• Opini
  • Jejak Islamisasi di Tatar Sunda dalam Peribahasa dan Mitos

Jejak Islamisasi di Tatar Sunda dalam Peribahasa dan Mitos

Kian Santang, anak Prabu Siliwangi, konon bertemu dengan sahabat Nabi Muhammad. Padahal secara historis, perbedaan zamannya sangat jauh.

Muhammad Akmal Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN SGD Bandung dan Jurnalis BandungBergerak.id sejak 12 Juni 2022

Menara Masjid Agung, Bandung, Selasa (30/3/2021). Masjid Agung merupakan peninggalan sejarah yang masih berdiri hingga kini. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

30 September 2021


BandungBergerak.idPada tahun 1967 di Bandung dalam acara Riungan Masyarakat Sunda, Endang Saifuddin Anshari atau yang biasa disapa Ama Endang menyimpulkan perkataan yang membuat sastrawan Ajip Rosidi terinspirasi bahwa, “Sunda teh Islam, Islam teh Sunda”. Kemudian Ajip meneliti dalam dua buku Saratus Paribahasa Jeung Bahasan  yang terdiri dari lima jilid karya Mas Nataswisastra cetakan 1 Jakarta tahun 1914  dan buku Bahasan jeung Paribahasa Sunda karya Samsoedi cetakan Jakarta tahun 1950-an.

Dalam kedua karya tersebut Ajip menemukan 16 peribahasa sunda Islam dari 500 lebih peribahasa Sunda, di antaranya: hirup di dunya darma wawayangan, mulih ka jati mulang ka asal, kokoro nyoso malarat rosa lebaran teu meuncit hayam. Berarti tidak sampai 4 persen pandangan hidup orang Sunda bisa disebut Islami seperti yang disebut oleh Endang Saifuddin Anshari.

Bila diartikan dan dimaknai jelas 16 peribahasa sunda Islam seperti mulih ka jati mulang ka asal, yang memiliki terjemah kalimat: kembali ke tempat asal. Artinya: meninggal dunia. Berdasarkan penjelasan Ajip Rosidi, peribahasa Sunda Islam ini memilki konsepsi sangat Islami bahwa setelah meninggal manusia kembali ke tempat asalnya, ke rahmatullah, Inna lillahi wa inna lillahi rojiun.

Sebagaimana yang kita tahu bahwa peribahasa mencerminkan kepribadian bangsa yang memilikinya, dalam hal ini Ajip Rosidi mencoba meneliti peribahasa yang tidak bermuatan Islami akan tetapi memiliki kandungan akhlak seperti mengajak kepada kebaikan dan tidak berbuat kejelekan, sebagai yang akan kita lihat berikut ini: Asa aing uyah kidul dan malapah gedang.

Asa aing uyah kidul artinya sombong, angkuh, merasa paling hebat seperti garam dari lautan selatan (bahasa Sunda, kidul adalah selatan) dianggap lebih asin daripada garam yang dibuat dari lautan lain. Pribahasa malapah gedang memiliki arti tidak menanyakan kepada intinya, melainkan mulai dengan hal-hal lain yang sedikit demi sedikit menuju maksud yang sebenarnya, sehingga yang ditanya atau diajak berbicara tidak merasa tertekan.

Ajip menilai bahwa peribahasa yang mengajak kepada kebaikan seperti malapah gedang dan mengajak menghindari keburukan seperti asa aing uyah kidul terdapat nilai-nilai keislaman, dan pendapat yang dituturkan oleh Endang Saifuddin Anshari, “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” tidak bertentangan dengan hasil pengamatan peribahasa Sunda.

Lantas dari pemaparan Ajip Rosidi di atas bisa dilihat pada tulisan Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Nampak dalam Peribahasa, dalam buku Pergumulan Islam Dengan Kebudayaan Lokal Tatar Sunda (2005). Dan timbul suatu pertanyaan bagaimana proses Islamisasi di Tatar Sunda?

Baca Juga: Riwayat Awal Sarekat Islam Bandung
Pidato Suwardi Suryaningrat dalam Vergadering Sarekat Islam Bandung
Haji Hasan Mustapa Menjadi Penasihat Sarekat Islam Bandung
Menggali Warisan Ajip Rosidi

Sejarah Islamisasi di Tatar Sunda

Melihat peribahasa Sunda yang mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan Islam tentu ini merupakan keberhasilan dakwah yang dilakukan oleh pendakwah seperti Sunan Gunung Jati. Namun, Sunan Gunung Jati bukan orang pertama yang membawa Islam.

Tiar Anwar bachtiar dalam buku Jas Mewah (2018) menjelaskan berdasarkan sumber-sumber sejarah tradisional, Islam di Tatar Sunda pertama kali dibawa oleh Bratalegawa yang merupakan putra kedua Prabu Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, raja Kerajaan Galuh. Bratalegawa memilih menjadi seorang pedagang yang melakukan pelayaran ke Sumatra, China, India, Sri Langka, sampai negeri Arab. Kemudian Bratalegawa menikah dengan Fatimah binti Muhammad, dan masuk Islam. Setelah masuk Islam, Bratawelegawa menunaikan ibadah haji yang kemudian sosoknya dikenal sebagai Haji Burhanuddin atau Haji Purwa (purwa artinya awal).karena di Kerajaan Galuh dia orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji.

Selain dikenal dengan nama Haji Purwa, ia indentik dengan sebutan Syaikh Maulana Saifuddin. Menurut Nina Lubis dalam Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat (2011), Haji Purwa ketika di Kerajaah Galuh berusaha mengislamkan adiknya, namun gagal. Akhirnya Haji Purwa meninggalkan Galuh dan menetap di Cirebon Girang.

Selain Haji Purwa, ada pula Walangsusang alias Ki Samadullah atau Syaikh Abdul Iman, anak dari penguasa Padjadjaran dari istri Nyai Subang Larang. Mitosnya, Walangsusang bertertemu dengan Nabi Muhammad shallallahu’ alaihi wa sallam. Tokoh lain yang dikenal di Priangan dengan nama Kian Santang anak Prabu Siliwangi yang konon bertemu dengan sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam, padahal secara historis perbedaan zamannya sangat jauh.

Ada pula sosok Syaikh Quro yang singgah di Karawang ikut bersama rombongan kapal laksamana Ceng Ho, sementara Ceng Ho melanjutkan misinya, sedangkan Syaikh Quro menetap di Karawang, kemudian mendirikan Pesantren setelah menikahi putri penguasa Karawang bernama Ratna Sondari. Syaikh Quro lantas menyebarkan Islam dengan luas.

Menurut Tiar Anwar, sumber historigrafi Tradisional itu tidak otoratif dalam perspektif sejarawan barat. Namun sumber tradisional ini dapat dipertanggung jawabkan. Berdasarkan sumber tradisional disimpulkan bahwa Islam di Tatar Sunda ada sejak abad ke 12 atau 13.

Sebelum abad 16, jelas proses islamisasi sudah terjadi di Tatar Sunda bahkan di Nusantara. Tiar Anwar mengutip Hasan Mu’arif Ambary bahwa ada lima tahapan Islamisasi. Pertama, sudah terjadi kontak perdagangan lokal ke internasional. Kedua, terjadi kontak perdagangan internasional ke lokal. Ketiga, tumbuh komintas Islam di Nusantara. Keempat, perlembagaan Islam dalam intasi politik. Dan yang kelima, surutnya kerajaan Islam oleh kolonialisme dan melakukan deislamisasi.

Pemaparan sejarah yang diungkapkan oleh Tiar Anwar begitu jelas dan  kemudian kita mendapati proses deislamisasi akibat penjajahan Barat. Dalam hal kebudayaan, Islam selalu dibenturkan dengan Sunda, namun hal itu sudah dijelaskan oleh Ajip Rosidi bagaimana falsafah hidup Sunda mempengerahui kebudayaan Sunda kontemporer.

Pada abad ke-19, seorang intelektual muslim terkemuka dari Pasundan, yaitu Haji Hasan Mustapa menulis buku Adat Istiadat Sunda.    Dalam karya tersebut, kata Tiar Anwar, dijelaskan bagaimana kebiasaan masyarakat Sunda saat melahirkan, mengkhitan, menikahkan, menanam, kematian, dan sebagainya.

Hasan Mustapa memberikan penjelasan apa pengaruh dan falsafah di balik itu dengan proprosional dalam kerangka sebagai muslim. Hal itu menunjukkan bagaimana di abad 19 seorang intelektual muslim menjadikan referensi Islam sebagai landasan berpikir. Dan pula ada peribahasa yang kuat dalam budaya Sunda yaitu kuat adat batan warah (lebih kuat adat, daripada pengajaran).

Hal ini menunjukkan adat bukanlah harga mati, bila ada pengajaran baru adat bisa berubah, atau bisa jadi adat itu sudah terlanjur dipegang jadi tidak bisa berubah walaupun ada pengajaran baru. Oleh karena itu, Sunda itu Islam, Islam itu Sunda.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//