NGALEUT BANDUNG: Preanger Planters Kumpulan Orang Gagal
Kisah tentang Preanger Planters di Priangan bukan melulu kisah tentang keberhasilan. Di balik itu, ada juga juga cerita tentang kegagalan-kegagalan.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
10 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Preanger planters adalah julukan bagi para pemilik perkebunan di Priangan yang dikenal sebagai orang kaya raya dengan harta yang berlimpah. Definisi “sultan” di masa kini. Namun tak perlu silau dengan semua harta mereka karena sesungguhnya ada pelajaran yang dapat dipetik dari perjuangan hidup mereka. Tidak sedikit dari taipan perkebunan ini mampu membalikkan nasibnya dari orang gagal menjadi orang berada.
Klan tuan perkebunan yang ternama di Priangan di antaranya adalah keluarga Holle, van der Hucht, Kerkhoven, dan Bosscha. Perjuangan mereka mencapai puncak sukses bukan hal yang mudah. Keluarga-keluarga yang kisahnya saling bertautan ini mampu mengubah kegagalan hidup menjadi keberhasilan. Berikut ini beberapa kisahnya.
Berawal Dari Kebangkrutan
Kisah kedatangan klan pemilik perkebunan di Priangan berawal dari kegagalan usaha pabrik gula milik Pieter Holle. Sekitar tahun 1840-an usaha perkebunan gula miliknya di Koblenz, Jerman, harus tutup karena bangkrut. Adik iparnya yang bernama Williem van der Hucht kemudian mengajaknya mencoba peruntungan di Hindia Belanda. Berdasarkan pengalamannya sebagai kapten kapal armada dagang, van der Hucht yang kerap singgah di Hindia Belanda mengetahui kemungkinan peluang untuk berusaha di koloni ini, khususnya di bidang perkebunan.
Pada tahun 1843 pergilah kelurga Pieter Holle dan Willem van der Hucht ke Hindia Belanda dengan harapan yang besar untuk memiliki usaha di bidang perkebunan. Setelah berlayar selama enam bulan dengan menggunakan kapal layar bernama “Sara Johanna” milik Willem van der Hucht, tibalah mereka di Batavia.
Memanfaatkan banyaknya perkebunan teh dan kopi milik pemerintah kolonial yang terbengkalai karena salah urus, kedua ipar ini berhasil menjadi pengelola atau administratur perkebunan. Pieter Holle menjadi pengelola perkebunan Bolang yang terletak di Bogor Selatan, sedangkan Willem van der Hucht mengelola perkebunan Cikopo dan Parakan Salak.
Ketika kehidupan sepertinya telah mulai berjalan menyenangkan bagi kluarga Holle dan van der Hucht, cobaan datang menghampiri. Secara beruntun pada tahun 1846 Pieter Holle meninggal dunia, disusul oleh istri dan dua orang puteri Willem van der Hucht. Penyebabnya, penyakit dan iklim tropis. Yang tersisa tinggalah Alexandrine van der Hutch, istri Pieter Holle, dengan tujuh orang anak mereka dan Willem van der Hucht, sang adik, dengan seorang puterinya.
Dari kegetiran ini, Willem van der Hucht bangkit kembali. Memanfaatkan Undang-undang Agraria Tahun 1870, ia bisa memiliki perkebunan Parakan Salak dan Sinagar di Sukabumi. Melalui kedua perkebunan inilah usaha klan keluarga van der Hucht berkembang dan mengalami kemajuan.
Holle dan van der Hucht menjadi perintis bagi keluarga-keluarga yang datang kemudian, dan semuanya berawal dari sebuah kegagalan usaha.
Kerkhoven Kehilangan Warisan Keluarga
Keberhasilan Keluarga van der Hucht dan Holle menjadi pengusaha perkebunan di Hindia Belanda memberikan inspirasi kepada anggota keluarga lainnya yang berada di Belanda. Mengutip dari buku kisah keluarga Kerkhoven yang ditulis oleh Emilius Hubertus Kerkhoven dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh puteranya, Johannes Eduard Kerkhoven, berjudul “ Kerkhoven: A History of Our Family” (2001), pada tahun 1844, Jan van der Hucht mengeluarkan sebuah pamflet yang isinya mengajak untuk mempertimbangkan pindah ke koloni di Jawa.
Salah satu kakak perempuan Willem van der Hucht yang bernama Anna Jacoba menikah dengan Johannes Kerkhoven, seorang pengusaha pemilik firma Kerkhoven & Co. Keluarga Johannes Kerkhoven dikenal dengan sebutan The Hundrians, mengacu pada nama lahan dan rumah keluarga yang diberi nama Hunderen di dekat kota Twello.
Meski Johannes Kerkhoven dikenal sebagai pengusaha, ketika ia meninggal dunia pada tahun 1859 harta warisannya harus dibagi untuk 14 anak. Masing-masing orang hanya memperoleh sedikit harta peninggalan. Itulah mengapa beberapa orang anak keluarga The Hunderians kemudian lebih memilih untuk mengadu peruntungan ke Hindia Belanda. Salah satunya, si bungsu Eduard Julius Kerkhoven.
Sejak belia, E. J. Kerkhoven tak memiliki bakat serta kemampuan di bidang akademis. Ia kemudian memilih untuk berhenti dari kuliah saat menempuh pendidikan hukum di Universitas Leiden. Merasa tak ada hal lain yang bisa ditawarkan untuk tetap berada di Belanda, E. J. Kerkhoven kemudian menyusul jejak pamannya Willem van der Hucht untuk berusaha di bidang perkebunan di Hinda Belanda.
E. J. Kerkhoven tiba di Hindia Belanda pada tahun 1861. Awalnya ia menjadi asisten pribadi Adriaan Holle, sepupunya yang mengelola perkebunan Parakan Salak. E. J. Kerkhoven kemudian diserahi tugas oleh Willem van der Hucht untuk mengelola perkebunan Sinagar-Cirohani. Peruntungan E.J. Kerkhoven sebagai Preanger Planters mulai tampak. Di tangannya perkebunan Sinagar menjadi terkenal, bahkan menarik banyak tamu kehormatan untuk datang berkunjung. Salah satunya adalah putera mahkota Kerajaan Rusia, Alexander.
Namun, kiranya peran terpenting E. J. Kerkhoven adalah menjadikan perkebunan Sinagar sebagai tempat magang untuk mendidik kerabatnya yang datang ke Hindia Belanda dan memilih untuk menjadi Preanger Planters. Salah satu hasil didikan dan gemblengan Eduard Julius Kerkhoven adalah Karel Albert Rudolf Bosscha.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Menelusuri Pangaritan di Bandung Timur
NGALEUT BANDUNG: Oerip Soemohardjo di Bandung dan Cimahi
NGALEUT BANDUNG: Riwayat Ringkas Akademi Militer Kerajaan di Bandung
Bosscha tak Lulus Kuliah
Jika E. J. Kerkhoven tidak memiliki ketertarikan pada pelajaran akademis, berbeda halnya dengan keponakannya, Karel Albert Rudolf Bosscha. Kakak perempuan E. J. Kerkhoven, Pauline Emilia Kerkhoven, menikah dengan Johannes Bosscha, seorang profesor fisika di politeknik Delf, Belanda. Latar belakang keluarga terdidik semacam ini membuat Bosscha memiliki ketertarikan pada dunia ilmu dan pengetahuan.
Bosscha memiliki kekurangan fisik. Sebelah kakinya pincang karena cedera pada bagian pahannya ketika belia. Tak cuma kekurangan fisik, Bosscha juga bahkan tak lulus dari kuliahnya. Ia lebih memilih keluar dari kampus dan tak menyelesaikan tugas akhirnya karena berselisih paham dengan pembimbingnya. Ironis, putera seorang profesor memilih droup out dari bangku kuliah!
Bosscha kemudian memilih untuk pergi ke Hindia Belanda pada tahun 1887. Tujuannya adalah menjadi pengusaha perkebunan di Priangan atau Preanger Palanters. Untuk membekali diri tentang usaha perkebunan, Bosscha kemudian bekerja magang di perkebunan Sinagar yang dikelola pamannya, Eduard Julius Kerkhoven.
Bosscha sempat mencoba peruntungan dengan mengikuti kakaknya, Jan Bosscha, yang membuka tambang emas di Sambas, Kalimanta Barat pada tahun 1889. Di pulau Borneo, Bosscha juga mencoba untuk membuka perkebunan teh di daerah Sanggau Ledo. Kedua usaha ini ternyata gagal. Bosscha pun kembali ke perkebunan Sinagar di Sukabumi.
Peruntungan Bosscha berangsur membaik setelah dipilih oleh sepupunya, Rudolf Eduard Kerkhoven, pemilik perkebunan Gambung di selatan Bandung, untuk menempati posisi administratur di Perkebunan Malabar pada tahun 1896. Berhasil mengelola Perkebunan Malabar, Bosscha kemudian merintis dan memiliki banyak usaha. Ia kemudian dikenal sebagi “Raja Perekebunan Teh di Priangan” (De Koning der Thee).
Bosscha menyisihkan hartanya untuk ikut andil dalam berbagai usaha yang mendatangkan manfaat bagi masyarakat banyak. Di antaranya, pembangunan Lembaga Tuli Bisu (Doofstommen Instituut) dan Lembaga Rumah Buta (Blinden Instituut). Bosscha juga pernah menjadi Presiden Dewan Penyantun bagi Technische Hoogeschool (THS) Bandung. Sebuah pembuktian bahwa Bosscha, yang gagal memiliki gelar dari kampusnya, ikut berperan mendirikan sekolah tinggi teknik pertama di Hindia Belanda.
Kisah tentang Preanger Planters bukan melulu kisah tentang keberhasilan mereka yang memiliki status tinggi di masyarakat. Di balik itu, ada juga juga kisah tentang kegagalan-kegagalan yang pernah mereka alami.
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG, yang terbit tiap Selasa, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut