SUARA SETARA: Guru Penggerak, Harapan untuk Kesejahteraan atau Penyokong Status Quo Pemilik Kuasa?
Kesejahteraan masih menjadi masalah mendasar di Indonesia, termasuk di dunia pendidikan. Seberapa jauh program Guru Penggerak bisa berkontribusi menanggpinya?
Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi
Perempuan aktivis, berkegiatan di Gender Research Student Center (Great) UPI, bisa dihubungi di @elfaroger
10 Mei 2022
BandungBergerak.id - Kesejahteraan masih menjadi permasalahan mendasar di tengah masyarakat Indonesia. Tak terkecuali di dunia pendidikan. Banyak program sudah digulirkan pemerintah, termasuk yang terbaru Guru Penggerak, namun seberapa efektif itu?
Setiap manusia berhak untuk menjadi sejahtera, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan hak atas kebutuhan dasarnya (Fitri, dkk, 2015). Negara bertanggung jawab memenuhinya sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa memajukan kesejahteraan umum merupakan tujuan dari negara ini.
Secara bahasa, kesejahteraan dapat diartikan sebagai keadaan di mana masyarakat terjamin dalam hal keamanan, keselamatan, dan ketentramannya (KBBI, 2016). Lebih rinci, menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, kesejahteraan adalah kondisi di mana terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial dari warga negara agar mereka mampu untuk hidup layak dan mengembangkan dirinya yang kemudian membuat warga negara dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Sayangnya, meskipun elah menjadi tujuan dan dijamin dalam Pembukaan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, kesejahteraan belumlah dapat dirasakan dengan baik oleh warga negara.
Dari Angka Kriminalitas ke Mutu Pendidikan
Masih buruknya angka kesejahteraan di Indonesia dapat dilihat melalui angka kriminalitas yang terjadi. Dalam Statistik Kriminal 2021, pada tahun 2020 setidaknya terjadi 247.218 kejadian. Artinya, dalam 2 menit 7 detik setidaknya terjadi satu tindakan kriminal. Angka tersebut memang menurun dibanding tahun 2019 yang mencapai 269.324 kejadian. Sayangnya, penurunan angka tindakan kriminal berbanding lurus dengan menurunnya juga tingkat pelaporan ke polisi (police report rate). Masih dalam sumber yang sama, pada tahun 2020 76,53 persen masyarakat Indonesia memilih untuk tidak melaporkan kejahatan kriminal kepada polisi. Angka ini tentu masih tinggi
Dari banyaknya kejahatan yang ada, kejahatan ringan atau kecil adalah kejahatan yang mendominasi. Hidayatullah (dalam Muhaimin, 2019) mendefinisikan kejahatan ringan adalah kejahatan dengan sanksi tiga bulan kurungan atau dengan Rp. 2.500.000,-. Beberapa contoh kasus yang masuk ke dalam tindak pidana ringan adalah pencurian ringan, penggelapan ringan, penipuan ringan oleh penjual, perusakan ringan, dan penadahan ringan.
Wilson, pengajar ilmu politik dan keamanan di Murdoch University, Australia, mengatakan bahwa kejahatan yang dilakukan penjahat kelas teri adalah cerminan dari kemiskinan, kesenjangan yang makin mendalam, dan kurangnya akses terhadap peluang dalam hidup. Hal tersebut sejalan dengan Kansil dan Kansil (1994) yang menyatakan bahwa faktor lahirnya kejahatan adalah kebutuhan ekonomi yang mendesak, faktor ketenagakerjaan (pengangguran atau memiliki pekerjaan), dan faktor taraf kesejahteraan.
Jika melihat data dari Badan Pusat Statistik, pada September 2020, masih ada 27,74 juta penduduk miskin di Indonesia. Tingginya angka tersebut disebabkan oleh turunnya pendapatan rumah tangga akibat tingginya angka Covid-19 dan kebijakan pembatasan sosial. Jika pendapatan rumah tangga diurutkan menggunakan 100 persentil, mulai dari yang paling miskin (persentil 1) sampai yang paling kaya (persentil 100), rata-rata seluruh rumah tangga mengalami penurunan pengeluaran sebesar -2.3 persen atau dengan penurunan pengeluaran median -3.1 persen.
Namun, tidak semua rumah tangga mengalami perubahan ke arah penurunan. Rumah tangga pada rentang persentil 41–95 mengalami penurunan pengeluaran rata-rata sebesar -4 persen. Untuk rumah tangga dalam persentil 40 ke bawah, pengeluaran mereka rata-rata turun sebesar -0.4 persen dengan rumah tangga dalam persentil 5 ke bawah mengalami penurunan cukup besar yakni sebesar -1 persen sampai -1.6 persen. Sedangkan pada periode ini, rumah tangga pada persentil 95 ke atas mengalami peningkatan tingkat kesejahteraan sebesar 2 persen sampai 5 persen. Artinya, ada kesenjangan yang semakin lebar antara masyarakat yang sangat miskin dengan sangat kaya.
Selain angka kemiskinan, tingginya angka pengangguran pun menjadi masalah. Pada Agustus 2021, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia adalah 9.102.052 orang dan persentase pekerja setengah menganggur adalah 8,71 persen. Jika diurutkan berdasarkan pendidikan akhir, pada Agustus 2021, 11,13 persen lulusan SMK menganggur. Angka tersebut terlampau jauh jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan SD ke bawah yang hanya 3,51 persen.
Selanjutnya, jika dilihat dari segi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia baru mencapai angka 72,29 pada 2021. Meski mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, tetap saja Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga di Asia Tenggara seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Selain faktor internal, tingginya angka kriminalitas juga terjadi akibat faktor eksternal seperti pendidikan, pergaulan, dan lingkungan (Putra, dkk, 2018). Khususnya dalam ruang lingkup pendidikan, buruknya mutu pendidikan, baik kuantitas maupun kualitas, akan selaras dengan buruknya tingkat kesejahteraan di Indonesia. Masih rendahnya angka partisipasi sekolah, kurikulum yang bergonta-ganti dan tidak memiliki peta jalan (roadmap) yang jelas, dan kualitas guru menjadi masalah pokok yang tak pernah selesai. Dalam hal kesejahteraan, kemiskinan (faktor internal) akan saling berkaitan dengan pendidikan (faktor eksternal). Kemiskinan akan membuat masyarakat kesulitan mengakses pendidikan dan rendahnya mutu pendidikan akan mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan.
Baca Juga: SUARA SETARA: Ilusi Bandung Kota Ramah Anak
SUARA SETARA: RUU TPKS Pascaratifikasi, Apa Langkah Selanjutnya?
SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan
Buruk sejak PAUD
Buruknya pendidikan Indonesia, nyatanya telah terjadi sejak jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD yang mestinya mampu mengoptimalkan masa keemasan (golden age) bagi seorang anak usia dini tak benar-benar mampu dioptimalkan oleh sistem pendidikan hari ini. Berdasarkan Angka Partisipasi Kasar (APK), menurut data dari BPS tahun 2020, baru 35,59% anak usia dini di Indonesia mengenyam jenjang PAUD. Angka ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang menginjak angka 37,52.
Selain APK, kurikulum yang bergonta-ganti pun menjadi masalah. Sejak kemerdekaan sampai sekarang, Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak 10 kali, mulai dari Rentjana Pelajaran 1947 sampai Kurikulum 2013. Ada pun wacana pada tahun 2022 nanti, Indonesia akan berganti kurikulum kembali. Sayangnya, dalam kurikulum-kurikulum yang telah, sedang, dan akan hadir, belum ada arah untuk mengatasi masalah pendidikan, sebab masih terkungkung dengan kepentingan-kepentingan lainnya.
Dalam hal kualitas guru pun belum mampu dikatakan baik. Guru masih harus menanggung beban ganda untuk mengajar dan menyelesaikan masalah administratif. Beban dipikul oleh guru nyatanya tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraannya. Ini berdampak kepada tingkat stres seorang guru yang meningkat sehingga mengakibatkan pengajaran yang tidak optimal.
Ketidakoptimalan tersebut diperparah dengan rendahnya kualifikasi seorang guru, khususnya guru PAUD. Dalam data Neraca Pendidikan Daerah Kemendikbud, pada tahun 2020, setidaknya ada 14,15\ persen guru yang di bawah lulusan D4/S1. Rendahnya kualifikasi tersebut berdampak kepada kompetensi pedagogik yang rata-rata belum mampu dikuasai oleh guru PAUD (Sari, 2018).
Melihat berbagai permasalahan kesejahteraan, pendidikan mestinya dapat menjadi jalan keluar. Pendidikan sejak tingkat terendah mesti dimaksimalkan sebaik mungkin. Pemerintah jangan tinggal diam.
Kita tahu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) telah meluncurkan program Guru Penggerak, sebagai program turunan dari Merdeka Belajar terobosan Nadiem Anwar Makarim yang bertujuan untuk menjadi guru pemimpin di sekolah tempat dia mengajar. Namun patut kita bertanya lebih jauh, ke mana arah gerak dari program Guru Penggerak ini? Apakah Guru Penggerak mencoba untuk menyelesaikan permasalahan kesejahteraan di Indonesia? Ataukah malah Guru Penggerak hanya akan mengukuhkan status quo dari pemilik kuasa yang semakin memperburuk kesejahteraan, khususnya kesejahteraan guru PAUD?
*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung