NGALEUT BANDUNG: Bung Hatta di Bandung
Bung Hatta meninggalkan banyak jejak di Kota Bandung, mulai dari pertemuan pertama dengan Sukarno, aktivitas politik di PNI, dan perjumpaan dengan sang istri.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
29 Juni 2021
BandungBergerak.id - Tak cuma Bung Karno yang memiliki rekam jejak dan berpijak dari Bandung. Banyak yang tidak menginsafi jika Bung Hatta pun pernah punya keterkaitan dengan Bandung. Seperti Sukarno, tokoh besar kelahiran Bukittinggi ini juga melakukan kegiatan politik dan menemukan cinta sejatinya di Kota Kembang.
Mohammad Hatta mungkin memang lebih beruntung dalam masalah pendidikan jika dibandingkan dengan ‘sekondannya’, Sukarno. Hatta bisa pergi ke negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan tingginya, sedangkan Sukarno karena faktor ekonomi dan tak beroleh izin dari Ibundanya harus cukup puas masuk ke Technische Hoogeschool, pendidikan teknik tinggi di Bandung sejak tahun 1921.
Dari tempat yang berjauhan, keduanya membangun reputasi sebagai aktivis pergerakan nasional yang diperhitungkan. Bung Hatta lewat Perhimpunan Indonesia yang dipimpinnya (1926-1931) di negeri Belanda dan Bung Karno melalui Perserikatan Nasional Indonesia atau kemudian berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikannya di Bandung pada tahun 1927.
Pertemuan dengan Bung Karno
Walau keduanya kemudian saling mengenal dari kejauhan lewat kegiatan pergerakan organisasinya masing-masing, perjumpaan pertama secara fisik kedua tokoh pergerakan itu baru terjadi di Bandung pada tahun 1932 sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai ketua Perhimpunan Indonesia dan menyelesaikan pendidikannya. Sukarno kala itu baru saja keluar dari penjara Sukamiskin setelah menjalankan setengah dari vonis masa hukumannya selama empat tahun.
Seperti termuat dalam buku Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (2015), Haji Usman, seorang kerabat jauh, adalah orang yang mengingatkan Hatta tentang pentingnya pertemuan dengan Sukarno.
“Anak gadang Hatta ‘kan belum bertemu dengan Sukarno. Dia sudah kira-kira setengah tahun keluar dari Penjara Sukamiskin. Anak gadang tentu belum bertemu dengan dia. Sungguh pun berlalinan partai, baik juga belajar kenal dengan dia,” kata Haji Usman.
Hatta menjawab, “Memang, aku ingin berjumpa dengan dia, tetapi sampai sekarang belum ada waktu. Sejak kembali dari negeri Belanda banyak saja pekerjaan. Kapan kita pergi ke Bandung?”
“Kalau anak gadang tidak keberatan, lusa Sabtu sore kita berangkat ke Bandung,” kata Haji Usman.
Perjalanan ke Bandung mereka lakukan berdua. Menurut Bung Hatta, mereka pergi pukul dua siang menggunakan rute Karawang dan Cikampek dan tiba di Bandung sekitar pukul lima sore. Setalah menitipkan koper di penginapan, keduanya segera menuju ke rumah Sukarno di Astanaanyar. Sayang, Sukarno tidak berada di tempat, Setelah meninggalkan pesan, Hatta dan Haji Usman kembali ke penginapan.
Perjumpaan secara fisik pertama kali antara Mohammad Hatta dan Sukarno, dua tokoh besar yang kelak namanya tertera di teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, baru terjadi sekitar pukul sembilan malam di sebuah hotel di Jalan Pos Timur. Sukarno datang dengan Maskoen, sedangkan Hatta ditemani Haji Usman. Mungkin karena kehadiran Haji Usman yang dianggap sebagai orang luar partai, perbincangan pertama keduanya sambil minum teh dan kopi, tidak membicarakan masalah Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) dan Partai Indonesia (Partindo). Bung Hatta dan Bung Karno saat itu hanya berceita mengenai pengalaman Sukarno selama ditahan di Sukamiskin.
Kesaksian lain tentang pertemuan pertama dua bapak bangsa ini dikisahkan oleh Maskoen Soemadiredja dalam tulisannya di buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan. Menurut Maskoen, perjumpaan itu terjadi pada bulan Agustus 1932. Maskoen yang saat itu masih tinggal di rumah Sukarno dan Inggit Garnasih di Jalan Astanaanyar ikut dalam perjumpaan pertama itu. Seusai makan malam sekitar pukul sembilan, Sukarno dan Maskoen datang memenuhi undangan Hatta yang sebelumnya pada sore hari datang ke rumah Sukarno. Mereka berdua berangkat naik delman menuju Hotel Semarang di Jalan Kebonjati, tak jauh dari sekolah Kesatriaan Institut yang dipimpin Douwes Dekker. Masih menurut Maskoen, perjalanan ditempuh sekitar seperempat jam dalam kondisi cuaca Bandung yang sedang turun hujan gerimis.
Sesuai dengan kenangan Bung Hatta, Maskoen juga menyebut bahwa perbincangan pertama itu tidak membahas masalah politik pergerakan. Bung Hatta bercerita tentang pemeriksaan buku-buku yang dibawanya dari Belanda saat mendarat di Tanjung Priok, sedangkan Sukarno berkisah tentang kegiatannya selama dalam bui di Sukamiskin.
Perjumpaan pertama nan bersejarah antara Mohammad Hatta dan Sukarno itu, menurut Maskoen, berakhir sekitar pukul 10 malam. Hatta berjanji kepada Maskoen akan kembali ke Bandung pada kesempatan pertama.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Kampung Patrol, Wabah Pes, dan Pandemi Covid-19
Tiap Akhir Pekan di Bandung
Awal bulan September 1932, Mohammad Hatta datang kembali ke Bandung seperti janjinya kepada Maskoen. Saat itu Maskeon sudah pidah dari rumah Sukarno dan Inggit Garnasih di Jalan Astanaanyar dan menyewa rumah di Jalan Kopo Nomor 5 Bandung. Rumah ini kemudian menjadi kantor pusat Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru).
Sejak tahun 1930, setelah Sukarno ditahan dan Partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan, Hatta membantu bekas anggota PNI yang tidak setuju akan pembubaran partai dan membentuk Golongan Merdeka sebagai cikal bakal PNI Baru.
Menurut Bung Hatta, yang telah mengamati dan juga mengagumi sepak terjang PNI dari negeri Belanda, pembubaran PNI adalah suatu kemuduran dan pukulan telak bagi pergerakan nasional. Hatta yang masih harus menyelesaikan kuliahnya di Belanda kemudian mengutus Sjahrir untuk kembali ke Tanah air dan kemudian memimpin Pendidikan Nasional Indonesia yang merupakan transformasi dari Golongan Merdeka.
Baru setelah tiba di Tanah Air pada tahun 1932, Hatta turut aktif dalam Pendidikan Nasional Indonesia dan kemudian menjadi ketuanya pada tahun 1934-1935 dengan Maskoen sebagai wakil ketua.
Sebagi hasil pertemuaan pimpinan umum PNI diputuskan bahwa setiap akhir pekan untuk megurusi agenda partai, Bung Hatta akan berada di Bandung mulai hari Jumat sore dan baru kembali ke Jakarta Senin pagi. Dalam otobiografinya, Hatta menuliskan tentang pembagian waktu antara Jakarta dan Bandung ini. Dalam seminggu Hatta akan berada di Jakarta selama empat hari dan tiga hari ia akan berada di Bandung sebagai tempat kedudukan Pimpinan Umum Pendidikan Nasional Indonesia.
Bung Hatta biasanya pergi ke Bandung menggunakan kereta api setelah salat Jumat sekitar pukul dua siang. Ia akan tinggal di Bandung hingga hari Senin pagi atau siang hari. Jika kebanyakan orang saat itu datang ke Bandung di akhir pekan untuk tetirah, bagi Mohammad Hatta akhir pekannya di Bandung diisi dengan bebicara di rapat umum cabang-cabang PNI dan memberikan kelas politik yang biasanya diselenggarakan di kantor partai yang sekaligus jadi tempatnya mondok di Jalan Kopo.
Bertemu Jodoh
Seperti juga Sukarno yang menemukan cinta kasihnya dari seorang perempuan Bandung bernama Inggit Garnasih, Mohammad Hatta pun berjodoh dengan gadis Bandung. Bahkan, perjodohan itu dilakukan langsung oleh Sukarno, sebagaimana dikisahkan Nyonya H. S. S. A. Rachim dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan.
Sukarno pada suatu hari datang ke rumah Keluarga Rachim yang terletak di Burgemeester Coopsweg (kini Jalan Pajajaran) Nomor 11 Bandung. Dalam perbincangan Sukarno bertanya kepada Nyonya Rachim: “Gadis mana yang tercantik di Bandung ini?”
Nyonya Rachim menjawabnya dengan menyebut beberapa nama gadis tercantik di Bandung masa itu, seperti Olek putri Dewi Sartika serta Meta Sam Joedo dan Mieke yang merupakan putri dan kerabat dokter Sam Joedo.
Nyonya Rachim sempat heran dengan maksud pertanyaan Sukarno tadi, tapi dijawab oleh Sukarno bahwa ia hanya bertanya saja.
Baru setelah kemerdekaan Indonesia, Sukarno kembali datang ke rumah keluarga Rachim, kenalan lamanya di Bandung. Kali ini ia datang untuk melamar Rahmi, putri sulung keluarga Rachim, bagi Mohammad Hatta. Rahmi, yang saat itu masih berusia 19 tahun dan terpaut jarak usia 23 tahun dengan Hatta, sempat ragu untuk menerima lamaran yang disampaikan Sukarno. Keraguan Rahmi kemudian pupus dan akhirnya menerima perjodohan ini setelah diyakinkan Sukarno bahwa Mohammad Hatta adalah orang yang baik, pemimpin yang baik, dan sahabat yang baik. Menurut Sukarno, Hatta adalah orang yang berbudi luhur serta mempunyai prinsip yang tegas.
Bung Hatta dan keluarganya kemudian datang ke Bandung untuk melamar Rahmi sekitar bulan Oktober 1945. Pada pertemuan lamaran ini kemudian diputuskan bahwa perkawinan akan diselenggarakan pada tanggal 18 November 1945 di vila milik Hatta yang terletak di daerah Megamendung, dekat Bogor. Tempat in dipilih atas permintaan Hatta yang tidak ingin mengadakan pesta pernikahan dan mengundang tamu. Menurut Nyonya Rachim, rencana ini akan sulit dilakukan jika pernikahan dilangsungkan di Bandung karena Keluarga Rachim telah tinggal di Bandung selama 21 tahun dan memiliki banyak kenalan dan kerabat.
Akhirnya pernikahan Mohammad Hatta dengan Rahmi Rachim dilangsungkan dengan melakukan boyongan dari Bandung ke Megamendung. Dari Bandung ikut hadir Ibu Djundjunan, orang tua Otje Djundjunan. Hadir pula Sukarno, Fatmawati, Ibunda Mohammad Hatta, dan beberapa kerabat dekat kedua keluarga.
Keluarga Rachim, yang memperkirakan bahwa kepergian mereka dari Bandung hanya untuk sementara saja, ternyata harus meninggalkan kota Bandung untuk selamanya. Rumah Keluarga Rachim yang terletak di daerah Bandung Utara kemudian dikuasai oleh tentara Inggris setelah ultimatum pertama sekutu kepada pejuang Indonesia di Bandung pada akhir bulan November 1945.
Demikianlah di Bandung, Bung Hatta meninggalkan banyak jejak, mulai dari pertemuan pertama dengan Sukarno, aktivitas politik di PNI, dan perjumpaan dengan sang istri.