• Budaya
  • Mahasiswa Asing Belajar Seni Reak Demi Bisa Kesurupan

Mahasiswa Asing Belajar Seni Reak Demi Bisa Kesurupan

Sejumlah mahasiswa asing datang ke Sanggar Reak Tibelat, Bandung. Mereka main kuda lumping dan bangbarongan lalu kesurupan.

Pertunjukan Sanggar Reak Tibelat (Dok Youtube Hermana HMT)

Penulis Iman Herdiana20 Maret 2021


BandungBergerak - Seorang mahasiswa Jepang datang ke Sanggar Reak Tibelat, Bandung. Ia ingin masuk ke dalam bangbarongan sampai kesurupan.

Reak adalah kesenian tradisional yang terdiri dari dogdog, kuda lumping, dan bangbarongan-topeng barong. Pemain bangbarongan maupun kuda lumping biasa kesurupan ketika seni reak dimainkan.

Menurut Bah Nzoem, pemimpin Sanggar Reak Tibelat, mahasiswa Jepang yang ingin trans itu datang ke sanggarnya yang beralamat di Kecamatan Cibiru atas rekomendasi Tisna Sanjaya, seniman sekaligus dosen FSRD ITB.

Mahasiswa jurusan seni dari kampus Jepang itu harus melakoni sejumlah syarat dari Mbah Nzoem sebelum bisa trans ke dalam bangbarongan. Dia harus residensi atau nyantrik selama 6 hari di Sanggar Reak Tibelat.

Enam hari kemudian dia datang lagi dan bisa main seni reak. Namun dia hanya bertahan 5 menit dalam kostum bangbarongan yang menyeramkan seperti barongsai itu, sebelum akhirnya pingsan.

Saat kesurupan, tutur Bah Nzoem, mahasiswa tersebut meracau dalam bahasa Jepang kuno, bahkan penerjemahnya tidak memahaminya.

Bah Nzoem yang sudah terbiasa menyadarkan orang kesurupan, awalnya bingung juga menghadapi mahasiswa asing yang kesurupan. Akhirnya ia mencari media universal yang bisa menyatukan rasa, yaitu air. “Alhamduillah dia sadar,” kata Bah Nzoem, di Sanggar Reak Tibelat, Februari lalu.

Kepada Bah Nzoem si mahasiswa bercerita pengalaman trans selama berada di dalam bangbarongan. Katanya dia melihat cahaya kuning yang mengeluarkan naga dan singa, lalu cahaya merah yang mengeluarkan harimau, dan cahaya hitam yang mengeluarkan sosok sangat menakutkan yang bikin dia pingsan.

Pengalaman bermain bangbarongan itu menginspirasi mahasiswa tersebut untuk bikin lukisan. Terlepas dari kisah mistik tersebut, menurut Bah Nzoem, antusiasme mahasiswa Jepang terhadap seni reak sedemikian tinggi sampai-sampai mau mengalaminya langsung.

“Orang Jepang sampai segitu antusiasnya pada kesenian kita. Mereka tidak puas hanya menonton, tapi ingin mengalami langsung dan membuat karya dari pengalamannya itu,” katanya.

Kedatangan mahasiswa Jepang tak lepas dari stategi Sanggar Reak Tibelat untuk melakukan kolaborasi dengan seniman lain sejak 2010. Kolaborasi ini membuahkan hasil ketika festival seni tradisi di Cihideung, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Di festival itu Bah Nzoem mulai bekerja sama dengan seniman Tisna Sanjaya. Selanjutnya mereka pentas seni di Galeri Nasional.

Sejak kolaborasi, jumlah pentas reak yang digelar Sanggar Reak Tibelat meningkat. Sebelumnya, sanggar ini hanya bisa pentas sekali dalam sebulan. Setelah kolaborasi, jumlah pentas meningkat menjadi 28 sampai 34 kali dalam setahun.

Aktivitas Sanggar Reak Tibelat juga memancing perhatian mahasiswa dari dalam dan luar negeri. Mahasiswa yang ingin kesurupan ternyata bukan dari Jepang saja, melainkan ada yang dari New York, Amerika Serikat, Australia, Lebanon, dan lain-lain.

Mahasiswa dari kampus di dalam negeri juga tak sedikit yang datang untuk melakukan penelitian ilmiah, skripsi dan tesis. Pada 2017, Bah Nzoem dan Tisna Sanjaya terbang ke Australia untuk pentas di The University of Melbourne. Ini adalah pentas pertama Sanggar Reak Tibelat di luar negeri.

Rajah bulan purnama 

Sanggar Reak Tibelat berlokasi di pinggiran Kota Bandung. Posisinya masuk ke sebuah jalan kecil tak jauh dari bundaran Cibiru, tepanya di Kampung Jati RT 04 RW 06 Pasirbiru.

Jalan Pasirbiru kecil dan menanjak. Di ujung tanjakan ada gang kecil yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Di sana, di tengah permukiman Bandung timur yang padat, Bah Nzoem membuka sanggarnya.

Sanggar menempati lahan 10x5 meter persegi. Jumat, 26 Februari 2021, Sanggar Reak Tibelat berulang tahun yang ke-15. Peringatan ulang tahun digelar sederhana dan dihadari undangan dari komunitas seni atau padepokan, masyarakat adat dari Dayak, Bali dan Palembang. Jumlah hadirin sekitar 20 orang.

Acara bertajuk “Gelar Adat Kabuyutan Ngabungbang Caang Bulan Purnama Setra Galih dan Milangkala Sanggar Reak Anu ka-15 Taun” itu dibuka kawin Sunda diiringi kecapi dan rebab. Kawih yang disuguhkan antara lain Rajah Bubuka, Kembang Gadung, Sri Pohaci, Kidung Manglayang.

Semua lagu tersebut sebagai prosesi tradisional yang biasa dilakukan masyarakat Sunda tempo dulu saat akan menggelar acara. Tradisi ini dilakukan untuk memohon izin kepada Yang Kuasa.

Setelah rajah pembuka, acara dilanjutkan ngarekes atau doa bersama. Ngarekes diakhiri dengan bersalaman dan pembekalan kembang setaman dan air yang bersumber dari lima mata air. Acara diitutup Kidung Buni Wangi dan Longsor Sajen, yakni makan nasi tumpeng dan ngobrol bersama.

Menurut Bah Nzoem, acara “Gelar Adat Kabuyutan Ngabungbang Caang Bulan Purnama Setra Galih” rutin digelar sebulan dua kali, tiap tanggal 14 dan 29 hijriah bertepatan dengan purnama dan bulan tenggelam. Kebetulan acara kali ini bertepatan dengan ulang tahun sanggar.

Ritual tradisi Sanggar Reak Tibelat, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. (Foto: Iman Herdiana)
Ritual tradisi Sanggar Reak Tibelat, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. (Foto: Iman Herdiana)

Perjalanan Sanggar Reak Tibelat

Bah Nzoem mendirikan Sanggar Reak Tibelat pada 2000. Berawal dari keinginan melestarikan seni tradisi. Secara tradisional, reak terdiri dari dogdog dan angklung yang mengiringi bangbarongan dan kuda lumping. Mengikuti perkembangan zaman, Sanggar Reak Tibelat berinisiatif menambah terompet, kawih, dan tarian.

Sanggar Reak Tibelat awalnya beranggota 25 orang yang kebanyakan warga sekitar Cibiru. Waktu itu, tarif pentas sanggar hanya Rp600.000. Mereka biasa pentas dari hajatan ke hajatan. Mereka pentas di jalanan diiringi warga yang menonton.

Berdirinya Sanggar Reak Tibelat mendapat respons cukup baik dari masyarakat setempat. Meski ada juga yang memandang miring kesenian ini sebagai pertunjukan yang liar di jalan.

Dari pentas jalanan dan hajatan, sanggar ini berhasil membeli waditra atau gamelan sederhana. Sanggar pun masih menempel dengan rumah Bah Nzoem.

Bah Nzoem berpikir, untuk mempertahankan seni tradisi diperlukan kolaborasi dan inovasi agar kesenian yang digerakkannya bisa mengikuti perkembangan zaman. Tahun 2010, sanggar ini mulai berkolaborasi.

Seni Reak Tibelat pun mulai memakai konsep penari, seni tarawangsa, kecapi, rebab. Sehingga seni ini tak selalu identik dengan bangbarongan dan kuda lumping kesurupan, melainkan juga ada nada dan kawih.

Pentas Sanggar Reak Tibelat tidak lagi dari hajatan ke hajatan karena mereka sudah merambah pentas ke mall dan pelbagai tempat kesenian di Indonesia.

Tahun 2014 Sanggar Reak Tibelat membikin akta notaris sehingga bisa mengajukan hibah ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Legalitas ini penting untuk mendapat program-program bantuan dari pemerintah.

Sanggar Reak kemudian mendapat dana hibah Rp100 juta yang dipakai untuk membangun sanggar. Tahun 2019, seni reak dogdog resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia (RI).

Bagi Bah Nzoem, penetapan tersebut menjadi motivasi sekaligus menambah tanggung jawab seniman untuk terus merawat dan melestarikan.

“Seni reak harus terus dirawat. Jika tidak, penetapan warisan budaya ini bisa dicabut. Ini PR saya pribadi juga masyarakat khususnya di Bandung, agar seni reak lebih maju dan unggul,” katanya. 

Ujian berat untuk seni tradisi muncul pada 2020 dengan terjadinya pandemi Covid-19. Hajatan dan pertunjukan seni sangat dibatasi demi mengurangi penularan Covid. 

Banyak seniman tradisi yang terpukul sampai harus menjual peralatan pentas mereka, ada yang menjual gamelan, anggota mereka nganggur. Sementara bantuan dari pemerintah tidak merata. 

Padahal menurut Undang-undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5/2017, pemerintah memiliki kewajiban memulihkan karya budaya. “Sampai sekarang seniman tradisi berat. Sedangkan pemerintah diamanatkan Undang-undang untuk membantu seniman khususnya seni tradisi,” katanya. 

Dari Reog ke Reak 

Bah Nzoem bilang, seni reak konon sudah ada sejak abad ke-18 di Tanah Air. Bahkan ada yang bilang kesenian ini sudah hidup di zaman kerajaan Sunda masa Kian Santang. Setelah ditelusuri, seni ini bersifat lungsuran dari berbagai daerah. 

Di Indramayu dan Cirebon, ada seni barokan yang formasi permainannya mirip reak. Di Brebes ada juga seni obrok-obrok dan buraq yang konsepnya mirip reak. Semakin ke timur, ada seni reog. Diduga seni reog dan turunannya inilah yang sampai di Bandung menjadi seni reak. 

Menurut Bah Nzoem, di Indramayu dan Cirebon seni barokan dipakai sebagai penolak bala oleh masyarakat pantai atau nelayan. Kesenian ini lalu dibawa para pedagang ke daerah Sumedang, dari Sumedang dibawa lagi ke Bandung termasuk ke wilayah Rancaekek dan Cibiru. 

Seni reak masuk Cibiru sekitar tahun 1970, juga melalui pedagang. Di Tatar Bandung, seni reak awalnya sebagai kesenian agraris terkait pertanian dan panen. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kesenian ini menjadi industri mengingat sawah-sawah di Bandung terus banyak yang tergerus pembangunan. 

Seni reak sempat dipandang miring oleh sebagian masyarakat. Bahkan ada yang mengait-ngaitkan dengan partai komunis di masa lalu. Bahkan sampai sekarang, reak masih dikaitkan dengan partai atau politik. 

Padahal menurut Bah Nzoem, seni reak adalah seni pertunjukan yang sangat bergantung pada undangan pentas, termasuk dari partai politik. Ketika Pilpres beberapa waktu lalu, seni reak diundang pentas oleh salah satu pasangan capres. Sanggar reak ini pun dituding sebagai pendukung capres tertentu. 

Bah Nzoem menegaskan, seni pertunjukan mirip jualan. Seniman atau pelaku seni yang hidup dari panggung ke panggung, akan menerima undangan pentas dari mana dan siapa pun, tanpa harus berafiliasi secara politik. 

“Seniman itu jualan, siapa yang beli dilayani. Ga bisa ditolak. Sekarang partai A, besok bisa partai B. Itulah kebebasan di dalam kesenian. Cuma kadang orang-orang suka main cap seenaknya,” katanya. 

Kegiatan teranyar Sanggar Reak Tibelat mengisi webinar yang diselenggarakan Universitas Prahyangan (Unpar), Bandung, yang membahas nilai-nilai Pancasila pada seni reak. Webinar ini bentuk kolaborasi seniman tradisi dengan dunia akademi. 

Kolaborasi adalah kunci bagi kesenian tradisional agar bertahan di tengah perubahan zaman. “Sanggar Reak Tibelat bisa maju dan bertahan sampai 15 tahun sabab berusaha ngigelan zaman dan ngigeulkeun zaman, itu kuncinya. Kalau tidak bisa mengikuti zaman wasalam,” katanya.

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//