Di Bandung, Kongres Central Sarekat Islam Pertama Digelar (3)
Kongres Central Sarekat Islam pertama di Bandung berkontribusi menambah kesadaran bangsa pribumi untuk ikut bergerak melawan arus kolonialisme di Hindia Belanda.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
28 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Di hari kedua Minggu, 18 Juni 1916, Kongres Central Sarekat Islam masih berlangsung dengan ramai. Antusiasme masyarakat tampak ketika mereka memadati gelaran arak-arakan sampai memasuki kawasan Alun-Alun Bandung sebagai pusat terselenggaranya kongres. Dalam laporannya pada edisi 19 Juni 1916, De Preangerbode memuji arak-arakan itu. “Arak-arakan ditampilkan dengan begitu bagus, rapi, dan tertata,” tulis koran yang berdomisili di Bandung itu.
Dalam konvoi itu, sekelompok penunggang kuda Arab ikut ambil bagian bersama dengan sejumlah perwira Turki. Ada juga pasukan Madura yang ikut iring-iringan. Sementara itu, para pemeran sadis, seperti gerombolan pembunuh berantai, berjalan bersama dengan kelompok etnik dari berbagai daerah. Semua ikut berbaris dan berkeliling melewati jalan yang tidak jauh dari Alun-alun. Bahkan karakter fiksi seperti Robinson Crusoe turut mengambil peran diiringi barongsai yang berasal dari negeri Tirai Bambu.
Konvoi yang tidak berujung ini bukan hanya dimeriahkan oleh karakter lucu dan angtagonis. Sambil berjalan, sebagian kelompok membawa alat musik modern dan tradisional. Angklung dimainkan, dilanjutkan dengan marching band yang suaranya lebih keras (De Preangerbode 19 Juni 1916).
Arak-arakan dibuka oleh siswa dan siswi yang mengibarkan bendera Belanda. Mereka ditemani guru dari masing-masing sekolah yang diikutsertakan. Dari langit terlihat warna-warni bendera Belanda disertai sorak-sorai anak kecil yang bersemangat melihat berlangsungnya kemeriahan konvoi. “Banyak bendera Belanda yang besar dan kecil dikibarkan. Dan ini baik untuk disaksikan,” tulis De Preangerbode, masih di edisi yang sama.
Diskusi Terbuka dalam Kongres
Sementara konvoi yang ramai itu menghangatkan suasana Kota Bandung, gelaran penting di acara kongres dimulai di waktu pagi. Diskusi yang dilangsungkan secara terbuka bertema “Agama tidak Menjadi Halangan untuk Maju”, dengan pembicara Haji Abdullah Achmad dari perwakilan Padang.
Semua hadirin mengenakan rok dan dasi berwarna putih dengan suasana tanpa riuh saat diskusi digelar. Mimbar diletakkan di tempat yang paling tinggi di hadapan peserta. Peserta yang akan menyampaikan pendapatnya, dipersilakan untuk berdiri di atas mimbar.
Setelah Haji Abdullah menyampaikan materi, masing-masing hadirin memberikan opininya sebagai rekomendasi. Pendapat pertama muncul dari peserta bernama Said Ali Alhabsi. Menurutnya, seorang Muslim harus banyak belajar dari agamanya, bukan saja untuk urusan terbaik di dunia, tapi juga untuk urusan di akhirat.
Mengenai kemajuan, Djojopranoto, redaktur Djawa Moeda, dalam pandangannya menerangkan hal-hal yang mendorong pengamalan agama, seperti menuntut ilmu dan menekuni ilmu ekonomi. Ia juga menginginkan sebuah perguruan tinggi untuk pendidikan agama. Bahkan lebih jauh mendirikan Pusat Kekuatan Muslim (Central Moslim Power) dengan semangat alim-ulama di Turki yang dianggap dapat memutuskan semua masalah dalam agama Islam (De Preangerbor, 19 Juni 1916).
Selain sebagai pembicara, Haji Abdullah Achmad juga memperkenalkan majalah Al-Islam kepada audiens. Majalah tersebut baru saja terbit di edisi pertama yang diklaim sebagai organ dari kelompok Al-Islamiah. Menurut Korver, majalah Al-Islam bertujuan untuk mempropagandakan agama Islam di dalam kepengurusan anggota Sarekat Islam. Meski demikian, sasaran yang paling utama ditujukan kepada seluruh rakyat Hindia Belanda yang dikemas secara populer dengan wawasan pengetahuan sebagai landasannya.
Dalam diskusi ini, usulan dan pandangan lain pun terus bermunculan. Hasan Djajadiningrat membahas tentang kasus yang menyeret penghulu dan menyarankan agar penghulu dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan Prawiraatmadja, asisten wedana Muncang dan utusan SI Rangkasbitung, menginginkan dihapuskannya sembah-jongkok yang sering dipraktikkan di gedung-gedung atau di perkantoran publik.
Muhammad Yusuf, utusan dari SI Semarang, menginginkan agar serikat pekerja dari kalangan Sarekat Islam diperluas. Kemudian Haji Ichsan, presiden SI Banjarnegara sekaligus penghulu, menganjurkan untuk menutup sekolah-sekolah di Hindia Belanda pada hari Jumat setengah hari sampai pukul 11, dan pada pukul 14.00 sampai pukul 12 malam digunakan untuk pendidikan agama. Adapun Haji Hasan bin Semit ingin mendirikan sekolah pendidikan Islam dan mencela praktik dukun yang merampok uang Muslim dengan kedok sebagai Muslim yang taat.
Kongres yang berlangsung sampai tanggal 24 Juni itu setiap harinya memang dipenuhi keceriaan yang ditunjukkan oleh masyarakat. Namun, bagi pengurus Central Sarekat Islam, kongres besar ini harus dijalankan dengan matang dan sungguh-sungguh. Diskusi-diskusi dengan tema khusus digelar agar memperoleh pandangan dan gagasan yang baik untuk Sarekat Islam ke depannya. Dengan demikian, dimunculkanlah rekomendasi dari masing-masing pihak yang terlibat dalam kongres itu.
Baca Juga: Di Bandung, Kongres Central Sarekat Islam Pertama Digelar (I)
Di Bandung, Kongres Central Sarekat Islam Pertama Digelar (2)
Oetoesan Hindia Dikelola Satu Orang
Permintaan kepada Pemerintah dan Perombakan Pengurus
Menurut catatan Haji Hasan Mustapa, kongres tersebut menghasilkan 17 permintaan yang disodorkan kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti. Di antaranya hal-hal yang menyangkut pendidikan dan sosial-ekonomi, seperti izin mendirikan sekolah guru agama Islam dan kemudahan dalam perizinan membuka tanah.
Sementara itu ada lima poin yang belum disepakati oleh anggota Sarekat Islam. Pertama, mengubah aturan pengadilan agama, atau dicabut. Kedua, menolak masjid-masjid yang diurus oleh Dewan Lokal. Ketiga, meminta perizinan tempat perkumpulan sarekat di kabupaten dan di distrik-distrik. Keempat, mengizinkan sekolah perempuan pribumi beroperasi. Dan kelima, meminta didatangkan pimpinan Islam dari Turki dengan pangkat Syaikhul Islam.
Di sela-sela pidatonya yang menggebu-gebu, Tjokroaminoto selalu menekankan pentingnya memperjuangkan masyarakat pribumi. Ini tentu menjadi poin penting untuk mengukuhkan kembali Tjokro sebagai ketua CSI. Maka, setelah kongres ini berakhir, Tjokro mengganti formasi kepengurusan sebelumnya dengan tetap memasukkan nama-nama yang lama. Tentu, bukan tanpa risiko. Problem sebelumnya dengan Haji Samanhudi dan Goenawan, bisa dianggap sebagai alasan Tjokro mengubah formasi kepengurusan CSI.
Pada periode 1914-1916, misalnya, wakil ketua masih diduduki oleh Goenawan. Sedangkan periode Juli 1916-Oktober 1917, jabatan itu diduduki oleh Abdoel Moeis yang semula menjabat sebagai komisaris. Sekretaris yang pada masa sebelumnya dijabat oleh Achmad dari Sarekat Islam Surabaya, periode 1916 dan seterusnya diganti oleh Sosrokardono. DK Ardiwinata masih menjabat bendahara yang sebelumnya ia jalani pada masa kepengurusan tahun 1915. Sedangkan kursi komisioner diduduki oleh: Moh. Joesoef, Djojosoediro, Hasan Djajadiningrat, Soerjopoetro, Tjkrosoedarmo, Abdoel Moeis (merangkap jabatan), Hasan bin Semit, Moh. Samin, dan H. Moh. Arip. Lalu K.H. Ahmad Dahlan, H. Hisamzaijnie, dan H. Ahmad Sadzili dari Madura ikut membantu sebagai penesehat (Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926).
Dengan demikian tuntaslah sudah acara yang dijalankan selama satu minggu di Bandung itu. Banyak sejarawan menilai bahwa Kongres Central Sarekat Islam Pertama ini merupakan salah satu keberhasilan yang dicapai Sarekat Islam sebagai pergerakan massa dan juga menambah kesadaran bangsa pribumi untuk ikut bergerak melawan arus kolonialisme di Hindia Belanda.
Namun, akan datang banyak tantangan bagi Tjokroaminoto sebagai pimpinan CSI selanjutnya. Bukan hanya dari luar organisasi, namun juga dari dalam Sarekat Islam sendiri.