• Opini
  • Perjalanan Aing dari Dangding Hasan Mustapa ke Persib

Perjalanan Aing dari Dangding Hasan Mustapa ke Persib

Kata aing tidak mencerminkan abdi atau budak, tidak pula kuring sebagai jelata. Bahkan aing bisa dimaknai sebagai kata ganti orang pertama tunggal yang setara.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Jalan Asia Afrika, Bandung, (8/8/2021). Jalan di sekitar Alun-alun Bandung ini kerap menjadi tujuan warga Bandung berwisata dalam kota. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

22 September 2021


BandungBergerak.idBila kita sedang asyik nonton sepakbola antara Persib melawan Persija, maka selalu ada bobotoh unik memakai baju “Persib nu Aing, Maung nu Bandung”, "Persib nu Aing, Maung nu Kodim", "Persib nu Aing, Aing nu Saha", "Persib nu Aing, Ari Aing nu Saha, Nya Teuing Eta Sugan", "Persib nu Aing, Aing & Persib nu Allah". Bak laut biru, para bobotoh yang memenuhi stadium berteriak lantang sambil menyanyikan lagu PAS Band "Aing Pendukung Persib".

Asup! Asup!/Asup! Asup!/Asup! Asup!

Aing pendukung Persib/Kubela sampai mati

Dari zaman Encas Tonif/Sampai zaman akhir nanti

Kujual baju celanaku/Untuk menonton permainanmu

Lapar teu paduli/Nu penting Aing lalajo Persib

Obrolan tentang aing pun akrab terdengar dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, "Ceuk aing oge...; Ceuk aki aing...; Ceuk abah aing...; Kumaha aing we..; Ka dieu sia dilékék ku aing.

Hikayat Aing

Dalam tulisan Siapa Aing? Hawe Setiawan menyampaikan pastilah tidak semua penutur bahasa Sunda senang dengan pemakaian aing di ruang publik. Mereka yang bersikap demikian niscaya merasakan adanya semacam pelanggaran norma.

“Saya sendiri santuy saja. Bahkan, hingga batas tertentu, saya ikut menyukuri kenyataan bahwa kata yang populer kini adalah aing, bukan abdi atau kuring," kata Hawe Setiawan.

Heru Joko, pimpinan komunitas bobotoh Persib, menjelaskan ungkapan "Persib nu Aing" mulai disuarakan oleh kalangan bobotoh pada dasawarsa 1990-an. Maklumlah, waktu itu ada tanda-tanda bahwa kepemilikan klub bola kebanggaan Jawa Barat itu seakan jatuh ke dalam genggaman para birokrat pemerintahan. Rasa memiliki kalangan bobotoh terhadap Persib sedemikian menggelegak.

Lama-kelamaan di antara diri bobotoh dan eksistensi Persib seakan tak ada lagi sekat. Kian tegaslah pernyataan identifikasi diri itu, yakni "Persib Aing". Paling tinggal selangkah, apalagi kalau Persib tidak keok saat bertanding, untuk menyatakan identifikasi diri yang lebih telak: "Aing Persib".

Dalam bahasa Sunda, aing sekelas dengan kuring dan abdi beserta sejumlah variannya, sama-sama berperan sebagai kata ganti orang pertama tunggal. Nuansanya saja yang berbeda, terutama sejak orang Sunda menerapkan undak-usuk basa (tahap-tahap kesopanan berbahasa), hasil belajar para ménak (bangsawan) Sunda dari lingkungan budaya Mataram selama ratusan tahun. Kerumitan berbahasa, sebagaimana kerumitan di bidang lainnya, membikin partisi: kasar (aing), sedang (kuring), dan halus (abdi).

Ingat, ungkapan abdi diserap dari bahasa Arab dan secara harfiah berarti "hamba", "budak". Untuk kuring mengandung arti "jelata", "orang kebanyakan" yang biasanya dibedakan dari kalangan ménak. Dilihat dari sudut perbandingan demikian, aing kedengarannya bukan budak, bukan pula sasaran bulan-bulanan kaum elit (www.hanyawacana.com).

Menyikapi maraknya penggunaan aing dalam kehidupan sehari-hari, Gugun Gunardi, dosen Program Studi Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran mengatakan, kata aing boleh digunakan penutur bahasa Sunda maupun di luar Sunda selama konteks komunikasi dilakukan dengan penutur lain yang berusia sama.

“Bahasa kasar bisa menjadi halus bergantung pada intonasi yang digunakan,” kata Gugun Gunardi.

Walau secara tingkatan bahasa, kata aing termasuk kasar, kata sapaan ini kerap digunakan penutur bahasa Sunda untuk menjalin percakapan standar. Bahkan, aing bisa digunakan untuk percakapan dengan teman sebaya sebagai ungkapan candaan (hiburan).

“Dalam bahasa Sunda, selama penggunaannya tidak mementingkan tingkat tutur bahasa menjadi tidak masalah, lanjut Gugun.

Gugun memandang positif penggunaan kata aing dalam percakapan bahasa Indonesia. Pasalnya, setiap bahasa dipengaruhi oleh bahasa lainnya. Penggunaan aing sebagai kata ganti orang pertama di luar penutur bahasa Sunda dipandang akan bisa memopulerkan eksistensi bahasa Sunda di tingkat nasional.

Meski demikian, penutur juga wajib mengetahui tingkat tutur bahasa Sunda. Minimal, penutur mengetahui mana kata yang masuk ke dalam ragam bahasa Sunda kasar, sedang, hingga halus.

“Silakan gunakan bahasa Sunda itu. Dengan intonasi tertentu, kata kasar itu bisa menjadi bagus, dan tidak digunakan untuk mem-bully atau memojokkan orang lain,” katanya.

Baca Juga: Menghapus Cerita Mural dan Grafiti dari Tembok ke Tembok
Naik Gunung Boleh, Konyol Jangan
Jejak Sutan Sjahrir di Bandung

Berkat Bobotoh Persib

Kali pertama kata aing dipopulerkan oleh bobotoh, komunitas pendukung klub sepak bola Persib Bandung. Banyaknya jargon yang menggunakan kata aing oleh Bobotoh menyebabkan banyak orang di luar penutur Sunda menjadi banyak yang menggunakan aing sebagai kata sapaan yang menggantikan kata gua atau aku.

Berhubung sering dipakai oleh sosiolek, penutur dari kelompok sosial tertentu, maka orang di luar komunitas menjadi terpengaruh untuk menggunakan kata serupa dalam percakapan sehari-hari.

“Orang lain yang tidak paham dengan kata aing dianggap sebagai kata gagah yang menjadi penanda komunikasi. Saya melihat fenomena aing itu menjadi sering digunakan dan banyak digunakan di luar penutur bahasa Sunda,” kata Gugun (www.unpad.ac.id).

Buku Jejak Taubat Nurmi menceritakan perjuangan sejati bobotoh Persib dengan baju Persib nu Aing bisa menonton pertandingan sepakbola di lapangan hijau. Zaki, sang bobotoh, bisa sampai ke Bandung tanpa sepeser biaya pun. Ia bisa menumpang gratisan bersama rombongan bobotoh yang akan menyaksikan pertandingan tim bola favorit mereka: Persib nu aing! Asal sabar saja ia menunggu arak-arakan pasukan biru melintas ramai di jalan raya (Arif Haye, 2015:116).

Khazanah Lokal

Buku Tentang Kebaikan menceritakan perdebatan dua pemuda asal Garut (Salim) dan Darma (Banten) mengenai setum. Darma yang pertama kali tiba di Bandung, ingin bermain ke Alun-alun Kota Bandung. Matanya langsung tertuju pada kendaraan roda tiga bercat kuning. Ia pikir kendaraan tersebut cocok dengan yang digambarkan gurunya. Tanpa basa basi, pemuda berpakaian serba hitam dan mengenakan kain ikat kepala itu langsung naik ke atas setum.

Salim, pemuda tinggi besar tapi berkumis tipis asal Cikajang, Garut, yang sopir kendaraan serba besi itu, kaget. Belum sempat bertanya kepada penumpang gelap itu, pemuda asal Banten itu berkata, "Ini Bemo kan? Ikut ke Alun-alun ya!"

"Ini mah bukan bemo."

"Ah jangan begitu. Mentang-mentang saya berpakaian seperti ini."

"Iya, ini namanya setum, bukan bemo."

Terjadilah perdebatan sengit di antara dua laki-laki itu. Saling mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar, sedangkan orang lain salah. Kalau mengikuti pendapat yang berbeda dengan dirinya, bisa-bisa, sesat!

Merasa pekerjaannya diganggu dan malah diajak adu pendapat, Salim naik darah dan terpancing melontarkan kata-kata dengan nada tinggi.

Di lain pihak, Darma yang yakin bahwa setum itu bemo, merasa direndahkan dan marah besar. Kejawaraannya mulai ia tampakkan. Dengan mata membentak dan telunjuk tangan kanannya mengarah kepada Salim, disertai nada tinggi dan menggelegar, Darma berteriak:

“Aing urang Banten. Ceuk aing, bemo, bemo!”

Salim sempat kaget dan siap melawan. Namun, kata hatinya membisikkan: "Jangan bertengkar! Tidak baik" (Jonih Rahmat, 2013:79-80).

Buku Jangan Mau Jadi Muslim Dodol memuat ulasan unik soal "Batas Suci di Masjid" yang menegaskan ihwal bangga dengan Persib nu Aing di mana pun berada. Pokoknya hidup Persib nu Aing!

Ayo kita patuhi rambu-rambu di dalam masjid. Rambu yang paling sering ditulis Batas Suci. Itu artinya sandal, sepatu, bakiak, slop, haihil, rantang, dandang, gesper atau apa pun yang kita pakai sebagai alas kaki harus sudah kita lepas sebelum memasuki area batas suci tersebut. Kenapa? Agar tetap suci tentunya. Setidaknya bersih sehingga mendekati kesucian.

Janganlah sekali-kali kita melanggar batas itu. Apalagi sebagai pelaku pertama. Karena bila ada satu orang yang melanggar, maka kemungkinan besar orang berikutnya meniru.

Alkisah, ada sebuah tembok (masjid) yang baru dicat oleh pemiliknya. Tembok tersebut terlarang untuk dicoret-coret. Lalu mulailah ada orang yang melanggar larangan itu. Gara-gara tulisan orang pertama inilah akhirnya banyak orang terpancing ikut-ikutan dan akhirnya tembok itu tidak lagi bersih sebagaimana harapan pemiliknya. Tembok itu kini kurang lebih penuh coretan, seperti:

DILARANG CORAT-CORET!

TAPI ELO SENDIRI KO CORAT-CORET

OJEG 24 DI BALIK TEMBOK INI

GUA MAH NGGAK  CORAT-CORET DONK!

GUA NGGAK MAU IKUTAN AH ^BENTENG MANIA^

ITU LO IKUTAN

DINA KU TUNGGU JANDAMU (GERY)

DASAR ANEH LO SEMUA! PERSIB NU AING! (Agung Satriawan, 2009).

Kata aing juga bertebaran pada dangding Hasan Mustapa. Buku Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-karyana memuat salah satu dangding  (puisi bermatra) terkenal:

Ceuk aing Allah mah batur

Ceuk batur Allah mah aing

Ceuk aing Allah mah eta

Ceuk eta Alla mah aing

Ceuk aing Allah mah saha

Ceuk saha Allah mah aing

(Ajip Rosidi, 1989:100).

Pada buku lain, Haji Hasan Mustapa: Sufi Besar Tanah Pasundan, dikisahkan bahwa Sujiwo Tejo membuat lagu sederhana yang pada 30 Agustus 2020 dijadikan film drama musikal virtual bertajuk Dongeng Cinta Ceuk Aing.

Drama musikal ini merupakan refleksi kegelisahan sang seniman tentang perjalanan spiritual seseorang dalam menemukan jati diri, cinta, dan Tuhan. Sujiwo Tejo sendiri jadi dalangnya. Dongeng Cinta Ceuk Aing ini melibatkan lebih dari 50 seniman ternama.

Dongeng tersebut menggambarkan drama cinta tentang seorang putri anak petani yang dijodohkan oleh bidadari. Jelang pernikahan, perjodohan diganggu buaya darat. Sujiwo Tejo menegaskan drama musikal Dongeng Cinta Ceuk Aing ini bukan hanya tentang percintaan semata, tapi juga mengisahkan kegelisahan terbesar manusia.

"Ini adalah sebuah pementasan dongeng yang akan membuka sisi lain dari cara pandang kita pada dunia, Tuhan, dan semesta. Bersiap-siaplah emosinya tercampur-aduk, dan merasakan getaran baru dari pencarian jati diri paling dahsyat," kata Sujiwo Tejo (detikHOT, Senin 24/08/2020 15:46 WIB, Pustaka Iman, 11/11/2020).

Hingga kini, kata aing terus mewarnai pusaran khazanah lokal Ki Sunda. Sudah saatnya merayakan petuah Yusuf Wibisana tentang hidup matinya Sunda tergantung pada kita, bukan orang lain. "Sunda téh nu aing jeung kumaha ceuk aing,” kata Yusuf Wibisana.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//