• Kolom
  • SUARA SETARA: Penindasan Ganda Buruh Perempuan

SUARA SETARA: Penindasan Ganda Buruh Perempuan

Buruh perempuan menderita ketidakadilan yang berlipat-lipat di bawah sistem kapitalisme yang tamak. Gerakan kolektif menjadi alternatif melakukan perubahan.

Andily Aprilia Rahmawati

Anggota Gender Research Student Center (GREAT) dan Ketua BEM KEMA FIP UPI, bisa dihubungi di [email protected]

Seorang buruh perempuan berjalan kaki di samping dinding luar pabrik tekstil tempatnya bekerja, Kamis (12/6/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

1 Juni 2022


BandungBergerak.id - Setiap tanggal 1 Mei kita  memperingati Hari Buruh atau dikenal dengan sebutan May Day.  Jauh dari ingar-bingar sebuah perayaan, hari ini lebih tepat dimaknai sebagai awal sebuah perjuangan. Tepat seperti apa yang terjadi pada awal abad ke-19 silam, ketika kelas pekerja bersatu untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial yang terenggut oleh perlakuan tidak adil buah kapitalisme industri.

Ada sekian banyak situasi tidak adil yang dialami para pekerja. Di antaranya adalah jam kerja yang berlebih, upah yang minim, kondisi kerja yang buruk, serta angka kematian yang tinggi. Inilah sekian alasan yang lalu mendorong lahirnya sebuah gerakan besar.

Kita seringkali tidak menyadari bahwa kita merupakan bagian dari buruh. Kita justru sering ikut meremehkan kerja dari buruh itu sendiri. Buruh dikonotasikan ke pekerjaan kasar yang lebih mementingkan otot daripada otak. Persis seperti cap yang diberikan kepada buruh tani, tukang kayu, atau kuli bangunan. Padahal Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Oleh karenanya, semua orang yang bekerja di sektor swasta, baik bekerja pada perorangan maupun lembaga, adalah juga buruh.

Buruh berposisi sebagai kelas sosial yang berbeda dari pemodal. Kepentingan buruh akan selalu berseberangan dengan kepentingan pemodal. Buruh berkepentingan meraih kesejahteraan melalui pekerjaannya, sementara pemodal berkepentingan mendapatkan keuntungan dari bisnis perusahaannya dengan cara mempekerjakan buruhnya. Tarik-ulur kepentingan ini tidak jarang jatuh menjadi sebuah penindasan.

Bagi buruh perempuan, penindasan terjadi bertubi-tubi. Pertama dan yang utama, penindasan yang dilakukan oleh para pemodal seperti perusahaan yang berbentuk upah murah dengan tuntutan pekerjaan yang tinggi, ditambah risiko kecelakan di tempat kerja. Kedua, penindasan oleh negara melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang lebih banyak berpihak pada pemodal dibanding buruh. Ketiga, penindasan oleh budaya patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi yang terdominasi dan tersubordinasi oleh laki-laki karena dianggap lemah dan tidak berdaya.

Buruh perempuan pada akhirnya harus memikul beban berlipat ganda karena selain mengerjakan tanggung jawabnya sebagai pekerja, dia juga harus melakukan kerja-kerja reproduksi sosial, seperti memasak, membersihkan rumah, mengasuh anak, merawat keluarga, dan seks. Pada saat yang sama, di tempat kerja, perempuan diupah secara diskriminatif karena dikotomi kerja publik dan domestik semacam itu. Perempuan dibayar murah karena dicap sebagai pekerja yang tidak memiliki keahlian dan penghasilan, sehingga dianggap jadi “tambahan” saja.

Penindasan belum berhenti sampai di situ. Di tempat kerja, buruh perempuan rentan mengalami kekerasan seksual. Tidak jarang mereka hanya bisa bungkam karena mendapatkan ancaman, intimidasi, atau bahkan tindak pemecatan. Masalah ini diperburuk dengan kenyataan bahwa masih banyak perusahaan atau pemberi kerja yang tidak menyediakan layanan pengaduan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Komnas Perempuan dalam Catatan Akhir Tahun 2019 menyebut bahwa angka kekerasan yang terjadi di ranah publik mencapai 3.915 kasus. Kementerian PPPA pada tahun yang sama menyatakan bahwa di ranah publik, khususnya tempat kerja, perempuan seringkali menjadi kelompok yang rentan mengalami kekerasan, baik kekerasan secara seksual, fisik, maupun psikis.

Penindasan terhadap buruh perempuan tidak terlepas dari peran sistem kapitalisme yang kini menekan industri untuk memproduksi barang secara cepat dan menciptakan tren konsumsi. Kelas pekerja pun lantas menjadi korban dalam upaya penciptaan pola-pola produksi yang eksploitatif demi meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Di dalam sistem kapitalisme, buruh perempuan dilihat sebagai penghasil keuntungan bagi pemilik modal. Mereka diidentikkan dengan upah murah sehingga ongkos produksi bisa ditekan. Sistem kapitalisme juga sulit melihat dan menimbang suara buruh perempuan karena selama ini ruang produksi didominasi oleh laki-laki. :Perempuan ditempatkan ke dalam kerja-kerja reproduksi sosial.

Baca Juga: SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan
SUARA SETARA: Mencari Pendidikan yang Mengabdi pada Rakyat
SUARA SETARA: RUU TPKS Pascaratifikasi, Apa Langkah Selanjutnya?

Hak Buruh Perempuan

Lalu sebenarnya, apa saja hak yang seharusnya diperoleh buruh perempuan? Dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diamanatkan bahwa buruh perempuan berhak mendapatkan perlindungan pada jam kerja, perlindungan masa haid, perlindungan selama cuti hamil dan melahirkan, fasilitas lokasi menyusui, fasilitas kesehatan, dan keselamatan kerja.

Perusahaan juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan upaya ekstra dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap buruh perempuan. Beberapa aksi yang bisa dikerjakan di antaranya adalah sosialisasi serta edukasi terkait kekerasan seksual di ruang kerja, pembuatan kebijakan yang melindungi pekerja dari kekerasan seksual, serta pelatihan khusus agar para pekerja mengenali permasalahan pelecehan seksual serta cara pencegahannya.

Sayangnya, para buruh perempuan sendiri seringkali tidak mengetahui apa saja hak normatif mereka. Kondisi inilah yang lalu dieksploitasi oleh sistem kapitalistik untuk dengan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang jauh dari rasa keadilan.

Akhir kata, perjuangan buruh merupakan perjuangan bersama. Pemerintah memiliki peran besar dalam menciptakan regulasi yang melindungi buruh, khususnya buruh perempuan. Walaupun sudah terbit sejumlah undang-undang perlindungan hak buruh, implementasinya masih jauh panggang dari api. Gerakan buruh harus bersifat kolektif bersama gerakan tani, mahasiswa, pegiat HAM, aktivis lingkungan, masyarakat adat, perempuan, dan elemen masyarakat lainnya. Persekutan antara gerakan buruh dan gerakan sosial diharapkan mampu menghimpun kekuatan yang sanggup menciptakan perubahan yang berkeadilan. 

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//