• Kolom
  • SUARA SETARA: Beban Berlipat Perempuan dalam Setiap Penggusuran

SUARA SETARA: Beban Berlipat Perempuan dalam Setiap Penggusuran

Dalam setiap penggusuran, perempuan harus memikul beban yang berlipat-lipat beratnya. Korban pembangunan yang coraknya masih sangat maskulin dan nonpartisipatif.

Agida Hafsyah Febriagivary

Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung

Melly Indriani (52) bersama anaknya, Farrel, warga Anyer Dalam, Kota Bandung, yang harus mengisi Ramadan dan lebaran tanpa memiliki lagi rumah tinggal, Rabu (6/4/2022). Rumah Melly dan Farrel digusur PT. KAI , November 2021 lalu. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

29 Juni 2022


BandungBergerak.idRezim di Indonesia menunjukkan taring eksploitatif salah satunya dengan melakukan ekspansi monopoli atas tanah untuk memperluas dan memperkuat sumber daya kapitalnya. Pembangunan ekonomi, infrastruktur, politik, prasarana, ataupun sosial yang seharusnya dilakukan sebagai proses perbaikan kondisi kehidupan rakyat berubah menjadi mimpi buruk. Bagi rakyat, juga bagi perempuan.

Makna pembangunan tidak akan lepas dari sudut mana tujuan yang akan diraih. Kacamata oligarki kapital akan jauh berbeda dibandingkan sudut pandang masyarakat sipil. Namun pada akhirnya, pembangunan cenderung dinilai politis sesuai dengan realitas yang selama ini telah terjadi. Pembangunan di berbagai daerah di Indonesia dilakukan sesuai kepentingan para ‘oknum’ yang lalu berimbas buruk pada masyarakat dan juga alam. Contohnya, kontroversi  pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru dan konflik perencanaan pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas beberapa waktu silam.

Menjelang akhir tahun 2021, di Kota Bandung, warga Anyer Dalam menderita mimpi buruk akibat penggusuran oleh PT. KAI. Hingga saat ini warga masih terus berjuang menuntut haknya. Akhir Januari 2022, giliran masyarakat pesisir Pantai Merpati, Kabupaten Bulukumba, yang menderita penggusuran tempat tinggal demi program revitalisasi kawasan pantai yang ditunggangi niat terselubung membangun sebuah sentra kuliner. Pembangunan terus berjalan tanpa memberikan secuil ruang bagi partisipasi publik.

Pembangunan masih berwatak sangat maskulin. Nuansa patriarkal kental terlihat di sepanjang prosesnya, sejak dari perencanaan hingga pelaksanaan. Kebutuhan dasar gender masyarakat terabaikan. Yang paling terdampak oleh kebijakan diskriminatif semacam ini adalah kelompok gender minoritas di negara ini.

Penggusuran selamanya adalah peristiwa kelam karena mereka yang berkuasa menggunakan semua sumber dayanya untuk merampas, mengeksploitasi, dan juga tidak jarang melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak.  

Baca Juga: SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan
SUARA SETARA: Penindasan Ganda Buruh Perempuan
SUARA SETARA: Ilusi Bandung Kota Ramah Anak

Beban Berlipat Perempuan

Dampak buruk pembangunan nirpartisipasi warga bisa berlangsung panjang, dan sering luput dari perhatian. Di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pembangunan Waduk Jatigede menyisakan kesedihan bagi penduduk setempat. Penggenangan yang dimulai dari tahun 2015 awalnya dimaksudkan sebagai penunjang kehidupan masyarakat kecil juga industri. Namun, bagi masyarakat sekitar, manfaat itu masih jauh panggang dari api.

Sekitar 40 ribu jiwa terusir dari lahan mereka akibat proyek raksasa ini. Orang-orang dewasa kehilangan mata pencaharian, sementara anak-anak terpaksa putus sekolah. Anak perempuan memikul beban dua kali lebih berat karena harus mengambil jalan pintas menggaet mimpi keluar dari jurang kemelaratan, yakni menikah muda.

Masalah tak berhanti sampai di situ. Kemelaratan yang mereka dimanfaatkan oleh ‘bank emok’ untuk menawarkan pinjaman dengan bunga selangit. Lagi-lagi perempuanlah yang harus menanggung beban paling berat.

Yang terjadi di Wadas sama saja nuansanya. Alih-alih melakukan proses diskusi terbuka, pemerintah justru mendatangkan aparat dengan senjata lengkap. Tercatat, 67 warga di tangkap, dengan 13 di antaranya masih di bawah umur.

Penggusuran membuat warga bukan hanya kehilangan rumah, tapi juga sumber-sumber penghidupan mereka. Pemenuhan kebutuhan sanitasi sehat terbengkali. Juga kecukupan gizi bagi anggota keluarga, terutama anak-anak, terancam. Ditambah lagi akses pendidikan yang seketika tercerabut. Inilah beban berlipat yang harus dipikirkan dan lalu dipikul kaum perempuan korban penggusuran.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung

Editor: Redaksi

COMMENTS

//