Pidato Suwardi Suryaningrat dalam Vergadering Sarekat Islam Bandung
Dalam rapat propaganda pada 9 Februari 1913, Suwardi Suryaningrat berpidato dengan begitu berapi-api. Para peserta yang bergairah melontarkan banyak pertanyaan.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
8 Mei 2021
BandungBergerak.id - Vergadering Propaganda yang digelar pada 9 Februari 1913 menjadi momen penting dalam sejarah perkembangan organisasi Sarekat Islam Bandung. Rapat tersebut menekankan beberapa poin pokok terutama mengenai visi dan misi Sarekat Islam dalam membangun kemajuan kaum Pribumi di Hindia Belanda. Sebagai pemimpin tertinggi di tubuh SI Bandung, Suwardi tentu memiliki sebuah capaian yang mesti dikerjakan oleh segenap pengurus Sarekat Islam. Ia berpidato dengan begitu berapi-api, dan mengajak siapa pun untuk berkontribusi bagi Sarekat Islam agar kaum Pribumi dapat maju dalam aspek perdagangan dan pertanian.
“Saudara-saudara! Dalam Anggaran Dasar SI ditekankan, perdagangan dan pertanian. Dengan pertolongan Allah, perdagangan adalah kemajuan bagi seseorang. Mengapa kita melepaskan senjata itu? Apakah kita terlalu bodoh untuk itu? Itu tidak benar, karena meskipun sering disebut oleh orang Eropa sebagai ‘penduduk asli yang bodoh’, beberapa dari kita telah menjadi sosok yang baik di lembaga-lembaga studi di Belanda. Biarlah dikatakan kepada Anda bahwa kita harus mencari kekuatan, bahwa kita tidak ingin lagi menjadi ‘pribumi yang tidak dapat diandalkan’ seperti yang diambil oleh orang Belanda itu.” (De Expres 11 Februari 1913)
Pernyataan Suwardi telah membangkitkan hadirin yang mengikuti rapat itu. Ia meminta agar bangsa Pribumi, khususnya anggota Sarekat Islam, tidak bersikap inferior dalam menghadapi tantangan di bidang perdagangan dan pertanian. Ia menegaskan bahwa hasil alam yang dimiliki kaum Pribumi dapat diakses dan diproduksi dengan mudah tanpa ada pengurangan serta tekanan dari pihak mana pun.
“Saya kembali ke perdagangan. Ambil contoh tembakau. Itu dibudidayakan di Jawa oleh orang Jawa, dipetik dan dirawat lebih lanjut oleh orang Jawa, tetapi dijual oleh orang lain...dan kemudian dibeli oleh orang Jawa. Apakah Anda melakukan kesalahan? Apakah saudara tidak merasa bahwa orang lain menelan keuntungan dari keringat kami dan negara kami? Sampeu, ditanam di Jawa, dijual orang Jawa ke pabrik, di mana orang Jawa bekerja sebagai kuli, seperempat hari, pabrik menjual sampeu yang sama sepuluh kali lipat dari harga aslinya? Apa Anda suka itu?” (De Expres 11 Februari 1913)
Para hadirin yang menyaksikan pidato Suwardi tidak bisa berkata-kata. Mereka memperhatikan dengan saksama pidato sang ketua yang penuh semangat itu. Berdiri di hadapan banyak orang, membuat Suwardi terlihat yakin bahwa ia betul-betul harus menyampaikan suatu hal untuk melawan pemerintah di bidang perdagangan dan pertanian. Salah satu kritiknya menyinggung tentang penanaman dan penjualan padi ke negara-negara luar.
“Padi! Pemerintah terpaksa mengeluarkan larangan ekspor. Berdasarkan apa? Bahwa kita tidak kelaparan! Mengapa itu harus didasarkan pada pemerintah? Tidak bisakah kita menjaga diri kita sendiri? Apakah Anda merasakan kegembiraan di dalam hati ketika melihat perempuan dan anak-anak pergi ke sawah, bekerja dari pagi hingga sore hari, dan ketika Anda melihat buah keringat Anda dijual di negeri-negeri seberang lautan seharga 2-3 kali lipat nilainya? Anda membuangnya? Apakah Anda merasakan kegembiraan di dalam hati ketika Anda makan nasi Rangoon yang sudah tua dan tidak enak, ketika hasil bumi Anda jauh lebih berkualitas? (De Expres 11 Februari 1913)
Rapat propaganda yang dihadiri pengurus Sarekat Islam dan para saudagar itu memang berupaya untuk mengembangkan hasil keringat kaum Pribumi. Namun, poin yang paling utama tentu saja ajakan untuk bergabung menjadi anggota Sarekat Islam. Hal ini disampaikan oleh Suwardi dalam pidatonya.
“Saudara-saudara! Bergabunglah dengan S. I.—yang akan berusaha membuat semua itu menjadi masa lalu. Kami telah tidur selama tiga ratus tahun tanpa bangun, dan sekarang waktunya untuk membunyikan lonceng…Kumpulkan uang untuk memulai gerakan perdagangan, jangan sampai kita bergantung pada perdagangan orang lain. Lihatlah pakaian Anda, barang-barang rumah tangga Anda, makanan dan minuman Anda, yang Anda makan setiap hari, berapa banyak yang Anda beli di toko kami? Kamu bilang tidak punya modal awal? Mustahil! Toko-toko batik berbaris di Pasar Baru. Mereka milik pribumi, modal yang ditanamkan pada mereka tidak sedikit. Tetapi mengapa Anda tidak mendirikan toko lain! Apa yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan persaingan di antara penduduk asli di antara mereka sendiri?” (De Expres 11 Februari 1913)
Baca Juga: Algemeene Vergadering Sarekat Islam Majalaya
Masalah di Balik Algemeene Vergadering Sarekat Islam Bandung
Algemeene Vergadering Sarekat Islam Bandung
Beberapa Pertanyaan
Para hadirin yang turut menyaksikan memberikan tepuk tangan dengan meriah. Pidato Suwardi tampaknya membuat gairah di antara mereka yang datang ke rapat itu untuk bertukar pikiran. Sang ketua lalu membuka sesi pertanyaan. Kemudian, diajukanlah pertanyaan dari seseorang yang duduk mengenai boleh tidaknya orang Arab untuk terlibat dalam Sarekat Islam.
Sarekat Islam tentu bukan organisasi kesukuan. Pertanyaan terkait keterlibatan orang Arab tersebut dijawab Suwardi dengan tegas bahwa ia membolehkan. Kemudian, muncul lagi pertanyaan: “Apakah orang Kristen bisa menjadi anggota?” Sang ketua menjawab soal itu seraya tertawa dipenuhi tepuk tangan dari hadirin.
Wignyadisastra kemudian unjuk bicara. Ia menegaskan jawaban dari Suwardi mengenai orang Kristen yang ingin mengikuti Sarekat Islam. Menurutnya kaum Pribumi harus mulai meninggalkan agama lain dan memeluk keyakinan Islam ketika mereka ingin bergabung sebagai anggota. Pernyataan ini kemudian menimbulkan sambutan hangat dan riuh tepuk tangan.
Setelah berbagai pertanyaan diajukan kepada sang ketua, rapat pun diberi jeda untuk istirahat selama 10 menit. Lalu rapat dilanjutkan kembali dengan sebuah pertanyaan dari R. Djajasoebrata. Persoalan non-Muslim agaknya menjadi perhatian para hadirin. Djajasoebrata menanyakan kepada forum ihwal boleh tidaknya non-Muslim menjadi donatur untuk Sarekat Islam.
R. Hadiwidjojo lantas menjawab pertanyaan tersebut. Ia justru mengembalikan masalah ini kepada pengurus besar Sarekat Islam. Menurutnya, non-Muslim bisa saja ditawarkan sebagai anggota kehormatan manakala ia berjasa penuh kepada perkumpulan Sarekat Islam. Saling silang pendapat pun terjadi. Bukan hanya masalah yang sebelumnya mencuat. Bahkan urusan uang kas dan surat kabar sayap SI menjadi perbicangan.
Akhirnya masuk pada poin yang paling penting. Dibentuklah pengurus Sarekat Islam Bandung sementara yang terdiri dari R. M. Suwardi Suryaningrat sebagai ketua, A. H. Wignyadisastra sebagai wakil ketua, Abdul Muis selaku sekretaris, serta jabatan komisaris yang diisi oleh R. M. Gondosoebardjo dan R. Djamhari.
Setelah sambutan dari Suwardi dan jajaran kepengurusan sementara diumumkan, maka forum memutuskan untuk mengakhiri kegiatan itu. Rapat pun ditutup dan semua hadirin meninggalkan tempat.