NGALEUT BANDUNG: “Di-Yasin-kan”
Yasin, pemain Persib asal Minang, kesohor dengan permainan kerasnya. Para pemain lawan yang ia buat tersungkur berkalang tanah disebut telah “di-Yasin-kan”.
Alex Ari
Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri
17 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Bandung adalah sebuah kuali peleburan (melting pot). Penduduknya berasal dari berbagai latar belakang suku bangsa yang kemudian melabeli dirinya dalam satu identitas yang sama, “Bandoengers”. Merujuk berbagai literatur, peleburan ini diketahui telah dimulai sejak berdirinya kota Bandung, bahkan mungkin jauh lebih lama dari itu. Kuncen Bandung, Haryoto Kunto, dalam buku pertamanya yang berjudul Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1986) sudah menjelaskan bagaimana orang-orang perantau dari Palembang, Jawa, dan Tionghoa datang dan menetap serta mewarnai kisah kota Bandung.
Penduduk Bandung yang berasal dari berbagai suku bangsa tersebut kemudian ikut pula memberikan warna dalam perjalanan klub sepak bola kota Bandung, Persib. Betul bahwa pada masa puncak kegemilangannya dalam kurun 1980-an hingga 1990-an ada pameo mengenai tim Pangeran Biru yang sukses karena hampir seluruh pemainnya asli Bandung atau berdarah Sunda. Namun dalam kenyataannya, sejak berdiri kegemilangan Persib tidak lepas dari sumbangsih para pemainnya yang memiliki latar suku lain, tak hanya Sunda.
Menurut Aqwam Fiazmi Hanifan dan Novan Herfiyana dalam bukunya Persib Undercover: Kisah-kisah yang Terlupakan (2014), Persib yang didirikan pada tahun 1933 sempat bernama BVIB kemudian PSIB. Pada tahun 1937, Persib memiliki beberapa klub anggota, seperti Diana, Merapi, Molto, OPI, Ran, Rea, Siap, Smeroe, Soenda, dan Singgalang.
Nama klub terakhir tentu mengingatkan kita pada nama sebuah gunung yang berada di daerah Sumatera Barat. Memang anggota PS Singgalang adalah orang-orang yang berasal dari Suku Minang, terutama mereka yang berasal dari Kota Padang. Hal tersebut dituliskan oleh R. Moech. A. Affandie dalam bukunya Bandung Baheula (1969). Menurut penulis yang sempat menjadi ketua persatuan dalang ini, anggota klub yang kala itu menggunakan lapangan Tegallega sebagai markas dan tempat berlatihnya dikhususkan bagi orang Minang.
Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Preanger Planters Kumpulan Orang Gagal
NGALEUT BANDUNG: Menelusuri Pangaritan di Bandung Timur
NGALEUT BANDUNG: Oerip Soemohardjo di Bandung dan Cimahi
Permainan Keras Yasin
Dari klub Singgalang inilah muncul seorang pemain yang ikut menjadi bagian kesebelasan Persib ketika meraih gelar juara PSSI (Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia) pertamanya pada tahun 1937. Capaian ini memutus dominasi Persis Solo lewat kemenangan di kandangnya, Stadion Sriwedari. Kemenangan Persib dalam kejuaraan antarkota yang diselenggarakan oleh PSSI ini sekaligus membalaskan dendam kekalahan 0-2 atas Persis Solo di kandang, yakni Lapangan Tegallega, setahun sebelumnya. Nama pemain itu adalah Yasin. Pemain juara yang penuh pengabdian, loyal, dan menurut kisahnya, adalah pemain yang tak mengenal rasa takut. Mungkin juga tak banyak bobotoh kini yang mengenal sosok pemain ini. Dan ini adalah kisah Yasin di Persib Bandung.
Sosok Yasin digambarkan oleh R. Moech. A. Affandie bertubuh pendek dan gempal. Penggambaran ini tak terlalu keliru bila melihat foto Yasin pada tahun 1937 dan 1939 bersama pemain Persib lain yang dimuat dalam buku mantan pemain dan pelatih Persib, Risnandar Sundoro yang berjudul Lintasan Sejarah Persib (2001). Mungkin yang terbayang adalah sosok mantan ‘gelandang pengangkut air’ Persib, Haryono. Atau bayangkanlah sosok legenda AC Milan, ‘Si Bulldog’ Genaro Gattusso. Selain kemampuan dan keuletannya bermain bola, Yasin menonjol karena keberaniannya. Itulah mengapa Yasin cukup lama menjadi bagian dari tim Persib.
Saat bermain, yang menjadi ciri khas dari Yasin adalah permainan kerasnya. R. Moech. A. Affandie dalam bukunya menggunakan istilah “main kayu” dan “main kulit”. Lawan sebesar dan setinggi apapun ketika sudah berhadapan dengan Yasin pasti merasakan digaet, ditendang, ditebang, dijegal, dan segala upaya lainnya yang membuat lawan jatuh mencium tanah. Bila membayangkan hal yang dilakukan Yasin pada saat ini biasanya penonton di stadion akan dengan refleks mengumandangkan tahmid seperti mengantar orang yang hendak dimakamkan “Laillah ha illah…La illah ha illawlaah”. Niscaya kejadian tadi akan sangat cocok dengan nama si jagal tadi “Yasin”, karena biasanya orang akan membacakan surat Yasin saat kenduri kematian.
Namun penonton di zaman Yasin bermain memberikan istilah bagi pemain lawan yang tersungkur berkalang tanah itu dengan kata “di-Yasin-kan”. Dalam buku Bandung Baheula, istilah ini ditulis dalam Bahasa Sunda dengan ejaan lama: “dijasinkeun”.
R. Moech. A. Affandie mencatat beberapa kejadian “diyasinkan” yang menimpa beberapa pemain. Di ataranya ia menulis bagaimana Yasin mengerjai seorang serdadu Belanda bernama Prins yang berasal dari klub “Velocitas” Cimahi saat pertandingan pertama kali antara Persib kontra bond Belanda B.V.B di lapangan UNI yang berlokasi di Oostindeweg, sekarang Jalan Sunda. Prins seperti layaknya orang Eropa yang tinggi besar, namun itu tak membuat Yasin keder.
Berbagai cara dikerahkan Yasin untuk menjatuhkan Prins. Namun tak ada yang berhasil. Yasin akhirnya menarik celana Prins hingga tali kolornya putus. Pemain lawan itu pun terpaksa keluar lapangan sambil menahan malu karena celananya kedodoran.
Ada cerita lain lagi. Saat pertandingan eksibisi antara Persib melawan kesebelasan “Nan Hoa” dari Tiongkok, pemain yang menjadi lawan Yasin adalah Lee Wai Tong. Namun alih-laih Wai Tong yang tumbang “diyasinkan”, malah Yasin sendirilah yang nyengir meringis kesakitan sambil memegangi pinggangnya.
Amuk Massa
Permainan keras dan cenderung kasar tentu bukan tanpa risiko. Setidaknya perilaku Yasin dapat memicu provokasi bagi penonton yang pemainnya dikerjai strategi “main kulit” itu. Inilah yang terjadi ketika Persib menyambangi Persitas Tasikmalaya di kandangnya, Stadion Dadaha, Tasikmalaya. Walau berada di kandang lawan, toh Yasin tidak merasa ciut nyalinya. Kali ini ia “memakan” Masri. Melihat pemain bintangnya “diyasinkan”, amarah publik tuan rumah terpancing dan mereka langsung mengejar Yasin sebagai pelakunya untuk dihakimi massa. Untung saat itu Yasin masih bisa diselamatkan pemain bintang Persitas lainnya, yaitu Sai Yudapraja. Tak dapat dibayangkan nasib Yasin jika tidak berhasil diselamatkan ketika itu.
Namun dasar Yasin memang pemberani. Saat kembali ke Bandung dan dimintai pendapatnya soal kejadian tempo hari di Tasik, dia malah balik menjawab dengan nada beringas: “Kalian lihat saya masih hidup, kan?”
Tak banyak kisah lain yang ditemukan mengenai sosok pemain Persib asal Andalas ini. Informasi yang cukup banyak memang dicatat dalam buku Bandung Baheula. Sepertinya penulisnya, R. Moech. A. Affandie, adalah seorang bobotoh karena di beberapa bagian dari bukunya dapat dijumpai kisah mengenai sepakbola Bandung, khususnya Persib. Sayang, jilid ketiga buku Bandung Baheula yang rencananya memuat tulisan mengenai laga final monumental di Solo tahun 1937 tak pernah diterbitkan karena penulisnya, R. Moech. A. Affandie, keburu tutup usia.
Informasi mengenai wafatnya Yasin datang dari Novan Herfiyana, salah satu penulis buku Persib Undercover (2014). Pemain Persib berdarah Minang ini diketahui tutup usia pada tanggal 22 November 1985 di rumahnya di Jalan Pandawa, Bandung. Cag!
*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut