Ritual Adat Sunda di Kaki Gunung Tangkuban Parahu
Ritual Ngertakeun Bumi Lamba tahun ini tidak diadakan di Gunung Tangkuban Parahu yang ditutup karena pandemi Covid-19.
Penulis Bani Hakiki28 Juni 2021
BandungBergerak.id - Puncak upacara tahunan masyarakat adat Sunda, Ngertakeun Bumi Lamba kembali dihelat pada Minggu (27/6/2021) di Orchid Forest, Cikole, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Udara sejuk berembus di antara pepohonan pinus disambut matahari pagi, puluhan orang berkumpul menggumamkan doa dan jampi. Suara karinding, tarawangsa, dan jentreng mengiringi mereka dalam suasana tenang dan khidmat.
Ngertakeun Bumi Lamba adalah sebuah cara menjalankan pesan yang dititipkan leluhur untuk menjaga tiga gunung yang dianggap tempat suci (kabuyutan), salah satunya Gunung Tangkuban Parahu, gunung api sisa letusan Gunung Sunda purba 200 tahun lalu. Ritual adat ini dilaksanakan satu kali dalam setahun setiap bulan Juni atau setiap tanggal 1 Kapitu (bulan ketujuh) menurut hitungan kala ider (kalender) Suryakala. Waktu itu bertepatan dengan perjalanan matahari yang baru kembali ke bumi bagian selatan dari utara.
Tradisi ini biasanya diadakan di area kawah Gunung Tangkuban Parahu. Namun, wilayah kawasan konservasi tersebut sedang dalam kondisi zona oranye Covid-19 sehingga harus tutup sementara.
“Karena ada relokasi upacara tidak diadakan di area kawah, tapi di Curug Nini. Dalam situasi pandemi, ada (kegiatan) yang di luar kebiasaan walaupun tetap dalam pakem wilayah Jayagiri, kaki Gunung Tangkuban Parahu,” tutur Ginanjar Akil yang akrab disapa Kang Gingin, seorang tokoh masyarakat Sunda yang juga dikenal sebagai Jaro Rajah (pembaca mantra).
Berbeda dengan upacara pada tahun-tahun sebelumnya, para peserta tidak seramai biasanya, hanya terlihat puluhan orang saja. Hal ini juga dikarenakan ada anjuran dan pembatasan jumlah peserta maupun pengunjung untuk meminimalisasi kerumunan. Ini juga jadi tahun pertama upacara Ngertakeun Bumi Lamba dijaga ketat oleh pihak keamanan dan kepolisian setempat. Meskipun begitu, upacara tetap berjalanan dengan rangkaian yang sama.
Upacara dibuka dengan persiapan sajen, sesembahan, dan pembacaan rajah. Menurut penuturan Gingin, sajen dan sesembahan ini adalah sebuah sastra atau cara untuk berkomunikasi dengan para sepuh dalam kepercayaan orang Sunda. Sajen diambil dari hasil alam yang telah memberikan manusia kehidupan. Orang Sunda percaya bahwa menjaga keseimbangan alam adalah cara mereka menjaga hubungan dengan Sang Hyang Karesa (Yang Maha Pencipta) dan Sang Hyang Widhi (Yang Maha Kuasa).
Kemudian, para peserta mulai menari diiringi karawitan. Pada sesi ini, siapa pun boleh ikut berpartisipasi, termasuk para pendatang dari berbagai suku lain.
Lalu, acara dilanjut dengan upacara tarawangsa. Dibuka oleh seorang perempuan dengan selendang di leher yang menari diiringan alat musik tarawangsa dan jentreng. Setiap peserta boleh ikut menari sesuai tempo yang dimainkan. Tarawangsa biasa dilakukan setiap bulan panen sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Sri (Ibu Padi) atau jika ada upacara adat tertentu.
“Saya sudah mengikuti upacara ini sejak beberapa tahun ke belakang. Ini tradisi yang perlu dijaga karena alam juga gak pernah berhenti kasih kita kenikmatan. Ngertakeun Bumi Lamba ya salah satu cara bersyukurnya,” tutur Ratih Kumala (37), salah seorang peserta.
Sebuah rangkaian kegiatan makan bersama dengan seluruh peserta dan pengunjung jadi acara pemungkasnya. Setelahnya, para peserta berniat membawa sebagian sajen dan sesembahan utama ritual tersebut ke Gunung Tangkuban Perahu, namun dilarang oleh kepolisian setempat.
Sementara itu, ada beberapa rangkaian lain sebelum menuju puncak upacara. Pada Sabtu sore hingga malam (26/6/2021), sebuah upacara pendahuluan telah dihelat di Babakan Siliwangi, Bandung. Rangkaian pembuka ini diisi dengan kegiatan upacara Kawin Cai, sebuah upaya memohon air hujan untuk kesuburan tanah yang biasa diadakan setiap musim kemarau.
Baca Juga: Kasus Penghilangan Paksa Menggema dalam Fiksi
Festival Monolog se-Jawa Barat: Ketika Seniman harus Akrab dengan Youtube
Sahabat Heritage Indonesia: Mencintai Cagar Budaya dengan Berkomunitas
Ajang Pertemuan Antarsuku
Peserta Ngertakeun Bumi Lamba tidak hanya dari penduduk tatar Sunda. Upacara tersebut selalu mengundang berbagai suku lain untuk hadir dan berpartisipasi dalam rangkaian ritual. Beberapa peserta mengatakan bahwa hal ini karena Gunung Tangkuban Parahu diyakini sebagai gunung agung dan purba yang wajib disucikan oleh sebagian besar kepercayaan asli nusantara.
Bahkan, ada beberapa kepercayaan yang meyakini bahwa Tangkuban Parahu merupakan gunung terbesar di jagad raya. Kisah letusan gunung ini dipercaya penganut Sunda Wiwitan sebagai bentuk kemurkaan alam terhadap manusia. Maka dari itu, Ngertakeun Bumi Lamba dianggap sebagai salah satu simbol besar untuk menjaga kestabilan alam.
Di luar dasar kepercayaan yang dianut oleh masing-masing peserta, upacara ini juga sudah seperti ajang silaturahmi antarsuku di Indonesia. Para pendatang ini juga diberi kesempatan untuk melakukan ritual atau cara berdoanya masing-masing. Bahkan, banyak perwakilan dari suku lain yang menunjukkan ciri khas keahlian dan tariannya. Pada pagi itu, beberapa tamu datang dari suku Baduy, Dayak, Jawa, Betawi, dan beberapa suku lainnya.
“Ini pertama kali saya ikut Ngertakeun Bumi Lamba, gak nyangka bisa ketemu saudara satu suku di sini. Teman-teman saya dari kesundaan juga orangnya welcome, jadi seperti lagi di rumah sendiri,” tutur Ayu Nikeu ‘Denok’ (40), seorang guru spiritual yang berasal dari suku Dayak Iban.
Dalam situasi pandemi ini, Ngertakeun Bumi Lamba juga diadakan secara virtual menggunakan Zoom Meeting. Hal ini dilakukan karena banyak dari masyarakat adat Sunda mau pun suku lain yang tidak dapat menghadiri upacara karena lonjakan penularan Covid-19 di Bandung Raya. Pertemuan daring ini diharapkan bisa menjaga tali silaturahmi yang semakin berjarak selama pandemi.