SUARA SETARA: Mendefinisikan Ulang Konsep Perempuan Cantik
Menjadi perempuan di zaman yang telah didefinisikan dan dibentuk, menjadi serba salah. Konsepsi perempuan cantik pun hasil standarisasi.
Tofan Aditya
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI, Ketua UKSK UPI. Aktif di Hima Satrasia, ASAS, dan Literat.
24 Mei 2022
BandungBergerak.id - Saya adalah seorang laki-laki. Dan, selama 23 tahun menjalani hidup, meskipun dunia menuntut saya agar mandiri, nyatanya, saya tidak pernah lepas dari peran perempuan. Sering saya amati keseharian perempuan, baik yang saya kenali ataupun tidak. Ternyata, menjadi perempuan adalah kodrat yang tidak mudah untuk dijalani.
Saya ada sedikit cerita. Di sore yang gelap, hujan turun deras. Seperti biasa, saya berkumpul bersama kawan-kawan di sekretariat. Dan, bukan hal yang aneh ketika kami membicarakan bahasan yang tidak penting. Tapi, saat itu, seorang kawan tiba-tiba berceloteh setelah cukup lama menatap gawainya.
“Wah, kayaknya, setengah masalah hidup gue bakal selesai kalo gue adalah perempuan cantik!”
Saya menoleh ke arahnya. “Memang iya?”, tanya saya dalam hati. Saya merenung dan berpikir. Kemudian, saya mulai mengingat kembali sebagian pengalaman hidup saya dan mulai mempertanyakan banyak hal. Nampaknya, celotehan tersebut tak boleh hanya dianggap angin lalu semata. Apa yang kawan saya lontarkan perlu didalami dengan serius.
Dalam pikiran banyak orang, memang, menjadi perempuan “cantik” tentu akan mempermudah hidupnya, persis seperti di sinetron-sinetron. Maksud dari kata “cantik” tentu merujuk pada perempuan dengan kulit putih dan bersih, hidung mancung, rambut berkilau, serta bentuk tubuh yang ideal. Tapi, dalam realitasnya, benarkah demikian? Benarkah “cantik” adalah sebuah anugerah seperti kata orang-orang?
Standar Kecantikan, Pengelempokkan Berdasarkan Bentuk Fisik
Seperti yang saya singgung sebelumnya, “cantik” adalah predikat yang diperoleh setelah memenuhi standar-standar kecantikan yang ada, dan biasanya merujuk pada bentuk fisik seseorang. Kecantikan itu relatif (seperti kelas kata sifat lainnya) dan bukan sebuah hal yang mutlak. Kecantikan akan selalu terikat dengan situasi ekonomi, sosial, dan budaya, serta berubah sesuai ruang dan waktu (Synnott, 2007).
Standar kecantikan lahir dari sudut pandang laki-laki. Artinya, standar kecantikan dipengaruhi oleh budaya patriarki, di mana kedudukan laki-laki berada di atas perempuan (Prabasmoro, 2003). Di tengah situasi demikian, lahirlah sebuah konsepsi bahwa perempuan harus “cantik” agar bisa memikat lawan jenisnya. Perempuan dituntut “ini” dan “itu” agar mendapat penghargaan dari lingkungannya. Dan, yang baru saya sadari, media berperan besar dalam pelanggengan budaya seperti demikian, baik media massa pun media sosial.
Di media massa, saya dapat melihat bagaimana sorang perempuan yang telah memenuhi standar kecantikan selalu laris manis sebagai bahan pemberitaan. Misalnya, beberapa tahun ke belakang, masyarakat digegerkan dengan kehadiran perempuan “cantik” yang berprofesi sebagai tukang bengkel. Pertanyaanya, kenapa mesti geger? Apa yang salah dengan dia dan pekerjaannya? Apakah tidak boleh seorang perempuan yang memenuhi standar kecantikan memiliki pekerjaan yang biasa dilakoni oleh laki-laki?
Selanjutnya, dalam tayangan televisi. Orang-orang yang tampil di televisi mempunyai satu syarat: berpenampilan “menarik”. “Menarik” di sini tentu diasosiasikan dengan raut wajah dan bentuk tubuh sesuai standar kecantikan yang ada. Program-program reality show, sinetron, dan lain sebagainya telah mengambarkan bagaimana perempuan bisa dikatakan “menarik”. Belum lagi dengan arus globalisasi, di mana dunia semakin menyempit, tayangan-tayangan luar negeri pun mulai bermunculan dan membentuk standar kecantikan yang mesti dipenuhi oleh seorang perempuan.
Dalam kasus lain, misalnya iklan di tayangan televisi. Saya selalu disuguhkan dengan perempuan yang sesuai dengan standar kecantikan hari ini. Iklan sabun diisi oleh perempuan berkulit putih bersih, iklan sampo diisi oleh perempuan berambut hitam berkilau, sementara iklan produk-produk lainnya diisi oleh perempuan yang memiliki bentuk tubuh ideal. Secara tidak langsung, saya dituntut menuju sebuah konsepsi mengenai standar kecantikan yang dibentuk oleh media.
Beralih ke media sosial. Ada beragam media sosial, tapi hanya empat yang terpasang di gawai saya: Facebook, Instagram, Twitter, dan Tiktok. Ya, betul, Tiktok! Dari Tiktok, saya belajar bahwa untuk menjadi tenar, saya harus memiliki satu dari dua hal berikut: kreativitas dan paras rupawan. Tanpa salah satu dari dua hal tersebut, menjadi terkenal serupa mimpi di siang bolong.
Dengan demikian, secara tidak langsung, media telah membentuk hasrat, selera, dan standar kecantikan yang diamini oleh masyarakat hari ini (Rizky, 2020).
Dalam kacamata ekonomi politik, standar kecantikan yang telah saya singgung, hanyalah sebuah bentuk pelanggengan atas kapitalisme hari ini. “Cantik” dibentuk dan dijadikan ilusi agar perempuan mengejar standar kecantikan yang dibentuk oleh kapitalisme itu sendiri. Ilusi menyoal kecantikan akan terus menjadi kekuatan yang mengatur dan mengasingkan perempuan, sekaligus bisnis yang menguntungkan bagi kapitalisme (Moraletat, 2020). Dengan memanfaatkan kebutuhan akan ekstensi di lingkungannya, perempuan berlomba-lomba menjadi konsumtif, khususnya dalam mempersolek diri.
Saya melihat data, bagaimana industri kosmetik mengalami peningkatan penjualan setiap waktunya. Bahkan, dalam riset Euromonitor, potensi industri kosmetik di Indonesia mencapai US$6 miliar. Siapa yang diuntungkan? Tentu perusahaan. Siapa yang dirugikan? Perempuan sudah pasti, di luar itu (karena berkaitan dengan kapitalisme) ada pula anak-anak dan lingkungan (Zahan, 2020). Makanya, tak aneh jika lahir ungkapan, “Cantik itu Mahal!”. Kemudian, muncul ungkapan selanjutnya, “Cantik itu Luka!”.
“Cantik”, Masalah dan Obsesi ke Arahnya
Dalam tatanan sosial masyarakat, perempuan “cantik” selalu menjadi sebuah daya tarik. Oleh karenanya, gerak-geriknya selalu mendapat sorotan, baik itu oleh lawan jenis maupun sesama jenis. Apalagi dengan masifnya media hari ini, perempuan yang dianugerahi bentuk tubuh yang sesuai dengan keinginan masyarakat, mulai kehilangan privasinya.
Dalam Instagram, muncul akun-akun yang secara terang-terangan menjual kecantikan demi mendulang followers. Misalnya, @uicantikid, @ugmcantik, @unpad.geulis, @anak.upi.cantik, dan kampus-kampus lain dengan embel-embel “cantik” di belakangnya. Sempat timbul pertanyaan, dari mana mereka menemukan perempuan “cantik” tersebut? Apakah foto-foto yang dipajang sudah mendapat persetujuan dari pemiliknya?
Melalui pengamatan saya, ternyata akun-akun tersebut muncul dari rekomendasi-rekomendasi followers-nya, tentu dengan seleksi atas kriteria subjektif dari adminnya. Tapi dalam beberapa kejadian, nyatanya, ada pula perempuan-perempuan yang merekomendasikan dirinya sendiri. Mengenai izin, barangkali si admin memegang prinsip semua yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan dan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Persetan dengan persetujuan si pemilik.
Ketika saya melakukan wawancara dengan narasumber yang fotonya dipajang, ada yang merasa bangga, tapi banyak pula yang merasa jengkel. Alasannya, pertama, komentar bernada miring. Ya, mulai dari menggoda sampai “mempromosikan” yang tentu membuatnya merasa tidak nyaman. Kedua, banyak Direct Message (DM) yang melecehkan. Misalnya, ada yang mengirim pesan seperti ini: “lagi dimana nih cantik?”, “sombong banget sih enggak difolbek”, dan “percuma cantik tapi DM aja kaga dibales, sombong dah lu!”. Ketiga, bagi saya ini yang paling parah, selepas foto tersebut dipajang, foto-foto tersebut malah beredar ke grup maupun forum porno.
Itu baru di dunia maya, bagaimana dengan di dunia nyata? Perempuan yang telah memenuhi standar kecantikan akan terjebak dan mencoba memenuhi dorongan masyarakat akan tubuhnya. Dengan situasi demikian, seseorang tersebut akan sangat rentan mengalami depresi apabila tidak mampu memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitarnya.
Pernah menjumpai seseorang yang benar-benar terobsesi pada tubuhnya? Kondisi seperti demikian diberi istilah Body Image Disturbance (Rhode, 2010). Lebih jauh, istilah tersebut merujuk pada seseorang yang memiliki tingkat cemas berlebih terhadap penampilan fisik atau citra tubuhnya. Seseorang yang mengalami kondisi ini akan terus terobsesi dengan bentuk kecantikan yang direalisasikan dalam wujud fisik.
Tingginya tuntutan masyarakat mengakibatkan perempuan memilih memperbaiki bentuk fisiknya melalui operasi plastik. Operasi plastik bukan tanpa masalah, banyak kalangan masyarakat yang menolak perombakan pada bentuk tubuh. Sah-sah saja apabila menolak, asalkan masyarakat tahu bahwa tanpa tuntutan untuk memenuhi standar kecantikan yang ada, seseorang tidak akan berlomba-lomba untuk melakukan operasi plastik.
Baca Juga: SUARA SETARA: Mencari Pendidikan yang Mengabdi pada Rakyat
SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan
SUARA SETARA: Guru Penggerak, Harapan untuk Kesejahteraan atau Penyokong Status Quo Pemilik Kuasa?
Mengubah Persepsi, dari Mana dan Menuju ke Mana
Setelah saya membahas panjang lebar, ternyata saya menjadi jengah dengan standar kecantikan hari ini. Satu kalimat muncul di kepala saya: standar kecantikan adalah penjajahan atas keindahan alami manusia. Dan, perundungan kepada perempuan yang tidak memenuhi standar kecantikan adalah penindasan yang terjadi pada tubuh alami manusia. Bukankah manusia tidak bisa menentukan dan berdiskusi dulu dengan Tuhan-nya ingin diciptakan seperti apa? Bukankah bentuk tubuh manusia bersifat alamiah dan tidak bisa diganggu gugat?
Untuk menolak diskriminasi seperti demikian, saya menyarankan untuk memulai dari diri sendiri. Kita dapat memulai dengan mencintai diri kita sendiri sebagaimana adanya dan tidak menghakimi diri sendiri. Istilah populernya self love. Berhenti membandingkan satu sama lain dalam kompetisi konyol seperti siapa yang paling cantik dan siapa yang lebih pantas dipandang masyarakat. Cantik bukanlah sebuah definisi tentang bentuk tubuh, setiap orang mampu cantik dengan caranya masing-masing.
Sedikit catatan, saya tidak mendorong kawan-kawan semua untuk tidak mandi dan makan tidak terkontrol. Self love memang salah satu bentuk penolakan terhadap standar kecantikan, tapi bukan berarti tidak mempedulikan diri sendiri.
Dalam lingkungan keluarga, kecatikan sebagai bentuk kata kerja mesti dibiasakan. Kecantikan yang dimaksud adalah kencantikan yang hadir atas pencapaian seorang perempuan di lingkungan sosialnya. Saya kira, pola pikir seperti demikian lebih adil, sebab perempuan akan mengejar pencapaian dan prestasi dalam hidupnya, bukan hanya terpaku pada wujud fisik yang sifatnya kodrati.
Dalam lingkungan sekolah, pola pikir mengenai kecantikan sebagai bentuk kata kerja mesti dipatenkan. Sekolah harus mampu menjadi institusi yang menolak diskriminasi gender dan pelanggengan patriarki kepada seluruh siswanya melalui ilmu-ilmu yang diajarkannya. Begitulah bukan pendidikan yang semestinya, bukan? Mengajarkan cara menjadi manusia tanpa menjatuhkan manusia yang lain.
Media, mesti mampu membentuk kembali kesadaran mengenai standar kecantikan. Media mesti bisa merevisi konsepsi standar kecantikan yang sudah mapan. Media telah menanamkan budaya patriarki, maka dari itu, media juga yang harus mampu mencari jalan keluarnya. Media harus bisa membentuk budaya yang adil bagi perempuan-perempuan.
Epilog
Nyatanya, menilai dan menghakimi individu bukanlah solusi. Tapi merubah model sosial mengenai standar kecantikan, itulah yang utama. Lagi pula, bukankah bentuk tubuh manusia hari ini merupakan sebuah identitas yang mestinya dibanggakan?
Kulit sawo matang merupakan identitas sebagai penduduk di daerah tropis. Rambut yang lurus dan ikal merupakan identitas dari suatu ras. Setiap yang ada pada tubuh kita mencerminkan sebuah identitas tertentu. Tak ada identitas yang lebih baik atau lebih buruk. Semua sama baiknya.
Jadi, bisakah saat kita bercermin nanti, kita dapat lebih bersyukur atas tubuh kita? Bisakah kita kembali untuk fokus mewujudkan mimpi-mimpi kita?
Sekian.
*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung