• Opini
  • Penyintas 1965: Bertahan Hidup dalam Ketersisihan dan Ketidakpastian

Penyintas 1965: Bertahan Hidup dalam Ketersisihan dan Ketidakpastian

Oni tidak pernah tahu-menahu mengenai isu seputar lagu Genjer-Genjer, PKI, atau Dewan Jenderal.

Nanda Naradhipa

Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad).

Spanduk dengan gambar para pemimpin PKI, 1953 (Foto: De Waarheid, 3 September 1985 via niadilova.wordpress.com)

1 Oktober 2021


BandungBergerak.idPada 20 Oktober 1965, Tedjabayu, mahasiswa Fakultas Geografi UGM, tengah berjaga di gedung Chung Hwa Tjung Hwi (CHTH) bersama rekan-rekannya dari organisasi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi dengan PKI. Sejak hari itu, kehidupan Tedjabayu tak lagi sama untuk selamanya.

Merujuk dari buku Mutiara di Padang Ilalang, Tedjabayu bersama 126 rekannya ditangkap Batalyon F lalu digiring ke penjara Wirogunan, Nusa Kambangan, untuk kemudian dibuang ke Pulau Buru. Selama 14 tahun berselang, sepulangnya dari kamp tahanan, ia dijemput sang ibu, Mia Bustam, di Kodim Jakarta Barat. Dengan senyuman hangat, seniman yang juga istri dari S. Sudjojono itu menyambut kokoh tangan putranya dengan segala kelapangan seorang ibu yang terlontar dalam ungkapan “C’est la vie, Dja!“.

Sebulan sejak penangkapan Tedjabayu, giliran Deborah Oni Ponirah yang terhempas derasnya arus sejarah. Oni adalah gadis berusia 17 tahun yang menggemari seni tari. Suatu kali di bulan Agustus 1965, ia menari “genjer-genjer” untuk pentas di alun-alun Yogyakarta. Oni tidak pernah tahu-menahu mengenai isu seputar lagu Genjer-Genjer, PKI, atau Dewan Jenderal. Ia hanya tahu bahwa guru dan sebagian teman-temannya telah ‘diambil’ dan dibawa ke Wirogunan.

Dalam wawancaranya dengan BBC Indonesia, Deborah Oni Ponirah mengenang kembali hari ketika ia turut diambil aparat untuk dibawa ke Wirogunan pada 25 November 1965. Petaka itu mula-mula menampakan diri lewat ketukan pintu ketika jarum jam di rumah orang tua Oni di Kampung Suryo, Yogyakarta, menunjukkan pukul sembilan malam. Dengan dalih pemeriksaan, si penjemputnya membawa serta Oni ke markas militer menggunakan Jeep. Sejak hari itu, Oni harus menghabiskan masa remajanya dalam ketidakpastian di berbagai rumah tahanan, di antaranya di kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah.

Memori tersebut juga tergores dalam berbagai bentuk karya seni, seperti lagu, novel, hingga film. Misalnya, pada album “Dunia Milik Kita“ dari Paduan Suara Dialita. Di nomor lagu “Ujian“ yang dibuat Siti Jus Djubariah di penjara Buki Duri, Jakarta, garis ketegaran akan pahitnya takdir tergambar pada lirik di bagian verse sebagai berikut: “dari balik jeruji besi, hatiku diuji: apa aku emas sejati atau imitasi...“. Saat itu, “Ujian“ menjadi setitik cahaya yang menyinari muramnya harapan para tahanan.

Kepahitan dan ketidakadilan yang menimpa kehidupan sosial dan kultural penyintas di sepanjang sisa hayatnya juga terdokumentasikan dalam berbagai film yang dibuat pasca reformasi. Di antaranya adalah film dokumenter You and I yang disutradarai oleh Fanny Chotimah. Film yang rampung pada tahun 2020 itu mengangkat kisah persahabatan antara Kasminah dan Kusdalini, dua perempuan lansia yang dipertemukan di penjara nyaris setengah abad silam. Pascakeluar dari tahanan, mereka menjalani hidup bersama di Solo, Jawa Tengah, sebagai layaknya saudari. Film itu menyorot kesahajaan dan kehangatan hidup mereka meski masa lalunya penuh dengan memori kelam.

Baca Juga: Jejak Islamisasi di Tatar Sunda dalam Pribahasa dan Mitos
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (2): Dari Rumah Tjipto Mangoenkoesoemo ke Regentsweg 22
Jejak Revolusi Tan Malaka di Bandung

Jalan Panjang Ketidakpastian

Dari daftar testimoni dan potret psikologis di atas, kita dapat membaca jejak sejarah Indonesia dengan segala kepedihan dan kepelikan, harapan dan kekecewaan, serta semangat juga kegagalannya. Meski demikian, pembacaan atas beragam narasi seputar isu 65, sebagian besarnya hanya bisa dihayati di ruang-ruang alternatif saja.

Terbatasnya ruang gerak informasi seputar isu 65 tak lepas dari kedudukan sejarah resmi yang dibangun oleh Orde Baru dan terus-menerus disebar secara masif selama lebih dari tiga generasi sejak 1966. Kebohongan yang ruang lingkup dan kadarnya luar biasa dahsyat itu kini terlanjur mapan dan melenggang bebas ke sana kemari dalam percakapan masyarakat di ruang khalayak; kebohongan dan tuduhan mengerikan yang duduk perkaranya tak pernah terjelaskan di hari-hari pascareformasi pada akhirnya dipercayai—tanpa dipahami—sebagai sebuah fakta.

Menengok sejarah 1965-1966 seperti halnya membuka borok pada tubuh yang selama ini tertutup helai kain. Kita lantas teringat akan rasa perih yang membekas dalam ingatan, sementara ada saja orang-orang di sekitar kita yang memandang dengan mata yang penuh rasa ngeri dan jijik. Tatkala upaya menjemput kembali nilai-nilai kemanusiaan dilakukan, ada saja segelintir orang yang menolak dengan keras. Sementara negara mulai memberikan secercah harapan bagi para penyintas, berbagai pemberangusan dan razia terhadap hal-hal berbau kiri lantas pecah di mana-mana. Seperti munculnya Simposium tandingan yang dibentuk untuk menentang Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang diselenggarakan tahun 2016 di Jakarta.

Tak lama setelah Simposium, tersiar hasil dari International People‘s Tribunal 1965 (IPT 1965) yang diselenggarakn di Den Haag, Belanda. Hasilnya: penyelenggara negara Indonesia saat itu terbukti terlibat dalam praktek pelanggaran HAM berat terhadap warga negaranya. Meski tidak mengikat secara hukum, namun rekomendasi IPT 1965 sangat cukup untuk dijadikan rujukan lantaran telah melalui penelusuran bukti-bukti yang diolah oleh tujuh hakim internasional.

Sayangnya, upaya dari warga Indonesia itu tak digubris oleh penyelenggara negara Indonesia saat ini. Sebagaimana yang kita tahu, pemerintah selalu mengupayakan berbagai cara agar setiap keputusan yang dibuat tidak serta merta mengganggu stabilitas sosial-politik, meski tak jarang keputusan itu bias makna dan tujuan. Bersamaan dengan itu, maka secercah harapan yang pernah disemai, kini mendekati layu yang kematiannya hanya tinggal menunggu waktu.

Lalu, para korban tragedi 65 harus kembali melanjutkan hidup dalam ketidakpastian. Mereka dipaksa menghabiskan hari demi hari sebagaimana warga negara lainnya yang tak pernah merasakan hingga yang tak acuh sama sekali ihwal luka yang selama ini tersembunyi pada tubuh ibu sejarahnya.

Barangkali kita pernah merasakan suatu kondisi di mana keberadaan kita tidak diinginkan orang-orang di sekitar kita—atau sedikitnya pernah mendengar seseorang yang berada di posisi itu. Nyaris seluruhnya akan mengatakan bahwa pengalaman itu adalah kepedihan yang teramat perih di kehidupan sosialnya. Meski demikian, kemungkinan untuk memaklumi dan menerima kepedihan itu akan selalu ada apabila kita mengetahui motif dan duduk perkaranya dengan jelas. Terlebih, kita juga dapat menggunakan hak kita untuk mempertanyakan dan membela diri seandainya motif yang disampaikan ternyata tidak senada dengan faktanya.

Namun, bagaimana halnya dengan para korban tragedi 65? Orang-orang yang kehilangan segalanya akibat kisruh politik yang membunuh nilai-nilai kemanusiaan? Jika berbagai jalan untuk menjemput keadilan selalu buntu dan segala usul ditolak oleh penyelenggara negara, pengalaman orang-orang yang pernah merasa tidak diinginkan oleh lingkungan sekitarnya adalah kacamata yang sedikitnya dapat menuntun kita untuk melestarikan empati atas kondisi para korban di negeri ini. Tentu kita tak bisa berharap banyak dengan kacamata itu. Sebab, bagaimanapun, kesengsaraan akibat ditahan selama belasan tahun tanpa mengetahui duduk perkaranya dan tak pernah diberi kesempatan untuk membela diri, selamanya tak bisa disejajarkan dengan kesengsaraan atau kesedihan lain dalam kehidupan seorang warga negara yang kemanusiaannya masih melekat dalam raga.

Tak seorang pun mampu membayangkan kepelikan dan kepedihan itu. Sebab, seorang psikiater pun selamanya tiada mampu mendiagnosa apabila pasiennya tak berkesempatan untuk bicara. Pun dengan api yang tiada pernah berwujud apabila ia tak diberi ruang untuk membara. Atau dengan warna-warna yang tiada lagi bermakna apabila ia tidak disinari secercah cahaya. Para korban tragedi pasca-65 selamanya akan hidup dalam ketersisihan dan ketidakpastian selama ruang dan raung yang senantiasa membuka jalan menuju kebenaran dan keadilan itu tak pernah diberikan.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//