• Kolom
  • SUARA SETARA: Idul Adha dan Momen Pengorbanan Siti Hajar yang Kerap Terlupakan

SUARA SETARA: Idul Adha dan Momen Pengorbanan Siti Hajar yang Kerap Terlupakan

Idul Adha diperingati oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia. Di balik momen ini, ada Siti Hajar, istri kedua Nabi Ibrahim dan segala bentuk pengorbanannya.

Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi

Perempuan aktivis, berkegiatan di Gender Research Student Center (Great) UPI, bisa dihubungi di @elfaroger

Umat Islam melaksanakan ibadah salat Idul Adha di lapang soft ball Lodaya, Bandung, Sabtu (9/7/2022). Sebagian umat Islam di Indonesia melaksanakan salat Idul Adha Sabtu, dan sebagian umat akan melaksanakannya Minggu sesuai arahan pemerintah. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

12 Juli 2022


BandungBergerak.id - Gegap-gempita Idul Adha diperingati oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia. Momentum ini identik dengan penyembelihan hewan kurban sebagai tanda rasa syukur, ikhlas, dan sabar. Sekilas sejarah Idul Adha yang selalu tersoroti adalah kisah yang melibatkan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan bagaimana pengorbanannya. Namun, ada kisah yang kerap kali terlupakan dari makna kurban. Siti Hajar, istri kedua Nabi Ibrahim dan segala bentuk pengorbanannya.

Menurut buku Zaujat al Ambiya karya Sheikh Dr Mustafa Murad, kisah kurban bermula dari Nabi Ibrahim dan istri pertamanya Siti Sarah, yang tak kunjung dikaruniai anak selama 80 tahun pernikannya. Tentu hal tersebut menjadi beban tersendiri Siti Hajar sebagai perempuan, yang kemudian Siti Hajar yang merupakan hamba Siti Sarah, di minta untuk menikahi Nabi Ibrahim sebagai bukti rasa cinta Siti Sarah kepada Nabi Ibrahim. Siti Sarah sangat ingin memberikan keturunan laki laki yang waktu itu dianggap hanya kaum laki-laki yang dapat meneruskan perjuangan dakwah.

Tak lama setelah itu, Siti Hajar melahirkan bayi yang diberi nama Ismail. Kehadiran Ismail cukup membuat Siti Sarah merasa cemburu karena rasa cinta Nabi Ibrahim yang teramat begitu besar kepada Ismail. Siti Sarah pun meminta untuk tidak tinggal bersama dengan Siti Hajar dan Ismail dalam satu rumah dan meninggalkan di tanah yang sangat tandus seperti diterangkan dalam riwayat Imam Al Tsa’labi (ahli tafsir, 350-430 H), dan  dua sejarawan, At-Tabari (838-923 M) dan Ibnu al Atsir (1160-1233 M), di mana Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar dan Ismail.

Siti Hajar menangis dan terus memanggil Nabi Ibrahim yang tidak merespons sedikit pun panggilannya. Nabi Ibrahim beranjak semakin jauh, meninggalkan Siti Hajar dengan sejumlah pertanyaan pada suaminya: 

Ke mana engkau akan pergi dan meninggalkan kami di padang pasir yang tidak ada manusia dan bahkan kehidupan ini? Apakah Allah SWT memerintahkan kamu wahai suamiku?”

Benar,” jawab Ibrahim.

Kalau begitu, Allah pasti tidak akan membiarkan kami,” ucap Siti Hajar.

Baca Juga: SUARA SETARA: Guru Penggerak, Harapan untuk Kesejahteraan atau Penyokong Status Quo Pemilik Kuasa?
SUARA SETARA: Ilusi Bandung Kota Ramah Anak
SUARA SETARA: Mendefinisikan Ulang Konsep Perempuan Cantik

Refleksi

Dalam Kisah ini ditemukan konsep pengorbanan perempuan yang bias, di mana konstruk bahwa tidak memiliki anak menjadi suatu hal yang dibebankan pada perempuan saja, dan seolah perempuan menjadi pemuas seksual laki-laki saja, padahal Islam memaknai fitrah perempuan secara utuh.

Islam, Cinta, dan Realitas

Jika kita memaknai cinta dalam Islam secara utuh, bukannya Islam tidak mengajarkan bahwa pemuasan laki-laki terhadap kebutuhan cintanya harus dengan cara menyakiti hati orang yang ia cintai? Hukum perkawinan dalam hubungan sakral pernikahan mengapa berujung menindas perempuan? Dan berujung ketidakadilan terhadap perempuan?

Poligami Lahir Sebelum Islam

Praktik poligami sebenarnya sudah banyak dilakukan kaum-kaum sebelum Islam datang (pra-Islam). Islam memiliki aturan dan konskuensi yang diperjelas dengan dalil Q.S An-Nisa: 3, yang artinya:

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berperilaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya) maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja. Atau hamba sahaya yang kamu miliki yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”.

Namun bagaimana hak Siti Hajar pada saat itu? yang begitu saja ditinggalkan di tanah tandus bersama laki-laki kecil yang bernama Ismail? Bagaimana Ibrahim dapat berlaku adil sebagai konsekuensi mutlak laki-laki yang melakukan poligami? Bagaimana praktik poligami akan menimbulkan berbagai bentuk ketidakadilan gender; marginalisasi perempuan, dan apakah dalam Islam menjadikan poligami sebagai tameng kebolehan hukum agama untuk orang-orang yang tidak bertanggung jawab?

Konklusi

Sejarah Idul Adha selalu diglorifikasi dengan cerita bagaimana pengorbanan Nabi Ibrahim untuk merelakan anaknya Nabi Ismail untuk disembelih yang barangkali itu juga penting. Namun kita kerap terlupkan dengan pengorbanan Siti Hajar yang antibias sebagai perempuan, yang ditinggalkan karena dalih cinta yang dibungkus dengan ikatan perkawinan.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//