• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (1): Bermula dari Studieclub Bandung

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (1): Bermula dari Studieclub Bandung

Studieclub Bandung sejak awal memilih prinsip nonkooperatif terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI).

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Iskaq Tjokrohadisurjo menjabat ketua Studieclub Bandung tahun 1925. Namanya, bersama para pentolan Studieclub Bandung lain, kemudian muncul juga dalam kepengurusan Partai Nasional Indonesia (PNI). (Sumber foto: buku Iskaq Tjokrohadisurjo: Alumni Desa Bersemangat Banteng)

11 September 2021


BandungBergerak.idPada November 1926, pemberontakan Komunis terjadi di Hindia Belanda. Kejadian yang membuat Pemerintah kewalahan ini berujung pada penangkapan para aktivis kelompok merah yang diduga dalangnya. Pemerintah juga melarang Partai Komunis Indonesia beroperasi, dan ini berlaku juga untuk Sarekat Islam Merah, Sarekat Rakyat, dan organisasi buruh di bawah naungan PKI.

Akibat pemberontakan 1926 itu, sejumlah nama petinggi kelompok merah diasingkan ke Boven Digul. Mereka menjalani masa sulit dengan beragam penderitaan. Meski demikian, beberapa aktivis merah lain luput dari pengalaman buruk tersebut sehingga masih dapat bernapas lega. Setelah Partai Komunis Indonesia dilarang, kebanyakan dari mereka bergabung pada kelompok-kelompok yang diinisiasi oleh kalangan nasionalis. Kelompok diskusi seperti Indonesia Studi Klub, dan Studieclub Bandung yang digerakkan oleh Sukarno, merupakan wadah untuk menampung orang-orang eks-komunis. Terutama mereka yang sedang kehilangan arah.

Antara Kaum Komunis dan Kaum Nasionalis

Sebelum pemberontakan berdarah itu terjadi, kaum nasionalis dan kaum komunis, dua pihak yang berbeda haluan itu, pernah menjalin komunikasi. Pada Agustus 1926, misalnya, digelar pertemuan di Bandung yang yang dihadiri oleh 600 orang.  Ppropogandis Klub Studi Surabaya, Mr. Singgih, menyampaikan pidatonya terkait persatuan Indonesia. Di hadapan para hadirin, Singgih menyapa petinggi Sarekat Islam Merah Bandung, Moh. Sanoesi, dan menyebut Sanoesi sebagai saudara seperjuangan. Pertemuan itu dipimpin oleh ketua PKI Bandung, Soeprodjo, yang empat bulan kemudian ikut dibuang ke Boven Digul karena dianggap terlibat dalam pemberontakan (De Indische Courant, 24 Agustus 1926).

Pascatragedi pemberontakan 1926, kondisi sosial-politik berubah. Sebagian kaum nasionalis mulai pasang badan dan menolak orang-orang yang pernah terlibat dengan komunis. Menurut Ingleson, alasan penolakan ini didasari juga atas tekanan dari pihak Pemerintah Hindia Belanda yang kuat menentang kelompok PKI dan organisasi yang menerima orang-orang komunis.

Namun, Mohammad Hatta punya pendirian lain. Dalam suratnya kepada Sudjadi, salah satu tokoh Studieclub Bandung, ia menunjukkan kemarahan atas gelombang penolakan ini. Pada saat itu Hatta sedang gencar menjalin kerja sama dengan kelompok komunis, sebagai upaya untuk mempersatukan organisasi-organisasi politik dalam mencapai kemerdekaan yang merupakan tujuan utamanya. Bahkan menurut Hatta, kaum nasionalis radikal tidak perlu khawatir pada kelompok komunis di Indonesia karena mereka justru dapat memberikan semangat revolusioner untuk menunjang seluruh kegiatan kaum nasionalis (Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934).

Nonkooperatif

Kelompok studi yang dijalankan oleh Sudjadi dkk. telah dibentuk di Bandung pada 29 November 1925. Konon, kelompok yang diberi nama Algemeene Studieclub Bandung ini mempunyai riwayat lebih singkat, hanya bertahan selama dua tahun, dibandingkan Indonesische Studieclub dan Perhimpunan Indonesia. Pada 17 Januari 1926, studi klub ini baru diumumkan di Bandung, bersamaan dengan rapat yang digelar dengan mengundang beberapa tokoh terkemuka, termasuk Tjipto Mangoenkoesoemo dan Darmawan Mangoenkoesoemo. Sebanyak 60 orang menjadi peserta pertemuan itu.  

Selama kurun satu bulan, Studieclub Bandung mampu berkembang dengan sangat cepat. Frank Dhont mencatat kelompok ini berhasil menghadirkan massa sebanyak 250 orang ketika Douwes Dekker memberikan ceramahnya di Bandung.

Mula-mula, Algemeene Studieclub digagas oleh tiga orang inisiator, yakni Katimira Karnadidjaja, Sajoedin, dan Soerjoproto. Namun pada perkembangan selanjutnya, Studieclub Bandung dijalankan oleh Sukarno, Soenario, Anwari, dan Iskaq Tjokrohadisoerjo (Nasionalisme Baru: Intelektual Indonesia Tahun 1920-an). Iskaq sendiri menurut catatan Frank Dhont merupakan ketua dari studi klub ini.

Sementara itu, Petrus Blumberger menyebut bahwa Studieclub Bandung mempunyai anggota sekitar 75 orang. Tujuan dibentuknya kelompok ini, sebagaimana diungkapkan Sukarno dalam catatan Frank Dhont, yakni untuk mengkaji topik teoritis terkait Indonesia dan dunia internasional sebagai upaya untuk mencapai partai politik yang bisa menerapkan ide-ide dari Studieclub.

Berbeda dengan Indonesische Studieclub di Surabaya, Studieclub Bandung mempunyai prinsip nonkooperatif. Prinsip ini dijadikan sebagai alat self-help, yang juga menunjukkan ketidakpuasan terhadap kaum kolonial Belanda. Singkatnya, sikap nonkooperatif dalam amatan Studieclub Bandung merujuk pada pekerjaan kaum Pribumi yang harus dikerjakan sendiri, yang mana pengertian ini diambil dari gagasan Perhimpunan Indonesia di Belanda (Nasionalisme Baru: Intelektual Indonesia Tahun 1920-an).

Baca Juga: Di Bandung, Kongres Central Sarekat Islam Pertama Digelar (3)
Di Bandung, Kongres Central Sarekat Islam Pertama Digelar (2)
Di Bandung, Kongres Central Sarekat Islam Pertama Digelar (I)

Cikal Bakal PNI, Lalu Partindo

Algemeene Studieclub Bandung sendiri, boleh dikatakan, merupakan cikal bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI). Dalam bukunya, Banteng Segitiga, Soenario meriwayatkan, bahwa Partai Nasional Indonesia semula bernama Perserikatan Nasional Indonesia. Organisasi ini didirikan di Bandung pada 4 Juli 1927. Lalu pada kongres pertamanya di Surabaya bulan Mei 1928, kelompok itu berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia. Nama-nama yang berada di lingkaran Algemeene Studieclub juga masuk dalam daftar anggota Partai Nasional Indonesia.

Sebagai ketua Studieclub Bandung, Iskaq Tjokrohadisurjo tentu tidak bisa dilupakan. Dia bersama Mr. Sartono, Mr. E. S. Budyarto dan Mr. Soenario tinggal bersama di kantor advokat Jalan Dewi Sartika nomor 22, Bandung. Tampaknya, tempat tersebut merupakan tempat istimewa bagi pergerakan Indonesia. Di kantor itu, kaum nasionalis telah melahirkan beragam gagasan besar, termasuk pendirian dua kelompok penting, yaitu Algemeene Studieclub dan Partai Nasional Indonesia.

Di bawah kepemimpinan Sukarno, Partai Nasional Indonesia semakin banyak disorot dan menimbulkan kekhawatiran pihak Pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya, setelah Sukarno diadili dan mendekam di penjara Sukamiskin, partai ini telah mencapai batasnya selama jabatan itu diberikan kepada Mr. Sartono. Namun, meski PNI dibubarkan pada tahun 1931, semangatnya masih diteruskan lewat kemunculan Partai Indonesia (Partindo).

Maka, melihat jejak pergerakan kaum nasionalis ini, bolehlah dikatakan bahwa PNI dan Partindo bermula dari Algemeene Studieclub Bandung.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//