• Opini
  • Jejak Sutan Sjahrir di Bandung

Jejak Sutan Sjahrir di Bandung

Sutan Sjahrir bermain bola di Lapangan Pungkur. Berdesakan membaca koran bersama orang-orang Belanda. Mengkritik Sukarno karena memakai bahasa asing.

Muhammad Akmal Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN SGD Bandung dan Jurnalis BandungBergerak.id sejak 12 Juni 2022

Perdana Menteri Sutan Sjahrir sedang berpidato pada Sidang Pleno KNIP ke V di Malang, Jawa Timur, 25 Februari 1947. (anri.sikn.go.id)

20 Agustus 2021


BandungBergerak.idMembayangkan Bandung di era 1920-an di mana fajar menyinsing dan udara pagi masih segar, itulah yang saya rasa ketika membuka lembar demi lembar buku Oud Bandoeng Dalam Kartu Pos karya Sudarsono Katam. Sembari membuka buku tersebut, saya membayangkan Sutan Sjahrir datang ke Bandung di tahun 1926.

Bung Kecil – demikian ia dijuluki – datang dan berlayar ke Jawa dengan tujuan Bandung, bukan sekadar menikmati udara pagi atau singgah cuma menyapa panorama alam kota yang dijuluki Paris Van Java ini. Lantas untuk apa dia datang ke Kota Kembang?

Ada baiknya kita berusaha lebih kenal dan akrab dengan Bung Kecil kita ini, salah satu dari tujuh bapak revolusi yang mendesak Sukarno, dan sahabat di pengasingannya ketika di Banda Naira yaitu Hatta, untuk memproklamasikan kemerdekaan.

Pendiri Partai Sosialis Indonesia ini ternyata menyukai sosok Nietzche, hal ini ditulis oleh Goenawan Mohammad dalam tulisan Sjahrir di Pantai. Kala itu tertanggal 7 Apri 1936 Bung Kecil kita menulis surat pada adiknya tercinta, “Nietzche itu kebudayaan, Nietzche itu seni, Nietzche itu genius,” tulisnya.

Sjahrir adalah satu orang dari banyak tokoh bangsa yang terlupakan dan perlu diperkenalkan kembali kini. Penyerang sayap kiri namun hebat di lini tengah ketika bermain sepak bola ini menjadi bagian dari tebalnya buku sejarah bangsa yang kerap kali dianggap membosankan.

Mengenal Sutan Sjahrir

Sepasang suami-istri bernama Mohammad Rasad dan Poetri Siti Rabiah melahirkan seorang anak yang cerdas bernama Sjahrir pada 5 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ayahnya berasal kota Gadang, Sumatera Barat berkerja sebagai Landraad di Medan dan jabatan terakhirnya ialah Hoofd Jaksa. Sang ayah memiliki gelar Maha Raja Soetan, sedangkan ibunya berasal dari daerah pantai bagian selatan Tapanuli, daerah Natal, Sumatera Utara.

Daniel Dhakidae dalam tulisan berjudul Sjahrir dalam Renungan Dua Jilid menyebutnya a man of paradoks. Daniel mengartikan bahwa tubuhnya yang kecil memiliki intelgensi yang kuat.

Sjahrir lahir dari keluarga terpelajar, memulai studi pada tingkat dasar di Europeecshe Lagere School (ELS). Dia sekolah di tempat tersebut karena ayahandanya seorang ambtenaar atau pegawai negeri Hindia Belanda. Selulus dari ELS, Sjahrir yang pintar dan suka membaca buku ini melanjutkan ke tingkat Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Setamatnya dari MULO, Sjahrir muda melancong ke Bandung untuk melanjutkan studinya di Algemene Middlebare Shool (AMS). Lalu, bagaimanakah perjalanan Syahrir di Bandung?

Perdana Menteri (PM) Sutan Sjahrir tiba di Jakarta, pasca-penculikannya di Solo, Jawa Tengah, 1 Juli 1946. (dok. anri.sikn.go.id)
Perdana Menteri (PM) Sutan Sjahrir tiba di Jakarta, pasca-penculikannya di Solo, Jawa Tengah, 1 Juli 1946. (dok. anri.sikn.go.id)

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Dokter Emilie Suzzan Houtman, Perempuan di Balik Pendirian Sanatorium Dago Heuvel (2)
Pancasila dari Rakyat (2): Ajaran Sukarno di Permakaman Belanda
Konferensi Asia Afrika dan Sukarno di Mata Pram

Tersulut Nasionalisme di Alun-alun Bandung

Tiba di kota yang disebut Kota Kembang, Bung Kecil diam di rumah saudara tirinya bernama Radena di Jalan Dr. Samjudo untuk sekolah di AMS, sekitar Jalan Pungkur atau sekarang Jalan Abdul Muis. Sjahrir mengambil jurusan Westerns Klassieke Afdeling (Barat Klasik). Selama sekolah di AMS Bandung, ia berkawan Muhammad Natsir (kelak Perdana Menteri Pertama RI), dan kawanya yang kelak menjadi Residen Cirebon pada perundingan di Linggar Jati, Hamdani.

Di masa sekolah, Sjahrir, dengan perawakan kecil, duduk di bangku belakang. Namanya terkenal manakala ia menunjukkan kepintaran dan kecerdasannya, sehingga guru-gurunya kagum dan puas terhadapnya.

Sutan Sjahrir merupakan pemuda yang sering membaca koran Algemeene Middelbare Dagblad-AID Preanger yang diterbitkan oleh Vorkink. Koran ini biasa ditempel di papan dan dibaca oleh khalayak. Demi membaca koran ini, Sjahrir kadang harus berdesak-desakkan dengan orang Belanda. Walaupun dirinya seorang pribumi namun ia selalu menunjukkan jiwa kritis.

Selama merantau ke Bandung, ia tak meninggalkan hobinya bermain bola. Ia menjadi anggota dari Club Voetballverening Poengkoer, sebuah klub sepak bola yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Tempat latihannya dilakukandi lapangan Pungkur. Di sana ia berlari dan menendang bola. Lapangan itu kini menjadi jalan dan rumah-rumah.

Suatu hari, ia mendengar pidato Tjiptomangunkusomo di sebuah acara di Alun-alun Bandung. Pidato ini berhasil mengusik sanubarinya dan menggugah jiwa nasionalismenya.

Jiwa nasionalisme itulah yang membuat ia berani mengkritik Sukarno, pendiri PNI (Partai Nasioal Indonesia). Kala itu, berlangsung rapat bersama Jong Pemuda, Bung Karno berbicara dengan pelbagai bahasa dan Sjahrir meminta Bung Besar agar memakai bahasa Indonesia saja.

Di masa mudanya inilah semenjak membara karena tersengat pidato Dr. Tjiptomangunkusomo ia ikut mendirikan “Jong Indonesie” dan berperan dalam penerbitan majalah himpunan ini. Belakangan aktivitas pemuda yang bersekolah di AMS ini dimata-matai oleh polisi Hindia-Belanda.

Jong Indonesie kemudian berubah menjadi Pemoeda Indonesia. Himpunan ini menggelar kongres di Bandung pada tahun 1927, dan di Jakarta pada Oktober 1928. Sebagaimana kita tahu bahwa kongres di Jakarta itu menjadi Hari Sumpah Pemuda yang selalu diperingati hingga kini.

Selain menjadi aktivits pergerakan, ia aktif di study club bernama Patriae Scientiae Que (PSQ), di mana study club ini belajar berorganisasi dan membahas permasalahan yang berkembang di masyarakat pada saat itu. Sjahrir memimpin Jong Indonesie dan mendirikan sekolah-sekolah nasional bernama Volksuniversiteit Tjahja (Sekolah Nasional Tjahja) untuk memberantas buta huruf.

Lewat sekolah tersebut, ia bersama kawan-kawannya di Jong Indonesie mengajar ke daerah sekeliling Bandung, Cimindi, Ujung Berung, dan sejumlah daerah lainnya. Namun Sekolah Nasional Tjahja harus berhenti sampai pada tahun 1938 karena masalah teknis dan pembiayaan.

Bandung juga menjadi saksi atas pertunjukkan seni dari Sjahrir, sebagaimana diucapkan oleh kawannya di AMS, Hamdani, bahwa Syahrir sangat menyukai kesenian. Ia selalu bernyanyi atau bersiul ketika Soebagio memainkan biola.

Ia bersama kawan sekolahnya bergabung di klub drama, Batovis (Bandungse Toneel Verening Van Indonesise Studerenden), dan bermain tonil yang menampilkan lakon-lakon patriotik dengan bahasa Belanda di gedung yang kini dikenal Gedung Merdeka (dulu bernama Gedung Concordia). Banyak orang Belanda yang suka akan pertunjukkan itu dan hasil peruntunjukan dipakai untuk membiayai sekolah Sekolah Nasional Tjahja.

Itulah Sjahrir dengan segala kisah-kisahnya di Kota Bandung ini. Selepas lulus dari AMS, ia pergi melanjutkan studi ke Belanda. Setiap fragmen kehidupan Sjahrir memberi kontribusi bagi Indonesia.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//