• Arsip
  • Pagelaran Gending Karesmen Lalayang Salaka Domas di Savoy Homann Bandung

Pagelaran Gending Karesmen Lalayang Salaka Domas di Savoy Homann Bandung

Pada Selasa, 20 Maret 1990, berlangsung pagelaran Gending Karesmen Lalayang Salaka Domas di Hotel Savoy Homann, di Jalan Asia Afrika, Bandung.

Brosur pagelaran Gending Karesmen Lalayang Salaka Domas, 20 Maret 1990, di Hotel Savoy Homann Bandung. (Foto repro: Tri Joko Her Riadi)

Penulis Tri Joko Her Riadi17 Maret 2021


BandungBergerak - Pada Selasa, 20 Maret 1990, berlangsung pagelaran Gending Karesmen Lalayang Salaka Domas di aula utama (grand ball room) Hotel Savoy Homann, di Jalan Asia Afrika, Kota Bandung. Dari brosur pagelaran yang disutradarai oleh Enoch Atmadibrata tu, kita tahu ada puluhan seniman Bandung yang terlibat.

Gending Karesmen, sesuai keterangan di brosur setebal 8 halaman itu, adalah “suatu bentuk teater Sunda yang bersifat total (total teater)” yang mendapat sokongan dari “seni sastra, seni karawitan, seni tari, dan seni rupa yang saling menjalin”. Dengan demikian, Gending Karesmen bisa dilihat sebagai cerita yang dibawakan melalui nyanyian dengan olahan gending dan gerak yang dipadu dengan unsur-unsur seni lainnya”.

Disebutkan juga informasi tentang tokoh-tokoh pencetus Gending Karesmen di awal abad ke-20,  yakni R. Kanduruan Kartadibrata, R. Adiwijaya, Tb. Oemaj Martakoesoemah, R.T.A. Soenarya, R. Machjar Anggakoesoemahdibrata, Koko Koswara, H. Yaya Soenarya, H.R. Ading Affandi, dan A. Wachyu Wibisana.

Lakon-lakon yang dibawakan dalam Gending Karesmen biasanya bersumber mitologi Sunda, seperti Lutung Kasarung, Pohaci Sanghyang Sri, Mundinglaya Dikusumah, dan Ciung Wanara. Lakon Lalayang Salaka Domas yang dipentaskan di Hotel Savoy Homaan adalah sebutan lain untuk cerita Mundinglaya.

Mitologi Mundinglaya mengisahkan bagaimana seorang putra mahkota kerajaan Pajajaran menunaikan tugas melakukan perjalanan ke langit untuk memperoleh Lalayang Salaka Domas (delapan ratus surat perak). Jalan menuju prasyarat kesejahteraan dan kejayaan itu tidaklah mudah meski pada akhirnya Mundinglaya mampu mengatasi setiap rintangan. Termasuk vonis hukuman mati bagi sang ibu.

“Mundinglaya datang pada waktu yang tepat karena ibunya sudah diputuskan dihukum mati atas pengaduan Rademantri Mantri, istri parekan Sang Raja. Maka selamatlah semuanya, dan rakyat sejahtera dan negara Berjaya,” begitu sinopsi cerita ditutup.

Brosur pagelaran Gending Karesmen juga mencantumkan puluhan nama seniman Bandung yang membawakan lakon Lalayang Salaka Domas. Karakter Mundinglaya diperankan oleh Iyus Rusli, sementara suaranya diperankan oleh D. Tarman.

Penari, Koreografer, Pemikir

Enoch Atmadibrata, kelahirah Garut, 9 November 1927, merupakan salah satu maestro tari Sunda. Ajaibnya, jalan hidup ini ia temukan justru ketika sedang berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB).

“Pada periode masa tersebut, entah kenapa mulai tumbuh kesukaan yang tidak pernah muncul di masa-masa sebelumnya. Tapi begitu dimulai kesukaan baru ini, langsung EA (Enoch Atmadibrata) begitu sangat menyukainya. Kesukaan baru itu adalah berkesenian,” tulis Herdiwan dalam buku Enoch Atmadibrata: Kuliah di ITB, ‘Lulusnya’ Jadi Jago Tari Sunda.

Dalam buku Apa Siapa Orang Sunda (2003) yang disunting oleh Ajip Rosidi, Enoch Atmadibrata disebut “bukan hanya penari, melainkan juga koreografer, dan pemikir tentang dunia tari Sunda”. Sejak 1977 ia sering membawa rombongan kesenian tradisional untuk berpentas di berbagai kota mancanegara.

Selain tercatat sebagai salah satu pendiri Jurusan Pendidikan Seni Tari di IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia), Enoch pernah mengajar di Institute of Ethnomusicology di beberapa universitas di Amerika Serikat. Artikel-artikelnya tentang seni tari dan budaya Sunda berterbaran di berbagai koran dan majalah.  

Informasi Arsip

Judul: Gending Karesmen Lalalyang Salaka Domas

Cetakan: 1990

Editor: Redaksi

COMMENTS

//