NGALEUT BANDUNG: Riwayat Ringkas Akademi Militer Kerajaan di Bandung
Menjelang Perang Dunia ke-2, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Akademi Militer Kerajaan di Bandung. Semakin banyak pemuda pribumi diterima sebagai taruna.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
20 Juli 2021
BandungBergerak.id - Ketika seluruh Negeri Belanda secara resmi jatuh ke tangan Nazi Jerman pada tanggal 17 Mei 1940, pemerintah kolonial di Hindia Belanda mulai lebih serius melakukan persiapan untuk menghadapi invasi. Seluruh penduduk koloni saat itu, termasuk golongan pribumi, dilibatkan untuk bersiap menghadapi serangan.
Seruan ini sudah disampaikan oleh Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, melalui pidato siaran radio ketika tentara Jerman mulai menyerang Belanda pada tanggal 10 Mei 1940. Di akhir pidatonya, Tjarda van Starkenburg Stachouwer menyeru kepada semua elemen penduduk Hindia Belanda untuk bersatu dan setia berdiri di belakang pemerintah.
Kenapa di Bandung?
Untuk memperkuat pertahanan Hindia Belanda, dibutuhkan tambahan tenaga perwira militer. Koninklijk Militaire Academie (Akademi Militer Kerajaan) di Breda tidak lagi bisa diandalkan setelah Belanda dikuasai Nazi Jerman. Maka, didirikanlah Akademi Militer Kerajaan (KMA) di Bandung pada Oktober 1940.
Saat itu Bandung merupakan salah satu pusat kekuatan militer di Hindia Belanda. Sejak rencana menjadikan Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda menggantikan Batavia bergulir pada tahun 1918, beberapa intansi militer seperti Departemen Peperangan (Departement Van Oorlog/DVO) dan istana kediaman panglima tertinggi tentara Hindia Belanda (Paleis van de Legercommandant) telah dipindahkan. Juga di Kota Kembang ini telah berdiri kamp militer Bataliyon Infanteri ke-15.
Sebagai pendukung pusat kekuatan militer di Bandung, beberapa industri penunjang dibangun. Salah satunya adalah pabrik mesiu dan artileri (Artillerie Constructie Winkel/ACW).
Keberadaan kota militer di Cimahi yang sudah mulai dikembangkan sejak tahun 1896 juga turut memperkuat posisi Bandung sebagai salah satu pusat kekuatan militer Hindia Belanda saat itu. Maka tak mengherankan jika Bandung kemudian dipilih sebagai lokasi pendirian Akademi Militer Kerajaan.
Pada awalnya KMA Bandung menempati kompleks sekolah yang terletak di Menadostraat (Jalan Menado) dan berada di seberang Depot Bataliyon. Kompleks Akademi Militer Kerajaan yang baru berlokasi di Houtmanstraat (Jalan W. R. Supratman) mulai dibangun pada akhir tahun 1940 dan secara resmi mulai digunakan pada tanggal 2 Oktober 1941. Saat itu kompleks Akademi Militer Kerajaan Bandung menempati bangunan modern yang tediri dari bangunan asrama dan ruang-ruang kelas yang dipisahkan dengan lapangan tempat praktik digelar.
Angkatan pertama Akademi Milter Kerajaan di Bandung hanya terdiri dari 30 orang taruna yang merupakan lulusan dari Korps Pendidikan Perwira-Perwira Cadangan (Corps Opleiding Reserve-Officieren/CORO).
Kini bekas kompleks Akademi Militer Kerajaan di Bandung telah menjadi Pusat Kesenjataan Infanteri atau Pussenif Kodiklat Angkatan Darat.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Pak Kuswandi Telah Pergi
NGALEUT BANDUNG: Riwayat Hantu Perkotaan di Bandung
NGALEUT BANDUNG: Bung Hatta di Bandung
Proses Seleksi dan Sistem Pendidikan
Suasana genting yang mendesak saat itu membuat pemerintah kolonial membuka kesempatan bagi penduduk pribumi untuk terlibat dalam bidang pertahanan Hindia Belanda. Maka diberikanlah secara luas kesempatan bagi penduduk pribumi untuk tak hanya menjadi prajurit milisi tapi juga untuk menjadi perwira tentara melalui jalur Akademi Militer Kerajaan.
Melalui kesaksian kadet taruna lulusan KMA Bandung bisa diketahui berbagai informasi mengenai perekrutan, sistem pendidikan, dan beberapa hal detail lainnya mengenai Akademi Militer Kerajaan Bandung. Salah satu tulisan mengenai KMA Bandung yang cukup lengkap dapat dibaca pada buku Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (1991) karya T. B. Simatupang. Selain itu masih ada beberapa kisah mengenai KMA Bandung yang dapat diperoleh di buku otobiografi A. H. Nasution Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1 (1984) dan biografi A. E. Kawilarang Untuk Sang Merah Putih (1988) yang ditulis oleh Ramadhn KH. T. B. Simatupang, A. H. Nasution dan A. E. Kawilarang termasuk kelompok pribumi gelombang pertama yang masuk KMA Bandung.
Menurut T. B. Simatupang, pengumuman dibukanya penerimaan Akademi Militer Kerajaan disebarluaskan melalui surat kabar. Persyaratan untuk dapat diterima mengikuti seleksi masuk Akademi Militer Kerajaan di Bandung, baik bagi pribumi maupun orang Belanda, adalah lulusan sekolah lanjutan atas yaitu HBS (Hoogere Burger School) dan AMS (Algemene Middlebare School). Selain itu diberikan pula kesempatan bagi orang Belanda yang berada di luar negeri setelah Negeri Belanda dikuasai Jerman, seperti di Afrika Selatan, untuk mengikuti saringan masuk Akademi Militer Kerajaan di Bandung.
Proses seleksi dibagi menjadi tiga tahapan yang memakan waktu selama sembilan bulan. Selama seleksi berlangsung, seluruh peserta ditempatkan di Depot Bataliyon.
Tahap seleksi awal berlangsung selama 2-3 bulan. Peserta yang lolos berhak menyandang pangkat brigadir.
Seleksi tahap kedua dilangsungkan setelah 2-3 bulan. Lulusannya berhak mengenakan tanda pangkat sersan yang berupa Keriting Hongaria (Hongaarse Krul) dan diterima mengikuti pendidikan bagi perwira cadangan (Corps Opleiding Reserve Officieren/CORO). Mereka yang kemudian lolos dalam tahap akhir inilah yang kemudian berhak diterima di Akademi Militer Kerajaan dengan pangkat sersan taruna.
Sistem pendidikan Akademi Militer Kerajaan di Bandung berusaha mengadopsi sistem pendidikan yang diterapkan pada Koninklijk Militaire Academie (Akademi Militer Kerajaan) Breda di Belanda. Tentu saja tak seluruhnya dapat diterapkan, mengingat suasana yang cukup genting dan tuntutan untuk dapat menghasilkan lulusan perwira yang siap terjun dalam kancah pertempuran dalam waktu yang singkat.
Kurikulum pendidikan yang digunakan sepenuhnya menggunakan materi yang diberikan di KMA Breda berupa buku-buku teks yang dicetak ulang di Hindia Belanda. Yang membedakan hanyalah waktu antara pemberian teori dan praktik di lapangan. Jika di Akademi Militer Breda teori diberikan pada tahun pertama dan kedua serta praktik dijalankan pada tahun ketiga, di Akademi Militer Kerajaan Bandung teori yang ditambah dengan praktik lapangan telah diberikan pada tahun pertama saat taruna menempuh pendidikan perwira cadangan (CORO).
Jiwa korps (corps geest) berusaha dibangun di antara sesama kadet taruna di Akademi Militer Bandung dengan menerapkan tradisi yang sudah berlangsung sebelumnya di KMA Breda. Di antaranya dengan sebutan Jonkher (Tuan) bagi sersan taruna dan “Lagu Taruna” (Het Cadettenlied).
Untuk memacu prestasi taruna, diciptakan juga suasana persaingan di antara sesama kadet. Mereka yang berprestasi diberikan tanda berupa mahkota (kroon) yang disematkan di lengan kiri. Ada dua jenis tanda mahkota, yaitu mahkota emas dan perak. Kadet taruna yang mengenakan tanda mahkota disebut sebagai krooncadet (kadet mahkota).
Kadet pribumi yang berhasil meraih tanda mahkota perak adalah T. B. Simatupang. A. E. Kawilarang dalam buku biografinya berpendapat jika saja Simatupang adalah orang Belanda pasti ia akan memperoleh tanda mahkota emas.
Antara Breda dan Bandung
Sebelum Perang Dunia II meletus, hanya sedikit golongan pribumi yang diterima menjadi taruna Akademi Militer Kerajaan di Breda. Biasanya, dalam setahun hanya akan diterima dua atau tiga orang kadet taruna pribumi. Seleksi masuk yang ketat dengan persyaratan yang fokus pada kesetiaan kepada Kerajaan Belanda menjadi sebabnya.
Golongan pribumi yang lolos seleksi dan berhasil diterima di Akademi Militer Kerajaan di Breda biasanya berasal dari Ambon, Manado, dan Jawa. Salah seorang pribumi yang berhasil diterima di KMA Breda adalah Didi Kartsasmita yang dalam perang kemerdekaan menjabat sebagai Komandan Komandemen Jawa Barat dengan pangkat Mayor Jenderal.
Dibukanya Akademi Militer Kerajaan di Bandung membuat jumlah orang pribumi yang diterima sebagai kadet taruna semakin banyak. Namun tetap saja proporsinya jauh lebih kecil dibandingkan golongan Eropa. Dari sekitar 200 orang taruna di Akademi Militer Kerajaan Bandung, hanya belasan saja yang merupakan putra pribumi. Dalam buku A. E. Kawilarang Untuk Sang Merah Putih, disebutkan jumlah kadet taruna pribumi pada tahun 1941 sebanyak 17 orang yang berasal dari dua angkatan.
Sejarah kemudian mencatat, di era kemerdekaan, hampir semua lulusan Akademi Militer Kerajaan di Bandung turut serta mengangkat senjata melawan Belanda. Bekal pendidikan militer yang mereka peroleh dibuktikan di lapangan. A. H. Nasution dan T. B. Simatupang bahkan mencapai puncak karier militer di angkatan bersenjata Indonesia, melampaui pangkat yang didapat para perwira lulusan Akademi Militer Kerajaan di Breda.
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG, yang terbit tiap Selasa, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut