Menggali Warisan Ajip Rosidi
Hawe Setiawan tertawa lepas ketika disebut sebagai pewaris “harta” peninggalan Ajip Rosidi.
Penulis Iman Herdiana30 Juli 2021
BandungBergerak.id - Ajip Rosidi meninggalkan warisan sangat melimpah yang bisa dikunjungi banyak orang hingga kini, yaitu sebuah gedung perpustakaan di Jalan Garut, Bandung. Perpustakaan ini dibangun dari dana pribadi Ajip Rosidi, termasuk dari hasil lelang 30 lukisan koleksinya.
Hawe Setiawan tertawa lepas ketika disebut sebagai pewaris “harta” peninggalan Ajip Rosidi itu. “Banyak banget yang diwariskan Ajip Rosidi untuk agenda budaya,” ujar dosen sastra Universitas Padjadjaran, tersebut, dalam bincang-bincang “Meneladani Hidup dan Karya Ajip Rosidi”, Kamis (29/7/2021) malam.
Acara yang dipandu Faiz Manshur, Ketua Yayasan Odesa Indonesia, dan digelar virtual itu bertepatan dengan satu tahun meninggalnya sang maestro, 29 Juli 2020. Ajip meninggal selang dua pekan setelah sastrawan Sapardi Djoko Damono wafat.
Apa saja warisan Ajip Rosidi? Hawe Setiawan menuturkan, sedikitnya ada empat warisan peninggalan almarhum. Pertama, Yayasan Rancage, sebuah yayasan yang dirintis tahun 80-an. Misi utama yayasan mendorong kelangsungan hidup dan perkembangan kegiatan kreatif meulis dan menerbitkan buku dalam bahasa ibu atau bahsa daerah. Khususnya bahasa Sunda.
Belakangan, garapan Yayasan Rancage merambah ke bahasa daerah lain, Jawa, Bali, Lampung, Batak, Madura, Banjar. Yayasan ini juga memberikan penghargaan kepada sastrawan yang aktif memakai bahasa ibu untuk karya yang ditulisnya.
Kedua, warisan Ajip Rosidi lainnya adalah Pusat Studi Sunda (PSS) yang juga berlokasi di area Perpustakaan Ajip Rosidi. Aktivitas utama PSS ialah mengelola perpustakaan. PSS juga berkaitan dengan warisan Ajip Rosidi yang keempat, yakni penerbitan jurnal ilmiah Sundalana, yaitu jurnal hasil penelitian tentang kesundaan.
Jurnal Sundalana seharusnya terbit setahun sekali. Namun dalam beberapa tahun belakangan ini tersendat. “Kemarin ada kesepatan dengan Unpad untuk menerbitkan Sundalana jadi jurnal internasional,” terang Hawe Setiawan.
Warisan keempat adalah program literasi budaya. Semasa hidupnya, Ajip Rosidi membayangkan ada satu tempat di mana orang bisa membaca buku khususnya buku Sunda. Di tempat tersebut ada ada kegiatan kontinyu di bidang literasi atau kebudayaan bersumber bahasa ibu.
Ajip Rosidi berharap, bahasa ibu tersebut selanjutnya turut memperkaya kebudayaan bahasa nasional. Antara bahasa daerah dan bahasa nasional mesti saling memperkaya, bukan saling meniadakan.
Selama hidupnya, Ajip Rosidi produktif menulis berbagai genre, mulai esai, puisi, terjemahan, saduran, novel, cerpen, dan lain-lain. Ajip misalnya merekam pantun-pantun Sunda yang pelaku maupun masyarakat apresiatornya semakin berkurang.
Setelah direkam, Ajip kemudian menulis transkripnya untuk dibukukan. Memang buku-buku yang ditulis dan diterbitkan Ajip belum tentu laku di pasaran. Tetapi mengenai hal ini, Hawe Setiawan mengatakan bahwa ada buku yang harus diterbitkan walaupun nantinya tidak laku.
“Ada juga buku yang akan sangat laris jika diterbitkan tapi sebenarnya buku tersebut tidak perlu diterbitkan,” ujarnya, sembari tertawa.
Prinsip itulah yang mendorong Ajip Rosidi untuk tetap produktif hingga akhir hayatnya. Selama menulis, Ajip Rosidi tidak mau ambil pusing dengan penghasilan dari buku atau tulisan yang diterbitkannya. Yang namanya rezeki sudah diatur Yang Kuasa.
Hawe bercerita, suatu hari Ajip sedang menyusun danding pujangga Sunda, Hasan Mustapa, di rumahnya daerah Jatiwangi, Majalengka. Tiba-tiba ada tetangga yang baru panen dan menitipkan berasnya yang berlebih kepada Ajip Rosidi. Tetangga tersebut bilang, berasnya boleh dipakai.
Faiz Manshur sempat melontarkan beberapa pertanyaan mendasar terhadap Hawe Setiawan, antara lain tentang bagaimana agama Ajip Rosidi.
Hawe mengatakan, mengenai bagaimana Ajip Rosidi beragama bisa dibaca dalam buku yang ditulisnya, “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-karyana” Diduga kuat Islam Ajip Rosidi dipengaruhi Hasan Mustapa, penghulu Sunda yang hidup di masa kolonial.
Selain itu, kata Hawe, Ajip Rosidi rajin melakukan puasa Nabi Daud hingga akhir hayatnya. Hawe juga mendapat informasi bahwa ada karya yang belum kesampaian oleh Ajip Rosidi bahwa dirinya sangat ingin menulis riwayat Nabi Muhammad dalam bentuk puisi.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (8): Kesaksian Otentik nan Sentimental 22 Jurnalis Pikiran Rakyat
Pustakawan UPI Perlu Belajar Menulis Buku
Lukisan dan Tanpa Ijazah
Ajip Rosidi pernah nulis esai tentang suatu karya tulis yang harus dibikin berdasarkan kesadaran. Misalnya dalam menulis novel dan pusisi, penulisnya tidak semata-mata mengandalkan imajinasi melainkan perlu didasari pengertian mendalam mengenai realitas hidup manusia yang riil, dialami, dan dilihat.
“Jadi menulis itu apa yang dilakukan di samping melakukan apa yang ditulis,” terang Hawe Setiawan.
Ajip Rosidi sendiri sejak kecil sudah gemar membaca. Hal ini mendorongnya menulis. Ia pernah belajar di Taman Siswa, selanjutnya ia menjalani prinsip hidup tanpa ijazah. Karena baginya karakter terpelajar bukan ditunjukkan oleh ijazah atau gelar, melainkan oleh karya.
Prinsip itu terbukti. Tanpa ijazah, ia menjadi dosen di universitas di Jepang, mendapat gelar profesor kehormatan dari Unpad, dan mampu meninggalkan warisan berupa perpustakaan dengan puluhan ribu buku dan dikunjungi pelbagai generasi.
Demi bisa meninggalkan warisan perpustakaan itu, Ajip membeli rumah dan tanah di Jalan Garut seharga Rp 2,75 miliar pada Desember 2010. Sebagian uang tersebut didapat dari lelang lukisan koleksinya. Sedikitnya ada 30 lukisan yang dijual, antara lain lukisan karya Affandi dan Hendra Gunawan yang dijual di Prancis dan Hongkong.