• Berita
  • Pancasila dari Rakyat (1): Menggali Nilai Ketuhanan dan Gotong Royong dalam Seni Reak

Pancasila dari Rakyat (1): Menggali Nilai Ketuhanan dan Gotong Royong dalam Seni Reak

Pancasila bukan milik elite politik atau kelompok. Pancasila adalah milik rakyat, sebagaimana Sukarno pun menggali nilai-nilai Pancasila dari rakyat.

Kolokium Nasional Dokumentasi Pancasila dari Rakyat oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, bertepatan dengan hari lahir Pancasila, Selasa, 1 Juni 2021. Dari kiri ke kanan, Topik Mulyana, dosen dari PSP Unpar; Edy Syahputra Sihombing (moderator); Abah Enjum pendiri Sanggar Reak Tibelat, Cibiru. (Dok Unpar)

Penulis Iman Herdiana1 Juni 2021


BandungBergerak.idSukarno menggali Pancasila dari nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat Nusantara, termasuk di dalam keragaman seni tradisional yang dipentaskan suku-suku bangsa dari Sabang sampai Merauke. Nilai-nilai ini, misalnya, tercermin dalam seni reak dogdog kuda lumping yang tumbuh di Cibiru, Kota Bandung.

Di dalam seni reak, ada gamelan atau waditra berupa dogdog yang terdiri dari lima jenis, mulai dogdog ukuran kecil sampai dogdog ukuran besar bernama bedug. Komponen reak lainnya adalah bangbarongan, yaitu topeng barong dengan wajah berwarna merah. Pementasan seni reak selalu diawali ritual, bahkan pemainnya bisa kesurupan atau mengalami trans.

Hubungan seni tradisional reak dengan Pancasila dibedah dalam Kolokium Nasional Dokumentasi Pancasila dari Rakyat oleh Pusat Studi Pancasila Unversitas Katolik Parahyangan (PSP Unpar), Bandung, bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila, Selasa, 1 Juni 2021.

Sebagaimana diungkap perumus Pancasila, Sukarno, inti dari Pancasila adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai-nilai ini digali dari kearifan lokal yang tumbuh dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat religius yang sadar akan ketuhanannya. Mereka juga menjalankan tradisi gotong royong. Di dalam tradisi ini terdapat nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

Pendiri Sanggar Reak Tibelat, Enjang Dimyati atau akrab disapa Abah Enjum, yang menjadi narasumber seri pertama Kolokium Nasional Dokumentasi Pancasila dari Rakyat, mengatakan bahwa seni reak sarat dengan nilai ketuhanan dan gotong royong itu. Begitu juga dengan seni tradisi yang tumbuh di banyak tempat di Indonesia.

"Dalam seni reak ada gotong royong, kemanusiaan, adil dan adab, semuanya sudah menyatu. Kadang kitanya yang tidak sadar dengan nilai yang sudah biasa kita jalankan sehari-hari dalam kesenian. Padahal yang membuat Pancasila adalah masyarakat seni," papar Abah Enjum.

Masyarakat yang menonton seni reak maupun tradisi lainnya diharapkan tak sekadar mencari hiburan, tapi turut memaknai nilai-nilai kearifan lokal di balik pertunjukannya. Nilai-nilai tersebut mengalir dalam lakon, kawih, musik, ritual, dan lain-lain.

Enjum mengatakan, seni reak atau kesenian tradisional erat kaitannya dengan ritual sebagai pembuka. Praktik ritual sendiri merupakan simbol hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam masyarakat tradisional, ritual sudah lazim menggunakan media perantara seperti kemenyan, minuman tradisional, dan lain-lain. Ritual ini bagian dari proses memanusiakan manusia, atau dalam istilah Sunda disebut menjadikan 'jelema' sebagai manusia yang sempurna, yang sadar akan nilai-nilai kemanusiaannya.

Setelah ritual dilakukan, maka pentas pun digelar. Saat pentas inilah terjadi hubungan manusia dengan manusia. Dalam seni reak, para pemain dogdog harus bersatu untuk menghasilkan irama yang selaras atau 'surup', sehingga penari, pemain bangbarongan, dan kuda lumping bisa menari sesuai irama. Tanpa persatuan dan gotong royong, musatahil suatu kesenian bisa menyajikan tontonan yang menarik bagi penonton.

Enjum tidak menampik, bahwa kesenian tradisional yang tumbuh di masyarakat seringkali hanya sebatas tontonan dan hiburan.

"Itu menjadi tantangan pelaku seni, bagaimana memperkenalkan tata titi duduga prayoga-nya (nilai-nilainya) kepada masyarakat dan generasi penerusnya," tuturnya.

Sukarno mampu menangkap nilai-nilai yang tumbuh dan dipraktikkan rakyat Indonesia. Ini artinya nilai-nilai Pancasila sudah ada sebelum perumusan teks-teks Pancasila itu sendiri.

"Tatanan kehidupan kita sudah menyatu dengan Pancasila, tinggal dilaksanakan, bukan sekadar kamuflase," ujar Enjum.

Narasumber lainnya, Topik Mulyana, dosen yang aktif di PSP Unpar, menambahkan dewasa ini terdapat jurang antara Pancasila sebagai teks-teks falsafah dan kehidupan sehari-hari di masyarakat. Masyarakat Indonesia melalui seni tradisi sebenarnya sudah akrab dengan nilai-nilai Pancasila yang diturunkan leluhur dan kemudian dikonsepkan oleh Sukarno.

"Teks di sini dalam wacana akademik, sebagai pelajaran, mata kuliah yang formalistik. Masyarakat mungkin berjaraknya di situ. Padahal bisa jadi mereka itu pelaksananya," katanya.

Pancasila merukapan nilai-nilai yang sangat padat dan luhur sehingga perlu upaya untuk menurunkan dan menggalinya. Melalui seni reak, nilai-nilai Pancasila digali dan dilaksanakan.

Topik beberapa kali berkunjung ke Sanggar Reak Tibelat yang berlokasi di kawasan Cibiru. Di sana ia menyaksikan langsung bagaimana praktik-praktik Pancasila diajarkan pada anak-anak melalui Sekolah Santun yang didirikan Abah Enjum. Sekolah Santun merupakan sekolah non-formal yang mengajarkan tradisi atau kearifan lokal Sunda. Melalui sekolah ini, anak-anak belajar seni reak, belajar etika lokal Sunda, dan juga membahas pelajaran formal dari sekolah yang dibimbing mentor.

"Seni reak adalah artefak budaya yang di dalamnya mengalirkan nlai-nilai Pancasila. Memang mungkin tidak terlihat, karena aliran itu ada di dalam atau dikemas," papar Topik.

Baca Juga: Pers dan Pancasila: Menggali (Lagi) Pancasila di tengah Krisis
Mahasiswa Asing Belajar Seni Reak Demi Bisa Kesurupan

Pancasila Milik Rakyat

Rektor Unpar Mangadar Situmorang menyatakan, Pancasila bukan milik elite politik atau kelompok tertentu. Pancasila adalah milik rakyat, sebagaimana Sukarno pun menggali nilai-nilai Pancasila dari rakyat.

"Pusat Studi Pancasila Unpar turut bagian menjaga dan melestarikan nilai-nilai Pancasila. Kolokium Dokumen Pancasila dari Rakyat ini menunjukkan bahwa rakyat yang memiliki, merawat, dan mempraktikkan nilai-nilai Pancasila. Perdebatan di tingkat elite tidak akan menghapus nilai-nilai itu di tengah masyarakat dan budaya kita," ungkap Mangandar, saat membuka kolokium.

Ketua PSP Unpar Andreas Doweng Bolo juga menambahkan diskursus akademik maupun politik seringkali melupakan Pancasila yang sejatinya lahir dari rakyat. Artinya, Pancasila bukan milik sekelompok orang, bukan pula senjata atau alat untuk meredam atau memburu yang lain.

"Pancasila sebagai falsafah kita, jembatan emas, ideologi, dan dasar negara. Di sini tugas kita semua untuk menjaganya bersama dan mewariskan kepada anak cucu kita," tandasnya. 

Kolokium Hari Lahir Pancasila yang digelar secara virtual dipandu Edy Syahputra Sihombing. Diharapkan lewat kolokium ini terjadi revitalisasi nilai-nilai Pancasila di tengah zaman yang terus berubah.

"Mari kita rayakan budaya kita sehari-hari karena dari situlah Pancasila dilahirkan dan tumbuh sampai hari ini," katanya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//