JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (2): Dari Rumah Tjipto Mangoenkoesoemo ke Regentsweg 22
Dua rumah di Bandung menjadi pusat pergerakan kaum nasionalis. Yang pertama, rumah Tjipto Mangoenkoesoemo di Tegalega. Yang kedua, rumah di Regentsweg 22.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
25 September 2021
BandungBergerak.id - Sebelum pemberontakan PKI 1926, rumah Tjipto Mangoenkoesoemo sering dijadikan tempat singgah kalangan aktivis di Bandung. Di kawasan Tegalega, Tjipto tinggal bersama Nyonya Vogel, istrinya, dan tiga orang anak mereka. Ia juga memberikan layanan pemeriksaan kesehatan sebagai dokter yang banyak membantu kaum Pribumi kecil. Sebuah plang tertempel di depan rumahnya, bertuliskan: “Tjipto: Dokter Partikelir” (Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo Demokrat Sedjati).
Setiap hari para aktivis datang dan pergi dari rumah Tjipto Mangoenkoesoemo, sang dokter yang bersahaja itu. Banyak gagasan yang lahir di tempat tersehut. M. Balfas, bahkan menyebut rumah petinggi Indische Partij itu, pascapengasingannya ke negeri Belanda, sebagai rumah pemimpin yang kerap dikunjungi oleh berbagai macam kelompok, termasuk dari rengrengan PKI beserta haluannya. Tjipto juga mengelola surat kabar Sapoedjagat, dengan rumahnya sebagai kantor redaksi. Surat kabar itu dicetak oleh penerbit Dachlan Bekti, yang dikelola oleh kaum merah di Bandung.
Setelah pemberontakan komunis meletus, rumah Tjipto Mangoenkoesoemo tidak lagi ramai seperti biasa. Tempat yang sekarang berada tidak jauh dari kawasan Monumen Bandung Lautan Api tersebut terpaksa harus dikosongkan. Tjipto diawasi oleh pemerintah kolonial karena tercium kabar bahwa dirinya dekat dengan kelompok komunis. Rumah sang dokter harus bebas dari semua kegiatan.
Di Regentsweg 22
Sementara itu di Regentsweg 22, yang kini menjadi Jalan Dewi Sartika, Iskaq Tjokrohadisurjo dan tokoh nasionalis lainnya secara intens mengadakan pertemuan. Tjipto dan Sukarno pun sering bertukar pikiran di tempat itu, sampai menghasilkan kelompok nasionalis yang cukup militan.
Kondisi Regentsweg tahun 1920-an tentu berbeda dengan zaman kini. Tak tampak lalu-lalang orang dan kendaraan seperti Jalan Dewi Sartika sekarang. Jalanan lengang dan sepi. Rumah-rumah masih memiliki pepohonan yang tumbuh.
Sebuah foko dokumentasi Leiden University Libraries Digital Collections menunjukkan bahwa antara tahun 1929-1930 kondisi sepanjang Regentsweg tidak sesibuk Jalan Dewi Sartika saat ini dengan banyak toko dan kendaraan. Foto tersebut menampilkan seorang gadis kecil dan laki-laki mengendarai sepeda yang tidak terlalu jelas, tepat di sepanjang Regentsweg yang diambil dari arah Pungkur. Judul foto itu: “Verlengde Regentsweg, gezien vanaf de Poengkoerweg te Bandoeng na de verbetering van de weg in het kader van de kampongverbetering” (Sepanjang Regentsweg, terlihat dari jalan Pungkur di Bandung, setelah perbaikan jalan sebagai bagian dari perbaikan kampung).
Pada tahun 1922, Regentsweg 22 masih dijadikan klinik untuk tempat konsultasi penyakit kulit. Tampilan iklan yang ditayangkan De Preangerbode edisi 11 Maret 1922 menunjukkan bahwa Regentsweg 22 pernah digunakan Dr. A. Rivai sebagai alamat layanan konsultasi venerologi dan urologi. Namun, apakah Regentsweg 22 yang dijadikan klinik tersebut sama dengan tempat bersemainya gagasan kaum nasionalis? Tampaknya, sebelum Iskaq menyelesaikan studinya di Belanda, rumah yang beralamat tepat di Jalan Dewi Sartika 22 itu masih didiami oleh penghuni lain. Termasuk dijadikan tempat praktik dokter.
Memang, pada saat Studieclub Bandung dibentuk tahun 1925, kantor yang terletak di Regentsweg 22 itu sudah menjadi saksi pergolakan kaum nasionalis. Pada tahun 1926 Iskaq bersama lima kawannya mendirikan kantor advokat dengan menyewa sebuah rumah yang terletak di Regentsweg 22. Menurut penjelasan Soenario, kantor yang didiami oleh Iskaq dkk. itu berada di Regentsweg nomor 8, sebelah barat Alun-alun Bandung, yang kini menjadi Hotel Swarha sebelum akhirnya pindah ke Regentsweg nomor 22.
Pada tanggal 26 Juli 1926, di alamat yang sama, Sukarno dan Anwari mendirikan biro yang fokus pada urusan arsitektur yang bernama Ingineurs en architectenbureau. Biro ini terletak di bagian bawah rumah yang selalu dijaga oleh Dr. Samsi yang menginap di tempat tersebut untuk mengurus buku-buku perdagangan, pajak, dan buku-buku ihwal ekonomi lainnya. Sedangkan Sukarno yang kala itu sudah menikah dengan Inggit Garnasih, tinggal di ruangan bagian atas (Soekarno: Biografi 1901-1950).
Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (1): Bermula dari Studieclub Bandung
Di Bandung, Kongres Central Sarekat Islam Pertama Digelar (3)
Di Bandung, Kongres Central Sarekat Islam Pertama Digelar (2)
Di Bandung, Kongres Central Sarekat Islam Pertama Digelar (I)
Kelahiran PNI
Setelah Studieclub mencapai batasnya, Regentsweg 22 kembali merekam laju pergerakan yang lahir dari kalangan nasionalis. Kali ini, seorang lulusan Technische Hoogeschool (THS) beserta tiga orang mantan anggota Perhimpunan Indonesia mendeklarasikan munculnya kelompok kebangsaan dengan program yang masih sederhana. Giebels mencatat bahwa pada bulan April 1927 telah didirikan komisi persiapan yang diinisiasi dan diketuai oleh Sukarno bersama Iskaq Tjokrohadisurjo, Budiarto dan Soenarjo sebagai anggotanya.
Dalam deklarasi ini, Tjipto Mangoenkoesoemo juga hadir sebagai anggota meski dia tidak menyetujui pendirian kelompok selain klub studi Bandung yang sudah berjalan. Ketidaksetujuan Tjipto dilandasi oleh kekhawatirannya terhadap pemerintah kolonial. Menurut Tijipto, kemunculan kelompok itu dapat dianggap sebagai pengganti PKI, dan akan mengundang bahaya bagi pergerakan kaum nasionalis (Soekarno Bapak Indonesia Merdeka: Sebuah Biografi 1901-1945).
Namun, pada tanggal 4 Juli 1926 malam, di paviliun kediaman Iskaq Tjokrohadisurjo di Regentsweg 22, lahirlah Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) (Soekarno: Biografi 1901-1950) yang selanjutnya menjadi Partai Nasional Indonesia pimpinan Sukarno. Kelahiran Perserikatan Nasonal Indonesia itu disaksikan oleh Sukarno bersama Inggit, Tjipto Mangoengkoesoemo, Ir. Anwari, Mr. Sartono, Soendoro, Budiarto, Soenarjo, Dr. Samsi Sastrowidagdo, Soedjadi alias Soegito, dan J. W. Tilaar (Soekarno Bapak Indonesia Merdeka: Sebuah Biografi 1901-1945). Kepengurusan awal PNI hanya mencakup beberapa bidang yang dianggap penting. Sukarno sebagai ketua dewan pengurus umum, Iskaq sebagai sekretaris dan bendahara, sedangkan pengurus yang lain masuk pada anggota komisi persiapan, seperti Budiarto, Soenarjo, Anwari, dan Sartono. Biasanya, rapat digelar di rumah dewan pengurus. Salah satunya di kediaman Sukarno (Soekarno: Biografi 1901-1950) yang waktu itu mungkin masih beralamat di Regentsweg.