• Cerita
  • BANDUNG HARI INI: Teater Sunda Kiwari dan Totalitasnya Melestarikan Bahasa Sunda

BANDUNG HARI INI: Teater Sunda Kiwari dan Totalitasnya Melestarikan Bahasa Sunda

Kelompok Teater Sunda Kiwari didirikan sebagai bagian dari usaha melestarikan bahasa Sunda. Selain pentas, mereka juga secara rutin menggelar festival dan parade.

Warga beraktivitas di sekitar Gedung Rumentang Siang di Jalan Baranang Siang, Kota Bandung, Kamis (13/1/2022) siang. Di gedung pertunjukan yang dibangun pada tahun 1935 tersebut, kelompok Teater Sunda Kiwari dididirkan pada 16 Januari 1975. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Tri Joko Her Riadi16 Januari 2022


BandungBergerak.id - Pada 16 Januari 1975, tepat hari ini 47 tahun lalu, berdiri Teater Sunda Kiwari pimpinan Dadi P. Danusubrata di Gedung Rumentang Siang, Kota Bandung. Menjadi semacam kelanjutan dari sandiwara Sunda, kelompok teater ini menawarkan gaya modern untuk menarik minat anak-anak muda tanpa menanggalkan bahasa daerahnya, Bahasa Sunda.

“Sunda pun harus memiliki teater modern, berwawasan luas, dan penuh pengabdian. Sengaja kami mempergunakan bahasa Sunda sehingga sedikitnya kami telah ikut melestarikan Bahasa daerah, yang jauhnya ikut menegakkan kebudayaan daerah Sunda sebagai salah satu tiang pancang kebudayaan nasional Indonesia,” demikian kredo Dadi sebagaimana ditulis oleh Tatang Abdulah dalam artikel “Kehidupan Teater Indonesia” yang termuat di dalam buku 200 Tahun Seni di Bandung (2011).

Totalitas Teater Sunda Kiwari melestarikan bahasa Sunda tidak berhenti di panggung pentas. Mereka melakukan banyak aksi lain. Pada tahun 1979, misalnya, kelompok seni ini mengirimkan surat ke Gubernur Jawa Barat berisi desakan mengajarkan kembali Bahasa Sunda di sekolah-sekolah.

Aktif berkegiatan sampai saat ini, Teater Sunda Kiwari juga secara konsisten menggelar festival dan pentas. Benang merah dari semua aksi itu satu saja: bahasa Sunda.

Cekak Naskah Sunda

Diniatkan sebagai teater modern, kelompok Teater Sunda Kiwari menggunakan naskah buku untuk setiap pementasan. Istilah yang digunakan pun reading, bukan lagi membaca naskah sebagaimana ditemukan dalam teater-teater tradisional. Namun, urusan naskah Sunda inilah yang juga jadi masalah kronis di sepanjang perjalanan kelompok teater ini. Jumlahnya tidak pernah melimpah.

Di sepanjang tahun pertamanya, Teater Sunda Kiwari menggelar dua kali pementasan, masing-masing berjudul Abah Tuladan dan Runtag. Keduanya ditulis oleh Hidayat Suryalaga yang bersama Dadi P. Danusubrata mendirikan Teater Sunda Kiwari.

Tatang Abdulah mencatat, selain karya Hidayat Suryalaga, yang jadi langganan penulis naskah Teater Sunda Kiwari adalah Yoseph Iskandar. Keduanya bergirilan menulis naskah Bahasa Sunda khusus untuk dipentaskan kelompok tersebut. Menyusul belakangan, Wahyu Wibisana. Keterbatasan naskah membuat corak pementasan Teater Bandung Kiwari kurang bervariasi.

“Saya juga ingin mementaskan drama karya pengarang Sunda lainnya, bahkan saya pernah meminta naskahnya, tapi kurang ada reaksi,” kata Dadi P. Danusurata.

Baca Juga: Mengenalkan Seni Reak lewat Permainan Papan Anak
Genjring Akrobat, antara Seni dan Kekuatan Super Seorang Ibu
Pelaku Seni Jawa Barat sama dengan UMKM Perlu Stimulus Ekonomi

Festival dan Parade

Selain target dua kali pentas tiap tahun, Teater Sundah Kiwari, yang berawal dari komunitas di tingkat Rukun Warga (RW) di Cikawao, Bandung, secara rutin menggelar Festival Drama Bahasa Sunda sejak tahun 1990. Festival untuk umum diselenggarakan setiap tahun genap, sementara festival untuk pelajar atau remaja berlangsung setiap tahun ganjil. Lokasi pentasnya masih di Gedung Rumentang Siang yang berada tepat di seberang Pasar Kosambi, Bandung.

Pada tahun 2016, Festival Drama Bahasa Sunda ke-17 diikuti oleh 63 sanggar dan kelompok teater dari seluruh Jawa Barat. Dari poster acara tersebut, kita bisa mengetahui bahwa setiap pendaftar kegiatan yang berlangsung dari 18 April hingga 8 Mei 2006 ini dibebankan biaya sebesar 250 ribu rupiah.

Selain Festival Drama Bahasa Sunda, Teater Sunda Kiwari juga menyelenggarakan Parade Baca Puisi Sunda dan Parade Baca Carpon Sunda.

Dari situs blog kelompok teater ini, kita bisa mengetahu beberapa penghargaan yang pernah diperoleh. Di antaranya, Hadiah Sastra Rancage pada tahun 2008.  

Sosok Dadi P. Danusubrata dan Hidayat Suryalaga

Dalam buku Apa Siapa Orang Sunda (2003) yang disunting oleh Ajip Rosidi, disebutkan bahwa Dadi P. Danusubrata bekerja seabgai seorang pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kota Bandung setelah menamatkan pendidikan SMA. Lelaki kelahiran Oktober 1950 tersebut mengikuti jejak sang ayah. 

"Di luar pegawai negeri, ia tetap menekuni hobi sekaligus pilihan hidupnya, teater," begitu tertulis di halaman 85. 

Disebutkan juga, Dadi mengajar teater di Universitas Winaya Mukti, Jatinangor, sejak 1984. Lalu, empat tahun kemudian, ia membuka kursus mengarang naskah drama bahasa Sunda. Sebuah kursus langka "yang hingga saat ini belum ada lagi". 

Tentang Hidayat Suryalaga, dituliskanbahwa lelaki kelahiran Ciamis, 16 Januari 1941 tersebut merupakan seorang penulis Sunda yang sangat produktif. Ketika itu, sudah ad 36 judul drama Sunda yang ia tulis. Sebagian besar di antaranya dipentaskan oleh Teater Sunda Kiwari. 

Selain naskah drama, lelaki yang menyelesaikan pendidikan sarjananya di Jurusan Bahasa dan Sastra Sunda Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada tahun 1986 tersebut juga menulis naskah gending karesmen, guguritan, serta sajak. Di bidang akademik, ia menulis buku pelajaran untuk SMP. 

Hidayat bekerja sebagai dosen di almamaternya hingga pensiun pada tahun 1998. Ia juga tercatat pernah mengajar di Universitas Pasundan (Unpas) Bandung dan menjabat Ketua Lembaga Kebudayaan di kampus tersebut. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//