Di Bandung, Kongres Central Sarekat Islam Pertama Digelar (I)
Ibarat pesta rakyat, Kongres Central Sarekat Islam pertama di Kota Bandung berlangsung demikian meriah. Sekitar 300 ribu orang anggota hadir.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
14 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Siang dan malam ribuan orang memadati Alun-Alun Bandung. Kerumunan ini tidak henti-hentinya berlangsung selama sepekan. Bermula pada 17 Juni 1916, tamu undangan dari berbagai daerah terus berdatangan. Seketika, Alun-Alun pun berubah menjadi pasar. Tepat di hari itu, Central Sarekat Islam (CSI) bersiap-siap untuk melangsungkan kongres pertamanya. Semua kalangan ikut meramaikan. Tidak hanya panitia yang terlibat, tapi juga masyarakat pribumi ikut menikmati semua rangkaian acara.
Menurut catatan Mohammad Roem, tanggal 17-24 Juni 1916 merupakan hari-hari paling meriah ketika itu. Kawasan Alun-Alun seluruhnya dipercantik. Para pedagang dibuatkan gubuk yang mengelilingi lapangan. Bermacam-macam dagangan dijajakan. Ada makanan, juga barang-barang hasil keterampilan. Konon, hasil dari penjualan tersebut akan disumbangkan untuk Madrasatoel Ibtidayah.
Sebagai bentuk rasa simpati kepada Turki, semula bendera bergambar bulan sabit dan bintang kecil akan dibawa saat iring-iringan. Namun hal itu urung dilakukan karena larangan dari Asisten Residen (Bunga Rampai dari Sejarah). Sikap simpati Sarekat Islam terhadap Turki telah terjalin dua tahun sebelumnya. A. P. E. Korver menyebutkan bahwa kejadian itu bermula saat Turki terlibat dalam Perang Dunia I.
Awalnya, Oetoesan Hindia mengemukakan simpatinya kepada Turki pada tahun 1914. Kemudian pada tahun 1915 Sarekat Islam memberikan dukungan yang kuat terhadap komite Bulan Sabit Merah, sebagai kelompok yang mengumpulkan dana untuk meringankan beban di Turki. Saat kongres berlangsung, dua bendera diturunkan. Pertama bendera Belanda, kedua, bendera Sarekat Islam yang bercorak sama dengan bendera Turki (Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?).
Selain kongres pertama ini melibatkan banyak kalangan, panitia yang bergerak pun bukan saja berasal dari pengurus Sarekat Islam. Guru-guru dari Sekolah Kautamaan Istri turut membantu jalannya acara. Mereka bertugas menyambut tokoh-tokoh penting dan melayani tamu-tamu dengan menyajikan hidangan makanan. Dalam kurun sepekan, masyarakat dapat menyaksikan perlombaan olahraga di siang hari. Sedangkan pada malam hari, digelar bioskop dan pertunjukan wayang (Bunga Rampai dari Sejarah jilid 1).
Kemeriahan kongres pertama ini juga terekam dalam ingatan Haji Hasan Mustapa. Ia melihat secara langsung seluruh lapisan masyarakat memenuhi lapangan Alun-Alun Bandung. Menurut kesaksiannya, Bandung kala itu begitu ramai. Para punjangga, aparat pemerintahan, dan petinggi-petinggi dari berbagai organisasi berkumpul dalam acara itu.
Tepat di tanggal 15 bulan Rewah tahun 1334, Haji Hasan Mustapa seolah tak bisa berkata-kata. Matanya tak henti mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Ia juga menceritakan bahwa utusan-utusan yang hadir waktu itu berasal dari Jawa, Madura, Sumatera, Borneo, dan Celebes. Yang sering ia lihat terutama tamu-tamu yang datang dari Solo, Yogyakarta, Semarang, Bogor, Betawi, dan Banten. Kebanyakan dari mereka berumur 20 sampai 40 tahunan. Iring-iringan pun ditampilkan, laiknya pesta penyambutan raja.
“Nu karumpulan pada marawa embarkeuneun masing-masing kapinteranana; kitu deui utusan-utusan Jawa, Madura, Sumatra, Borneo, Selebes…Pestana iring-iringan warna-warna kaanehan jalma-jalma dua kali; pasar derma, meh unggal peuting, hartina pasar panglindungan nu ngaleuwihan harga niat nulung ka Sarekat Islam (Berbagai kumpulan masing-masing turut unjuk kepintarannya; begitu juga utusan-utusan Jawa, Madura, Sumatera, Borneo, Selebes…Iring-iringan pesta ditampilkan dengan bermacam-macam warna keanehan orang-orang dua kali; pasar derma, setiap malam, artinya pasar perlindungan yang melebihi harga pertolongan untuk Sarekat Islam).” (Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana).
Sementara itu, laporan De Preangerbode pada edisi 19 Juni 1916 mencatat bahwa perwakilan-perwakilan dari pemerintah daerah pun ikut serta dalam acara akbar itu. Daerah Jawa dan Madura mengutus 44 delegasi, Kalimantan 12 delegasi, Celebes satu delegasi, Bali satu delegasi, dan Surabaya 14 delegasi. Jumlah total semua delegasi yang hadir 72 orang. Ada juga beberapa perkumpulan massa yang mengutus perwakilan ke acara ini, yaitu Pengurus Besar Budi Utomo, Pengurus Besar PQMB, VSTP, dan ISDO.
Menurut hasil perhitungan koran berbahasa Belanda itu, semua anggota yang hadir sekitar 300.000 orang. Tidak termasuk tamu undangan. Sedangkan dari kalangan pers, yang turut meliput kemeriahan itu antara lain de Locomotief, Bataviaasch Niuewsblad, Bandoengsch Nieuwsblad, Oetoesan Hindia, Sinar Djawa, Kaoem Moeda, Pantjaran Warta, Sarotomo, Tjahaja Hindia, Rajat, dan de Preangerbode.
Baca Juga: Oetoesan Hindia Dikelola Satu Orang
Madrassatoel Ibtidayah Mendapat Sokongan Uang
Sarekat Islam Bandung Menyoroti Urusan Kring dan Minuman Keras
Pembukaan dan Pembahasan
Pagi hari, Sabtu tanggal 17 Juni 1916, kongres pertama Central Sarekat Islam resmi dibuka di gedung surat kabar Kaoem Moeda. Meski pembukaan ini begitu menyedot perhatian masyarakat, rapat utama dilaksanakan secara tertutup. Dokumen milik Penasehat Urusan Pribumi menyebutkan bahwa segala persoalan untuk didiskusikan baru dibahas pada pukul 9 malam di kediaman Bupati Cianjur di kawasan Cibadak. Tokoh Belanda yang hadir dalam diskusi ini antara lain, H. H. Dr. Hazeu, Folkersma, van Hinloopen Labberton, dan Gerke. Mereka juga didampingi oleh ketua terpilih Tjokroaminoto, wakil ketua Abdoel Moeis, bendahara DK Ardiwinata, dan pengurus Central Sarekat Islam lainnya (Sarekat Islam Congres 17-24 Juni 1916 te Bandoeng).
Di malam pertama itu, rapat dimulai dengan membicarakan sekolah untuk guru pribumi (Kweekschool). Hal ini berawal dari gagasan Abdoel Moeis. Mula-mula, Tjokroaminoto maju ke depan untuk berpidato. Setelah itu, Abdoel Moeis berdiri di depan dengan menyampaikan pidatonya, disusul oleh bendahara DK Ardiwinata yang menekankan empat aspek penting dalam memajukan perekonomian dan agama Islam.
Selain para pengurus inti Central Sarekat Islam, Haji Samanhudi juga ikut hadir sebagai ketua kehormatan. Ia duduk berseberangan dengan Tjokroaminoto. Di hari-hari berikutnya, Haji Samanhudi tidak ikut hadir sampai kongres berakhir karena tidak masuknya Mas Marco dan Raden Goenawan dalam dewan pertemuan itu (Sarekat Islam Congres te Bandoeng).