Pers dan Pancasila: Menggali (Lagi) Pancasila di tengah Krisis
Bukan memberitakan segala yang dimaui pemerintah, tugas pers adalah mengingatkan kalau jalannya pemerintahan tidak lagi lurus. Termasuk ketika Pancasila dicatut.
Tri Joko Her Riadi
Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id
1 Juni 2021
BandungBergerak.id - Pancasila tidak lahir dalam kenyamanan. Ilham tentang butir-butirnya merupakan buah permenungan panjang dari balik sel penjara dan pulau pembuangan. Perumusan dan penetapannya sebagai dasar negara disepakati lewat debat dan diskusi yang alot. Semua itu terjadi di bawah pemerintahan kolonial yang akrab dengan kebijakan pembatasan dan bahkan pelarangan.
Kini, ketika republik sudah berdaulat dan Pancasila kokoh sebagai dasarnya, perjuangan terberat adalah mencari relevansinya bagi hidup keseharian warga. Era penjajahan sudah berlalu, tapi krisis datang silih-berganti. Pandemi dalam satu tahun terakhir melahirkan krisis di banyak bidang kehidupan, mulai dari ekonomi hingga sosial-politik.
Terus berulangnya tragedi penyitaan buku, pembubaran diskusi, dan pengekangan kebebasan berekspresi, yang belakangan ini bahkan disertai dengan teror-teror jenis baru di ranah digital, menghadirkan wajah lain krisis. Di zaman penuh krisis seperti inilah, usaha menggali lagi Pancasila menjadi penting.
Dari Banceuy, Ende, ke Sidang BPUPKI
Kepada wartawan Amerika Cindy Adams dalam rangkaian wawancara di tahun-tahun terakhirnya sebagai presiden, Sukarno mengakui sudah berpikir tentang landasan tempat Republik berpijak sejak dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung, yang ia sebut sebagai “kuburanku yang gelap”, pada penghujung 1929. Dari sel yang sama itu, lahir dokumen pledoinya yang masyhur di hadapan pengadilan: Indonesia Menggugat. Sukarno lalu secara puitis menyebut momen datangnya sebuah ilham tentang Pancasila ketika ia duduk merenung di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut selama tahun-tahun pembuangannya di Ende, Flores.
“Aku tidak mengatakan bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah,” ujar Sukarno, tertulis dalam buku biografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966).
Sukarno berlabuh di Ende pada 14 Januari 1934. Bersama keluarga, ia tinggal di Ambugaga, sebuah kampung nelayan. Meski tanpa borgol atau kurungan di balik terali besi, empat tahun pembuangan di Ende, yang disebut Sukarno sebagai ujung dunia, tetaplah masa krisis. Ia, yang ketika itu merupakan tokoh sentral pergerakan nasional, dicerabut begitu saja dari lingkungan aktivisme yang menjadi jalan hidupnya: berdiskusi, menulis dan menerbitkan, berorganisasi, serta menggalang massa. Sukarno menggambarkan bulan-bulan pertamanya di Ende “sangat menyiksa”. Itulah bulan-bulan ketika “batin kami dirobek-robek tak kenal ampun setiap jam setiap detik”.
Dijauhkan dari urusan politik, Sukarno menekuni laku budaya dan spiritual. Ia melukis dan mementaskan lakon tonil bersama warga kampung. Dengan misionaris Katolik asal Eropa yang tinggal di tetangga kampung, Sukarno banyak berdiskusi. Dengan A. Hassan di Bandung, ia berkorespondensi. Pengasingan memberikan kelonggaran waktu yang cukup untuk merenungkan semuanya itu.
Penuturan tentang ‘turunnya ilham di pohon sukun’ kepada Cindy Adams sangatlah khas Sukarno. Ia, yang mengaku senang dengan hal-hal yang simbolik, mengerti betul bahwa narasi seperti itu efektif membumikan gagasan yang demikian besar sehingga gampang dimengerti orang kebanyakan. Ketika merumuskan ajaran tentang pembelaan bagi kelas bawah kaum terjajah di Hindia Belanda, Sukarno membuat narasi tentang petani di pinggiran selatan Bandung yang ia sebut bernama Marhaen. Orang tentu bisa mendebat bahwa nama Marhaen terdengar agak aneh disematkan ke petani Priangan dan bahwa Marhaen lebih pas sebagai akronim nama tiga raksasa sosialisme: Marx-Haegel-Engels.
Kelima mutiara yang datang kepadanya sebagai ilham itulah, “Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi, Keadilan sosial, dan Ketutahanan yang Maha Esa”, yang disampaikan Sukarno dalam sidang Badan Penyeledidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Pidatonya yang gilang-gemilang di hari yang kemudian kita peringati sebagai Hari Lahir Pancasila itu memuncaki rangkaian diskusi dan perdebatan alot selama empat hari sidang dalam kata mufakat. Pancasila ketika itu adalah dasar negara republik yang entah kapan bakal memperoleh kemerdekaannya (dari Jepang).
Sumbangan Pers
Diskusi di sidang BPUPKI itu, yang sayangnya tidak terdokumentasikan secara paripurna, berlanjut ke diskusi-diskusi lain di tempat lain dengan tokoh-tokoh yang berlainan pula. Ada yang menghasilkan mufakat bulat, ada yang bersepakat untuk terus saling beradu pendapat.
Pada pertengahan Juli 1981, mencuat sebuah diskusi panjang tentang riwayat ‘penggalian’ Pancasila yang dipicu penerbitan buku Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara karangan Nugroho Notosusanto. Dua kesimpulan sejarawan militer ini mengundang polemik hebat. Pertama, Pancasila sebagai dasar negara lahir pada 18 Agustus 1945, bukan 1 Juni karena tanggal itu lebih tepat disebut sebagai kelahiran Pancasila-nya Sukarno. Kedua, Sukarno bukanlah penggali satu-satunya Pancasila karena ada nama lain, di antaranya Muhammad Yamin dan Supomo.
Buku setebal 68 halaman itu mengundang gelombang polemik di berbagai surat kabar selama beberapa pekan. Yayasan Idayu mengumpulkan artikel-artikel itu, yang dilengkapi juga dengan beragam reportase terkait dan surat pembaca, lalu menerbitkannya dalam sebuah buku, Sekitar Tanggal dan Penggalinya (1981). Edisi keduanya, “dalam bentuk lebih baik dan isi yang lebih lengkap”, diedarkan untuk publik mulai Oktober 1981.
Saking panas dan pentingnya polemik ini, naskah Nugroho, yang juga memimpin pembuatan ‘buku putih’ G30S versi militer, perlu untuk dimuat di beberapa surat kabar sekaligus, seperti Merdeka, Angkatan Bersenjata, Kompas, Sinar Harapan, Suara Karya, dan Pos Kota. Ada yang memuatnya utuh secara berseri, ada yang menampilkan perasannya saja.
Tanggapan pro dan kontra untuk karya Nugroho datang dari segala penjuru. Kritik tajam mengarah ke metode dan pemilihan sumber penelitian sang sejarawan. Ia dianggap terlalu bertumpu pada naskah Muhammad Yamin, terutama pidatonya di sidang BPUPKI pada 29 Mei, yang oleh tidak sedikit orang diragukan kredibilitasnya. Seorang peneliti sejarah bahkan menyebut karya Nugroho itu tidak lebih dari “pamphlet poltiik”. Ada banyak nama tokoh yang urun pendapat dalam polemik ini, seperti sejarawan Ong Hok Ham, budayawan Goenawan Mohamad, dan banyak tokoh lain.
Di tangan pers, lewat reportasenya, bahasan tentang kontroversi buku Nugroho meluas hingga persoalan serius yang juga masih relevan hingga hari ini: data dan arsip. Banyak dokumen-dokumen penting Indonesia menghilang. Selain naskah seputar lahirnya Pancasila, dokumen asli Supersemar juga raib. Teks proklamasi pun nyaris hilang.
Buku kliping Sekitar Tanggal dan Penggalinya, menurut saya, mengawetkan dua hal berharga. Pertama, adu pendapat sepanas apa pun harus mendapatkan tempat di negara demokrasi. Justru inilah iklim intelektual yang dibutuhkan negeri agar bergerak maju. Keliru kalau gara-gara Nugroho adalah sejarawan militer yang bekerja untuk pemerintah, lantas kritik-kritik untuk karyanya dibungkam.
Hal berharga kedua adalah pers yang menyediakan wadah luas bagi tumbuhnya dinamika intelektual itu. Kritik-kritik untuk karya Nugroho, yang sebagiannya pedas betul, dimuat agar bisa dibaca oleh sebanyak mungkin khalayak. Kalau memang Nugroho keliru dalam metodologi sehingga bukunya jatuh dalam propaganda alih-alih penulisan sejarah, pers pertanggung jawab menyampaikan koreksinya.
Peran pers, yang di era Ode Baru dilabeli dengan “Pers Pancasila” atau “Pers Pembangunan” atau “Pers Nasional yang Pancasilaistik”, bukan memberitakan segala yang dimaui pemerintah. Justru tugas para kuli tinta adalah mengingatkan kalau jalannya pemerintahan tidak lagi lurus. Kalau kepentingan sekelompok elite mulai menyingkirkan kepentingan masyarakat luas. Termasuk ketika nama Pancasila dicatut dalam kezaliman seperti itu. Pers bekerja agar mereka yang diberi kekuasaan untuk mengelola negara melakukannya secara bertanggung jawab.
Inilah, menurut saya, sumbangan terbaik yang bisa diberikan pers untuk sebuah Republik yang berdasarkan Pancasila. Sumbangan yang hanya mungkin jika negara demokrasi ini berkomitmen menjamin kebebasan berpendapat warganya sebagai penghormatan atas hak asasi manusia yang secara tegas diamanatkan dalam konstitusi.
Maka, ketika kebebasan berpendapat itu hari-hari ini semakin terancam, ketika suasana krisis semakin parah, ketika nilai-nilai Pancasila mendesak untuk digali lagi agar tetap relevan, pers harus berani tampil mengingatkan dengan suaranya yang lebih lantang.