NGALEUT BANDUNG: Pak Kuswandi Telah Pergi
Pengetahuan dan pengalaman yang luas membuat Pak Kuswandi menjadi salah satu ahli perkebunan di Indonesia. Selain buku, ia mewariskan Kompleks Bamboo House.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
13 Juli 2021
BandungBergerak.id - Akhir pekan lalu sebuah kabar duka datang. H. Kuswandi Md. SH., yang akrab disapa Pak Kuswandi, telah berpulang pada hari Jumat, 9 Juli 2021 di Jakarta. Pak Kuswandi adalah tokoh yang menaruh perhatian besar pada bidang perkebunan, budaya pertanian, serta budaya Sunda. Pengetahuan yang luas di bidang sejarah perkebunan, khususnya di Priangan, menjadikannya tempat bertanya dan berdiskusi.
Bagi Komunitas Aleut sebagai komunitas apresiasi sejarah kota Bandung, perkembangan kota-kota di Priangan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan perkebunan. Termasuk sejarah atau segala hal mengenai keluarga para baron pemilik perkebunan di Priangan (Preanger planters). Di sinilah nama Pak Kuswandi akan selalu relevan. Banyak tulisannya yang mengupas berbagai hal tentang perkebunan, dimuat di surat kabar.
Teman Diskusi, Sumber Penulisan Buku
Diskusi Komunitas Aleut dengan Pak Kuswandi sebagai salah satu narasumbernya, pertama kali diselenggarakan pada 16 Januari 2016. Dalam acara yang dijuduli “Bedah Buku Preanger Planters” itu, buku Bamboo House (2011) yang ditulis oleh Pak Kuswandi menjadi salah satu buku yang dibahas selain Kisah Preanger Planters (2014) karya jurnalis senior Her Suganda dan Sang Juragan Teh (2015) karya Hella S. Haasse.
Kedua buku lain yang dibahas pada diskusi saat itu pun punya kisah terkait dengan Pak Kuswandi. Buku Kisah Preanger Planters menjadikan Pak Kuswandi dan buku karyanya Bamboo House serta banyak dokumen sejarah perkebunan koleksinya sebagai sumber rujukan.
Roman sejarah perkebunan Sang Juragan Teh punya cerita lain yang bisa menggambarkan sosok Pak Kuswandi. Ketika karya sastra itu pertama kali diterbitkan di Indonesia pada akhir tahun 2015, para pencinta sejarah perkebunan sangat antusias menyambutnya. Padahal novel yang aslinya berjudul Heren Van De Thee (1992) itu pernah dimuat sebagai cerita bersambung dengan judul Pengusaha Teh oleh sebuah harian di Jakarta pada tahun 1993, dan Pak Kuswandi dengan telaten telah membuat klipingnya. Kegemaran membuat kliping berita koran, khususnya yang berkaitan dengan sejarah perkebunan, menjadikan Pak Kuswandi tempat yang tepat bagi banyak orang untuk bertanya mengenai masalah perkebunan.
Pagi hari setelah diskusi buku itu, Komunitas Aleut melakukan perjalanan napak tilas ke beberapa tempat yang terkait dengan sejarah perkebunan, khususnya perkebunan teh. Pak Kuswandi menjadi pemandu ke beberapa tempat yang dituju, di antaranya museum mini budidaya teh dan pertanian di lingkungan kompleks Bamboo House di Cimurah, Karangpawitan dan perkebunan teh di Cikajang, Garut.
Sesudah diskusi pertama itu, Pak Kuswandi sering hadir dalam beberapa acara yang diselenggarakan Komunitas Aleut. Dalam peluncuran roman Rasia Bandoeng pada bulan Oktober 2016, Pak Kuswandi hadir bersama mendiang Kurnadi Syarif Iskandar yang merupakan salah satu tokoh nasionalisasi perkebunan di Jawa Barat. Bahkan kemudian melalui Pak Kuswandi, Pak Kurnadi menyerahkan dokumen kepada Komunitas Aleut berupa tulisan mengenai pengambilalihan perkebunan-perkebunan Belanda pada tahun 1957.
Hingga beberapa tahun lalu Pak Kuswandi masih rajin menggelar berbagai acara di kompleks Bamboo House yang dibangunnya. Tak pernah lupa ia mengundang Komunitas Aleut untuk ikut hadir dan berpartisipasi. Sepanjang tahun 2019 beberapa kali Pak Kuswandi pernah mengundang Komunitas Aleut untuk datang ke Bamboo House di Cimurah, Garut. Acara pertama, sebuah diskusi yang disebut dengan istilah “ngawangkong”, berlangsung pada akhir bulan Juni 2019. Yang diobrolkan ketika itu adalah berbagai kajian tentang kebudayaan Sunda, seperti sejarah, Bahasa, dan sastra.
Acara terakhir yang ikut dihadiri Komunitas Aleut di Bamboo House berlangsung pada tanggal 27 Oktober 2019. Ketika itu Pak Kuswandi menerima kedatangan G. A. J. de Waal yang merupakan ketua Yayasan Keluarga Preangerplanters Keturunan Van der Hucht c.s. (Stichting Indische thee-en Familie Archief van der Hucht cs).
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Riwayat Hantu Perkotaan di Bandung
NGALEUT BANDUNG: Bung Hatta di Bandung
NGALEUT BANDUNG: Kampung Patrol, Wabah Pes, dan Pandemi Covid-19
Perkebunan dari Ayah, Pertanian dari Ibu
H. Kuswandi Md. lahir di Kota Gantung, Pulau Belitung pada tanggal 27 Januari 1945. Saat itu R. Momod Poerasoebrata, ayahnya, sedang bertugas sebagai perwira polisi di Pulau Belitung. Pada masa perang Kemerdekaan, Keluarga R. Momod kembali ke kampung halamannya di Sumedang dan kemudian menjadi kepala polisi di Tanjungsari.
Pada masa itu di sekitar Tanjungsari terdapat beberapa perkebunan besar, di antaranya adalah Perkebunan Jatinangor milik Keluarga Baron Baud dan Perkebunan Cinangerang yang sebelumnya dimiliki oleh Keluarga Tan Djin Gie. Saat Ayahnya melakukan patroli ke perkebunan, Pak Kuswandi diceritakan sering turut serta. Pengalaman inilah yang sepertinya meninggalkan kesan mendalam tentang perkebunan.
Jika sang ayah mengenalkan Pak Suwandi kepada perkebunan, keluarga Hj. Suptiah, ibunya, yang berasal dari latar belakang keluarga petani, mengenalkan bidang pertanian.
Setelah memperoleh gelar sarjana hukum dari Universitas Padjajaran pada tahun 1972, Pak Kuswandi bekerja di PT. Perkebunan Nasional (PTPN) VIII. Ia berkarier di bidang sekretariat dan humas, dengan jabatan terakhir yang diembannya adalah Sekretaris Perusahaan hingga pensiun pada tahun 2001.
Tugas Pak Kuswandi sebagai Sekretaris Perusahaan, di antaranya memberikan sosialisasi dan membangun komunikasi dengan berbagai pihak, membawanya berkenalan dengan keluarga Belanda keturunan para pemilik perkebunan (Preanger planters). Sejak tahun 1983, para keturunan tuan pemilik perkebunan ini bergabung dalam sebuah yayasan dan salah satu kegiatannya adalah melakukan perjalanan napak tilas ke tempat-tempat dahulu perkebunan milik keluarga ini berada.
Dari Pemandu ke Kompleks Bamboo House
Dari kedekatan inilah Pak Kuswandi kerap memperoleh dokumen terkait sejarah perkebunan dan keluarga Preanger Planters. Ia juga sering diminta menjadi pemandu dalam kunjungan para keturunan itu di Indonesia.
Pada tahun 1999, Pak Kuswandi membangun Kompleks Bamboo House (Rumah Bambu) di kampung halaman Istrinya di Karangpawitan, Garut. Tempat yang terbuka bagi umum ini diharapkan bisa jadi sarana pendidikan bagi masyarakat luas tentang perkebunan dan budaya pertanian. Di dalam kompleks Bamboo House terdapat sebuah museum kecil berisi koleksi terkait perkebunan dan budaya pertanian.
Kompleks Bamboo House menjadi tempat yang wajib dikunjungi oleh rombongan keluarga keturunan Preanger Planters dalam tur nostalgia mereka ke Indonesia. Setidaknya sudah tiga kali Yayasan Keluarga Van der Hucht cs melakukan perjalanan napak tilas ke Indonesia dalam rombongan besar, yaitu pada tahun 2001, 2003, dan 2005.
Pengalaman dan pengetahuan Pak Kuswandi tentang dunia perkebunan dituangkan dalam buku berjudul Rumah Bambu: Koleksi Tradisi Kebudayaan Pertanian dan Sejarah Teh Indonesia (2011). Tak terbantahkan, ia sudah menjadi salah satu tokoh perkebunan yang dimiliki Indonesia.
Selepas kepergian Pak Kuswandi, semoga dunia perkebunan kita tak semakin terkubur dan hanya menyisakan kisah masa lalu yang gemilang.
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut