Tan Djin Gie yang sebelum pindah ke Bandung telah lama menetap di derah di sekitar Surakarta sepertinya menjadi nilai tambah baginya. Hal itu masih ditambah dengan latar belakang keluarga besar istrinya yang merupakan Tionghoa peranakan yang telah tinggal di daerah Surakarta dalam beberapa generasi. Dia tentu sedikit banyak mengetahui seluk-beluk perajin dan perdagangan batik.
Selain masalah latar belakang, kemajuan zaman telah banyak berperan dalam keterlibatan bangsa lain dalam perdagangan batik yang sebelumnya didominasi oleh pedagang batik pribumi seperti yang tergabung dalam Himpunan Sudara. Kemudahan pembayaran melalui bank dan transportasi barang-barang batik yang lebih cepat dengan menggunakan kereta api telah membuat perdagangan batik tak hanya didominasi oleh pedangan batik pribumi yang biasanya berbelanja batik melalui perjalanan darat dalam rombongan kafilah dari Bandung ke daerah-daerah penghasil batik seperti Pekalongan, Surakarta, Lasem, dan lain-lain.
Dari usaha perniagaan batik, Tan Djin Gie kemudian merambah ke berbagai bidang usaha melalui perusahaan dagang (Handel Maatschappij) Tan Djie Gie yang berdasarkan buku telepon Bandung beralamat di Soeniaradjaweg (Jalan Suniaraja) No. 38. Tan Djin Gie kemudian memiliki beberapa perkebunan, di antaranya adalah perkebunan teh dan kina Djajawati, Tjinanggerang, Nagara Kanaan, dan perkebunan karet dan kapuk Sampora. Untuk menunjang usaha perkebunannya Tan Djin Gie kemudian mendirikan Bandoengsche Thee Fabriek (pabrik teh) dan Cultuur Maatschappij Tampomas, sebuah perusahaan pengemasan kayu yang beralamat di daerah Ciroyom.
Dari berbagai usahanya, Tan Djin Gie meraih status sebagai salah satu hartawan di Bandung. Ia mampu membangun rumah mewah bergaya campuran arsitektur Eropa dan Tionghoa dengan bangunan paseban utama berbentuk segi delapan yang terletak tak jauh dari perempatan Jalan Kebonjati dan Gardujati. Bahkan kemudian Tan Djin Gie mampu membangun rumah keduanya, berupa sebuah bangunan bertingkat yang juga terletak di Jalan Kebonjati. Sebagai salah satu pengusaha Tionghoa sukses di Bandung, Tan Djin Gie kemudian ikut mendirikan organisasi kamar dagang Tionghoa yaitu Siang Hwee dan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) cabang Bandung.
Tragedi Keluarga Tan Djin Gie
Ketika sepertinya Tan Djin Gie telah meraih semua kemewahan dunia, tragedi datang dalam hidupnya melalui anaknya. Sebagai orang kaya, Tan Djin Gie mampu memberikan pendidikan terbaik bagi kedua anaknya, dengan memasukan mereka ke sekolah bagi orang Eropa sehingga keduanya juga memiliki nama Eropa, yaitu Henriette Tan dan Hermine Tan. Sebagai seorang Kristen yang taat, Tan Djin Gie mempercayakan pendidikan putrinya ke tangan pendeta yang dipercayanya.
Pola didik Tan Djin Gie yang keras berhasil mengantarkan putri tertuanya, Hermine Tan menikah dangan Tjia Siok Liang, putra seorang pengusaha dari Surakarta. Pernikahan keduanya dilangsungkan secara meriah pada 3 Desember 1912, dan beritanya dimuat di berbagai surat kabar.
Masalah kemudian datang ketika putri bungsu Tan Djin Gie, Hermine Tan jatuh cinta kepada Tan Tjeng Hoe. Hubungan keduanya ditentang oleh Tan Djia Goan, karena baginya perkawinan sesama marga itu terlarang karena dianggap masih memiliki pertalian darah.
Meski dalam beberapa hal, seperti pendidikan pikiran, Tan Djin Gie telah cukup maju dengan memberikan pendidikan modern bagi kedua anaknya, namun dalam hal adat istiadat Tionghoa, ia masih memegangnya erat.
Perselisihan Tan Djin Gie dengan Hermine Tan semakin meruncing hingga puncaknya putrinya tersebut lebih memilih untuk kawin lari dengan pria pilihannya. Kecewa dengan pilihan putrinya, Tan Djin Gie kemudian mencoret nama Hermine Tan (Tan Giok Nio) dari daftar anggota keluarganya dengan disahkan di hadapan advokat. Konsekunsi keputusan ini adalah dicoretnya Hermine Tan dari daftar pewaris Tan Djin Gie.
Cobaan bagi Tan Djin Gie tak berhenti hingga di sini. Kejadian yang menjadi rahasia umum di Bandung ini kemudian diungkit oleh berbagai pihak bahkan kemudian dituliskan dalam beberapa buku, di antaranya adalah Rasia Bandoeng atawa satoe pertjintaan jang melanggar peradatan “bangsa tiong hoa.” Satoe tjerita jang benar terdjadi di kota Bandoeng dan berachir pada tahon 1917 yang ditulis oleh Chabanneau, Tjerita Nona Tan Seng Nio alias Hermine T…, atawa tjara bagimana orang toewa haroes didik sama anaknja. Satoe tjerita jang betoel soedah kedjadian die Bandoeng, dalem tahoen 1912 dan berachier tahoen 1917 yang ditulis oleh K. Kh. Liong, dan Tjermin’s Rasianja satoe gadis hartawan.
Beberapa buku yang menceritakan perselisihan di dalam keluarga Tan Djin Gie diterbitkan tak lama setelah terjadinya kasus ini. Untuk menghindari tuntutan dari pihak Tan Djin Gie yang sebagai orang kaya dan terpandang di Bandung memiliki banyak koneksi, para penulis akan menyamarkan nama-nama tokohnya. Namun bagi masyarakat Bandung saat itu, kejadian yang menimpa Tan Djin Gie telah menjadi rahasia umum sehingga meski nama tokoh dalam bukunya disamarkan orang akan dengan mudah menebak siapa sesungguhnya tokoh tersebut. Sebagai contoh tokoh dalam roman Rasia Bandoeng (1918), Tan Djia Goa sangat identik dengan sosok Tan Djin Gie, sedangkan tokoh putrinya yang dalam novel ditulis sebagai Hilda Tan (Tan Gong Nio) sangat mirip dengan sosok Hermine Tan (Tan Giok Nio). Bahkan jika dicermati insial antara tokoh pada novel dengan tokoh nyatanya memang sengaja dipersamakan.
Perselisihan paham antara Tan Djin Gie dengan Hermine Tan telah mencoreng nama besar dan keberhasilan Tan Djin Gie sebagai salah satu taipan Tionghoa di Bandung. Mungkin aib yang telah menjadi rahasia umum di Bandung ini menjadi salah satu hal yang dibawa Tan Djin Gie ke alam baka. Tan Djin Gie wafat di Bandung pada tahun 1942 dan dimakamkan di salah satu permakaman umum di Bandung.
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG, yang terbit tiap Selasa, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut