NGALEUT BANDUNG: Riwayat Hantu Perkotaan di Bandung
Lewat kisah mistis, orang bisa belajar tentang sejarah perkembangan sebuah kota. Di Bandung, legenda perkotaan lahir bersama modernisasi kolonial awal abad ke-20.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
6 Juli 2021
BandungBergerak.id - Komunitas Aleut, sebagai komunitas belajar bersama yang nirlaba, membiayai seluruh kegiatan dengan hasil usaha sendiri (baca: swadaya). Penggalangan dana dilakukan salah satunya dengan 'menjual' rute atau tema “Ngaleut”. Tema urban legend, kisah mistis perkotaan, atau hantu perkotaan selalu saja banjir peminat.
Mengapa khalayak menyukai berbagai hal yang menakutkan? Jawaban untuk fenomena tersebut, menurut Mochtar Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada tanggal 6 April 1977, bisa jadi terkait dengan salah satu ciri khas bangsa Indonesia, yaitu percaya takhayul.
Namun, tentu bukan kengerian dan takhayul yang coba ditawarkan Komunitas Aleut lewat tur “Legenda Urang Bandung (Urban)”. Melalui tur ini, peserta dapat memperoleh informasi sejarah, bahkan belajar mengenai perkembangan kota Bandung.
Kentring Manik
Awal berdirinya dayeuh Bandung sebagai ibu kota kabupaten Bandung yang baru dan dikukuhkan dengan besluit Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tanggal 25 September 1810, tidak bisa dilepaskan dengan mitos yang berbau mistis. Sebelum turun titah Gubernur Jenderal Daendels kepada Bupati Bandung R. A. Wiranatakusumah II untuk memindahkan ibukota kabupaten yang dipimpinya, lokasi dayeuh Bandung kelak hanyalah sebuah dusun kecil di tengah hutan.
Penentuan letak lokasi pusat ibu kota baru berupa alun-alun beserta komponen pendukungnya tentu saja tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Salah satu syarat utama berdasarkan perhitungan tradisional adalah tersedianya sumber mata air atau yang dilambangkan sebagai “kubangan badak putih” (paguyangan badak putih).
Pemilihan alun-alun Bandung tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan dua mata air berupa sepasang sumur (ngabandung) yang saat ini lokasinya ada di bangunan PLN Cikapundung dan lahan kosong bekas pertokoan Miramar.
Sebagaimana layaknya tempat keramat, Sumur Bandung juga memiliki cerita mistis tentang keberadaan makhluk gaib yang digambarkan sebagai perempuan cantik rupawan bernama Kentring Manik. Konon Kentring Manik atau Ken Buniwangi merupakan putri penguasa alam gaib wilayah Bandung yang bertahta di Sumur Bandung dengan pengiringnya, Eyang Dipayasa.
Nama Kentring Manik, atau sosok mistis dengan nama yang hampir sama, dikenal tak hanya ada di Sumur Bandung. Ada sosok gaib Nyi Kantri Manik yang dipercaya sebagai penunggu Situ Cisanti, hulu Sungai Citarum. Sosok mahkluk ini, menurut W. H. Hoogland dalam sebuah tulisannya di Majalah “Mooi Bandoeng” (1937), adalah dewi penguasa mata air (Bron-godin) Sungai Citarum yang bernama Kentring Manik.
Oleh sebagian penduduk Bandung, sosok Kentring Manik bahkan dipercayai telah dikuburkan di sebuah kompleks makam keramat di daerah Buniwangi.
Kisah sosok gaib Kentring Manik sebagai penguasa Sumur Bandung merupakan salah satu contoh cerita mistis yang berkembang sebelum kemudian Bandung berkembang sebagai kota modern.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Bung Hatta di Bandung
NGALEUT BANDUNG: Kampung Patrol, Wabah Pes, dan Pandemi Covid-19
Munculnya Legenda Perkotaan
Hingga dekade pertama abad ke-20, Bandung tak ubahnya sebuah desa di pegunungan Priangan (Kleine berg dessa) meski sebenarnya daerah ini telah mengalami berbagai faktor pendorong perkembangan kota. Ditetapkannya Bandung sebagai ibu kota karesidenan Priangan (1864), munculnya para pengusaha perkebunan sebagai imbas dari pemberlakuan Undang-undang Agraria (1870), serta dibukanya jalur transportasi kereta api ke Bandung (1894) adalah beberapa pemicu kota Bandung semakin ramai.
Gerak laju perkembangan kota Bandung terjadi setelah abad ke-20, khususnya setelah ditetapkan sebagai Kotapraja (Gemeente) pada 1 April 1906 dan kemudian menyandang status kota dengan otonomi penuh sejak tahun 1926. Puncak pembangunan terjadi setelah munculnya rencana perpindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung pada tahun 1918.
Pembangunan fisik kota untuk menyambut perpindahan ibu kota Hindia Belanda ke Bandung menghasilkan wilayah “kota baru” Bandung yang terletak di wilayah Bandung Utara dan berporos di sepanjang Jalan Riau. Pembangunan yang terencana menciptakan berbagai infrastruktur perkotaan seperti kompleks perkantoran, permukiman, jaringan jalan, dan taman sebagi pusat kegiatan orang Eropa (Europeesche Zakenwijk).
Di bagian kota Bandung inilah muncul kemudian legenda perkotaan dengan mengambil penampakan berupa sosok mistis dari berbagai ras dan bangsa. Banyak kisahnya terjadi di infrastruktur dan bangunan yang dibuat di masa itu, seperti sekolah, taman, tempat ibadah, dan tempat perkumpulan.
Kebaradaan sosok hantu Nancy di Hoogere Burgerschool (HBS) Bandung (kini SMA Negeri 3 dan SMA Negeri 5 Bandung), patung Pastor Verbraak di Taman Maluku, Gereja Katolik Bebas yang angker, dan bekas tempat perkumpulan Freemason Loji Hermes (Rumah Kentang) merupakan bangunan dan fasilitas yang terletak di kawasan “kota baru” Bandung. Sesuai dengan fungsi kawasannya sebagai tempat permukiman orang Eropa (Westerse Enclaves), semua kisah legenda perkotaan tersebut muncul dengan sosok mistis orang Belanda. Tidak ada lagi sosok makhluk gaib berupa dewa-dewi seperti dalam kisah mistis tradisional.
Mereka yang Tergusur
Selain memunculkan sosok mistis orang-orang Eropa, perkembangan Kota Bandung juga kemudian turut menggusur mitos kisah mistis tradisional yang telah lebih dulu muncul dan tersebar di tengah masyarakat.
Pada akhir abad ke-19, misalnya, ada kisah Mbah Malim yang berhasil mengusir makhluk halus penunggu Muras Geger Hanjuang sehingga kawasan rawa di daerah timur Bandung menjadi kawasan yang bisa didiami. Dengan dihuninya daerah yang sebelumnya terkenal angker, lambat laun kisah rakyat menghilang.
Ada pula kisah kelong atau wewe yang dipercaya sebagai makhluk yang menculik dan menyembunyikan seorang anak di Kampung Telukbuyung. Kisah mistis tradisional ini lambat laun lenyap setelah tahun 1920-an kawasan Kampung Telukbuyung, yang kini berada di sekitar Jalan Pajajaran, digusur untuk dijadikan permukiman mewah yang dinamai Fokker Huis.
Demikianlah, melalui tur sejarah bertema mistis seperti “Legenda Urang Bandung (Urban)”, orang bisa juga belajar tentang perkembangan Kota Bandung dari masa ke masa.
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut