• Budaya
  • Pancasila dari Rakyat (2): Ajaran Sukarno di Permakaman Belanda

Pancasila dari Rakyat (2): Ajaran Sukarno di Permakaman Belanda

Pancasila, ajaran Bung Karno yang mengajarkan ketuhanan, kesetaraan, kemanusiaan, keadilan tampaknya diterapkan orang Belanda.

Kolokium Nasional Dokumentasi Pancasila dari Rakyat yang digelar Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Selasa (8/6/2021). Kolokium menghadirkan pendiri Lokra, Gatot Gunawan. (Tangkapan Layar PSP Unpar)

Penulis Iman Herdiana8 Juni 2021


BandungBergerak.idAnak-anak dari Kelompok Anak Rakyat atau Lokra kerap mengunjungi TPU Pandu di Jalan Padjadjaran, Bandung. Di kompleks kuburan tua itu terdapat dua TPU, yakni Tempat Pemakaman Umum Pandu untuk warga negara Indonesia dan TPU yang diurus Belanda yang disebut Ereveld Pandu. Anak-anak heran TPU Belanda lebih tertata rapi dan bersih dibandingkan TPU Pandu.

Pernah pada September 2020, Gatot Gunawan yang mendirikan Lokra 15 Januari 2014, susah payah menemukan makam Alexius Impurung Mendur di TPU Pandu. Alexius (1907-1984) adalah forografer di masa revolusi fisik Indonesia. Jasa Alexius, antara lain, mengabadikan peristiwa  proklamasi kemerdekaan RI.

Gatot dan kelompoknya menemukan makam Alexius dalam kondisi sangat memprihatinan, tak terawat dan banyak tumpukan sampah. Selain Alexius, Gatot banyak menggali sejarah orang-orang yang meninggal dan dimakamkan di TPS Pandu maupun di Ereveld Pandu. Di antaranya, Wolff Schoemaker, guru besar ilmu arsitektur Technische Hoogeschool (THS, kini ITB).

Saat kuliah di THS, Sukarno belajar arsitektur dari Schoemaker. Kata Gatot, Sukarno sering mendapat honor dari Shoemaker ketika menggarap suatu proyek arsitektur. Honor tersebut kemudian menjadi modal perjuangan Bung Karno di masa mudanya.

“Tokoh-tokoh ini penting, kami angkat dengan cara kami (Lokra),” kata Gatot, dalam Kolokium Nasional Dokumentasi Pancasila dari Rakyat yang digelar Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Selasa (8/6/2021).

Ereveld Pandu diurus Oorlogsgraven Stichting atau Yayasan Makam Kehormatan Belanda. Baru-baru ini, Lokra menjalin kerja sama dengan yayasan Belanda tersebut. Bentuk kerja samanya terbilang sederhana, misalnya, melakukan perayaan bersama dalam berbagai momen nasional, salah satunya peringatan Hari Pahlawan 10 November.

Gatot sempat kaget karena tawaran ide peringatan Hari Pahlawan itu justru muncul dari pengurus yayasan yang notabene orang Belanda. Bagi mereka, kolonalisme di masa lalu tak menghalangi semangat merajut kerja sama di masa kini dan depan.  

Berikutnya, Lokra bersama pengurus Ereveld Pandu menggelar peringatan momen internasional berakhirnya Perang Dunia 2 pada 15 Agustus 1945, tepat dua hari sebelum peringatan Kemerdekaan RI 17 Agustus. Bagi Belanda, 15 Agustus adalah hari peringatan menghormati korban Perang Dunia 2, khususnya para korban perang di Indonesia.

Lewat beragam acara peringatan bersama, Lokra ingin mengenalkan anggotanya yang kebanyakan anak-anak, pada tokoh sejarah. Gatot bilang, anak-anak sekarang butuh teladan yang mungkin sulit mencarinya pada tokoh atau pejabat masa kini.

Bagi Gatot, TPS Pandu maupun Ereveld Pandu merupakan tempat yang pas untuk belajar sejarah. Anak-anak mengenal Belanda tidak hanya dari buku-buku teks atau dari pelajaran sejarah yang disampaikan gurunya, tetapi berinteraksi langsung dengan peninggalan sejarah, termasuk dengan pengurus yayasan Belanda.

Menurut Gatot, sejak awal pengurus yayasan cukup sangat welcome menerima kunjungan Lokra bersama anak-anak. Banyak anak-anak yang yang bertanya-tanya mengenai tertata rapinya permakaman Belanda. Pemandangan ini berkebalikan dengan TPS Pandu yang terkesan kurang terurus, sampah berserakan, dengan penataan yang kurang apik.

“Bicara Pancasila bisa dilihat di pengurusan makam, ada ketuhanan, walau sudah meninggal tetap diurus dalam posisi sederajat, egalier,” kata Gatot.

Di permakaman Belanda, makam jenderal dengan pangkat prajurit rendahan bisa dikubur berdampingan. Bos yayasan Belanda juga tidak sungkan turun tangan untuk melakukan pekerjaan kasar yang biasa dilakukan petugas makam. Malah, kata Gatot, para pegawai di Ereveld Pandu cukup sejahtera. “Jadi orang yang kerja di makam ini terlihat happy,” katanya.

Pancasila, ajaran Bung Karno yang mengajarkan ketuhanan, kesetaraan, kemanusiaan, keadilan tampaknya diterapkan orang Belanda di pemakaman umum mereka. Keberadaan Ereveld Pandu sendiri tak lepas dari kebijakan Presiden Sukarno yang menghibahkan tanah untuk pemakaman orang Belanda korban perang.

Menurut Gatot, di masa perjuangan Sukarno begitu anti-kolonialis, tetapi setelah merdeka Bung Karno tidak menunjukkan dendam sejarah. Sikap Sukarno ini menunjukkan amalan dari Pancasila.

“Kebayang kalau Bung Karno dulu fasis, ga akan memberikan tanah makam ini. Bung Karno tidak seperti itu, tapi ingin menjadikan pelajaran kepada generasi bangsa dari keberadaan makam. Supaya generasi bangsa bisa bijak,” katanya.

Lewat Ereveld Pandu—di Indonesia terdapat 7 Ereveld—Bung Karno seperti ingin mengajak generasi bangsa bercermin kepada sejarah. Tetapi cermin ini bisa juga dilihat saat kelar dari gerbang Ereveld Pandu dan masuk ke TPU Pandu milik Indonesia yang tak rapi.

“Praktik Pancasila di kita masih belepotan padahal akarnya sudah ada, tinggal menjalankannya,” kata alumnus STSI itu.

Baca Juga: Pancasila dari Rakyat (1): Menggali Nilai Ketuhanan dan Gotong Royong dalam Seni Reak
Pers dan Pancasila: Menggali (Lagi) Pancasila di tengah Krisis

Bulannya Pancasila dan Sukarno

Kolokium Nasional Dokumentasi Pancasila dari Rakyat merupakan rangkaian peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni yang digelar PSP Unpar secara daring. Bulan Juni juga dikenal sebagai bulannya Bung Karno--perumus Pancasila--yang lahir 6 Juni.

“Juni bulannya Pancasila. Secara intens kita memikirkan dan mendiskusikan Pancasila. Sebagai refleksi untuk memperkaya pemikiran, untuk saling berbagi satu dengan yang lain dalam konteks sebagai anak bangsa,” kata Ketua PSP Unpar Andreas Doweng Bolo, saat membuka kolokium.

Pada kolokium sebelumnya yang menghadirkan seniman reak, Abah Enjum, Rektor Unpar Mangadar Situmorang menyatakan, Pancasila bukan milik elite politik atau kelompok tertentu. Pancasila adalah milik rakyat, sebagaimana Sukarno pun menggali nilai-nilai Pancasila dari rakyat.

"Pusat Studi Pancasila Unpar turut bagian menjaga dan melestarikan nilai-nilai Pancasila. Kolokium Dokumen Pancasila dari Rakyat ini menunjukkan bahwa rakyat yang memiliki, merawat, dan mempraktikkan nilai-nilai Pancasila. Perdebatan di tingkat elite tidak akan menghapus nilai-nilai itu di tengah masyarakat dan budaya kita," ungkap Mangandar.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//